Berziarah ke Reruntuhan Makam Imam Ghazali

Senja di situs makam Imam Ghazali di Thus, Iran. Foto: Hijroatul Maghfiroh Abdullah.

“Makam Imam Ghazali kini hanya tinggal reruntuhan dan tak ada lagi yang bisa dilihat di sana, hanya papan batu…” begitu bacaan Google Translate, dari suara bahasa Persia Ali ke bahasa Indonesia.

Ali adalah driver yang kami dapat melalui Mahdi, resepsionis hotel. Dia menemani kami keliling Naisabur dan Tus di Mashad,Iran. Perjalanan ke luar kota pertama di Mashad dimulai ke Naisabur, sekitar dua jam dari pusat Kota Mashad. Kemudian hari kedua baru kami melakukan perjalanan ke Thus, yang hanya ditempuh kurang dari satu jam.

Sebenarnya bisa saja hari kedua kami tidak menggunakan jasa Ali lagi. Kami punya alasan yang kuat. Di hari pertama perjalanan di Naisapur ada kejadian yang membuat kami khawatir.

Mobil tua bikinan Iran yan kami tumpangi sempat bermasalah. Usai mengunjungi destinasi pertama, mobil mengeluarkan suara aneh dari mesin depan. Tanpa memberitahu apa-apa kepada kami, maklum Ali tidak bisa berbahasa inggris sedikitpun, Ali membawa mobil ke bengkel.

Baca: Cara Sufi Bersahabat

Di bengkel pertama, montir menolak dan bahkan ekspresinya tidak memberi harapan mobil bisa diperbaiki. Kata suami yg ikut ke luar dari mobil, kemungkinan kerusakan di gearbox. Wajah Ali mulai tampak gelisah. Dia kemudian membawa mobil yg sudah mulai susah digas dg suara aneh  yg semakin kencang ke bengkel berikutnya.

Di bengkel kedua ini harapan mulai ada. Montir muda terlihat cukup cekatan memperbaiki Paykan tua itu. Montir muda itu mengganti oli, mengecek mesin Paykan , sambil Ali menginjak gas dari kemudi. Bahkan Si montir melakukan pemeriksaan akhir mobil dengan cara mengendarainya keliling sekitar bengkel.

Usai percobaan tersebut, Ali menyuruh kami masuk mobil. Tapi sebelum masuk, Mas Malik—suami saya– menelpon sahabat sekaligus tour guide bayangan kami; Purkon Hidayat. Malik menceritakan kronologi kejadian mobil kami, lalu handphone diberikan kepada Ali untuk berbicara dengan Furqon. Setelah obrolan panjang. Kemudian Furqon mengabarkan kepada kami, kalau mobil yang kami tumpangi dalam kondisi aman. Masih bisa melakukan perjalanan sekitar Naisabur. Akhirnya, dengan bismillah kami ikut mendoakan agar mobil Ali benar-benar siuman.

Alhamdulillah, belum sampai tujuan berikutnya, suara aneh itu perlahan menghilang, begitu seterusnya hingga kami kembali ke hotel membelah gelap dan macet kota Mashad.

Ali mengucapkan terima kasih sambil tangan kanannya disilangkan ke dada dan membungkukkan sedikit tubuhnya. Kamipun melakukan hal yang sama.

Keesokan harinya, kami masih bimbang, apakah lawatan kami ke Tus akan kembali menggunakan mobil yang meskipun tua dan sangat sederhana tapi aku merasa nyaman di dalamnya, atau mencari alternatif lain misal menggunakan snapp (aplikasi lokal semacam uber/grab) atau kendaraan umum. Pilihan terakhir tidak memungkinkan karena agak sulit jika tidak bisa berbahasa Parsi. Pilihan kedua, kami khawatir di sana akan repot mencari snapp untuk menuju destinasi satu ke destinasi lainnya.

Baca: Tradisi Menulis di Dunia Islam

Akhirnya, terlepas dari kondisi mobilnya, Ali adalah orang yang amat menyenangkan. Orang bersahaja, tidak banyak bicara, dan ketulusannya benar-benar kami rasakan. Kamipun memutuskan memakai jasa Ali kembali untuk mengantar ke Toos.

Seperti biasa Ali yang tidak suka basa-basi menyapa kami dengan senyum hangatnya. Salah satu yang kami senang, Ali selalu memulai menyalakan mobil dengan suara lirih membaca bismillahi tawakkaltu ala Allah. Itu juga salah satu alasanku menyukai Ali. Plus dia tidak banyak bicara, selalu mengikuti keinginan kami. Oh iya Ali juga tepat waktu kalau salat, juga mengantarkan kami untuk salat. Dengan ekspresi datar seperti biasanya, Ali menaruh batu bulat tepat di depan sajadah kami ketika solat.

Tapi Ali berubah. Di Thus, setelah kami berziarah ke makam Ferdowsi, kami minta Ali langsung mengantar ke makam Imam Ghazali. Ali bertanya kepada penjaga di makam Ferdowsi tentang makam Imam Ghazali. Penjaga bilang kalau makam Imam Ghazali sudah tidak ada. Tinggal reruntuhan. Dan Ali menjelaskan kembali ke kami. Tapi kami tetap ngotot akan ke sana. Ali mengangguk. Beberapa menit kemudian kami sampai ke yang Ali bilang makam Imam Ghazali. Kamipun ikut meyakini karna di sana ada situs reruntuhan masjid dan sekolah Imam Ghazali. Tak jauh dari area tsb ada batu nisan panjang semacam makam bertuliskan ‘mengenang Imam Ghazali’ meninggal pada 1111.

Kami pulang. Dalam perjalanan pulang, aku bimbang. Aku seperti kurang mantap, dan bahkan suami mengajak kembali ke makam yang ternyata hanya situs Imam Ghazali. Ternyata kebimbanganku beralasan. Nisan tersebut hanyalah semacam petilasan. Lalu kami kembali merayu Ali unt mengantarkan kami ke makam Imam Ghazali sesungguhnya, kami bahkan bilang akan membayarnya kembali dengan harga yang sama.  Seperti sebelumnya, Ali tetap ngotot bahwa di sana hanya reruntuhan. Tidak ada yang bisa dilihat. Kami tetap ngotot. Ali tambah ngotot. Sampai teman kami yang di Teheran membantu merayu Ali dengan menelpon Ali menggunakan bahasa Persia. Rayuannya tidak mempan. Akhirnya kami menyerah. Kami mencari alternatif lain.

Alhamdulillah, kami menemukan jalan kembali menuju makam Imam Ghazali sesungguhnya. Seorang mahasiswa S1 Indonesia yang sedang kuliah ekonomi & bisnis di Universitas Ferdowsi akhirnya mau membantu kami. Dia memesankan taxi langganan yang dulu pernah membawa Fadli Zon berziarah ke sana.

Sebenarnya kami sudah menghubungi mahasiswa Indonesia tersebut sejak akan ke Naisabur, tapi saat itu dia sedang teramat sibuk. Semua ada hikmahnya, kami jadi kenal Ali dan tentu dengan harga yang lebih murah. Terlepas dari Ali yg benar-benar tidak mau mengantar kami ke makam Imam Ghazali, kami tetap merasa syukur diberi kesempatan mengenalnya. Apalagi ketika kami menyerahkan uang pembayaran, Ali selalu bilang dengan rendah hati, “halal halal!” Kami masih meyakini Ali tidak mau mengantar ke Imam Ghazali karna dia tidak mau mengecewakan kami.

Siang hari di hari yang sama sekembalinya dari Thus, mobil sedan bagus yang dipesan mahasiswa Indonesia menjemput kami di hotel menuju Thus kembali. Memang berbeda dengan mobil Ali. Maklumlah ini fasilitas sekelas pejabat. Walaupun sebenarnya bukan mobil mewah. Harganya dua kali lipat dari Ali. Tapi apapun itu yang penting kami sampai ke makam Imam Ghazali asli.

Makam Imam Ghazali Dibiarkan Sebagai Reruntuhan

Setelah melewati perbukitan dan tanah lapang. Sampailah kami di pusara Sang Hujjatul Islam. Di sana ada mobil bak tua parkir. Seorang laki-laki sederhana sedang berdiri di area makam yang tanpa ditandai apapun. Kami sangat yakin di situ adalah makam Sang Imam setelah membaca papan informasi yg menjelaskan kalau di tanah lapang yang dulu adalah perkampungan dan dihancurkan tak bersisa karena invasi Mongolia, di antaranya di dalamnya merupakan makam Imam Ghazali dan keluarganya. Memang tampak ada beberapa gundukan kecil di sekitar gundukan besar yang konon gundukan tesrsebut adalah persemayaman Imam berjulukan Ath-Thusi Asy-Syafii.

Kami bahagia tak terkira berada di sana. Di tengah tanah lapang dengan view semacam perbukitan. Karena sepi, kami leluasa berlama-lama dari matahari terang bersinar hingga terbenam meninggalkan warna kemerahan. Begitu syahdu.

Berulang kali berucap syukur karena kami datang di waktu yang tepat. Beruntung Ali menolak kami di siang bolong. Sehingga kami bisa berada di sini di waktu kesukaanku, waktu peralihan, waktu senja.

Baca: Inggit Narnasih; Cinta dan Luka Karena Sukarno

Itulah kenapa kami menikmati apapun yg terjadi dalam perjalanan. Ketika mobil Ali rusak, ketika dia ngotot menolak, kami tetap menikmatinya. Aku bilang ke suami yang selalu ngedemin untuk menerima semua hal yg terjadi sebagai bagian dari kenikmatan traveling.

Ini tidak ada apa-apanya dibanding lika-liku yang ditemui para musafir/traveler di perjalanan. Belum seberapa dibanding keseraman yg dihadapi Rory Stewart yang diceritakan dalam bukunya The Places in Between ketika menjelajahi perbatasan Pakistan, Afghanistan dan Iran dg berjalan kaki.

Akhirnya, langit mulai menggelap, kami usai membaca Yasin, tahlil dan doa. Sebelum pulang, kami menikmati suasana senja yang sepi. Suami ngobrol dengan laki-laki yang sudah berada di sana dari awal kami datang dengan Google Translate. Ternyata dia seorang pecinta orang alim, sejak kecil ayahnya bercerita tentang para Sufi, sastrawan, intelektual, dan salah satu yg diceritakan ayahnya adalah Imam Ghazali.

Langit semakin gelap, kami pulang dengan berat. Kami terus terkenang kata-kata pria peziarah Imam Ghazali yang kami lupa menanyakan namanya, “Ini adalah Tus agung yang dilupakann.Seperti halnya mereka yg melupakan keagungan keilmuan Sang Hujjatul Islam Imam Ghazali.”

Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba WA datang dari kolegaku Iran yang bekerja di Kedutaan Iran di Jakarta. Sekalian saja aku sampaikan, “saya sudah di Thus, perjalanan pulang ziarah dari makam Imam Ghazali, kondisinya mengenaskan. Jika berkenan, bantu sampaikan ke Pak Dubes unt menyampaikan ke Pemerintah Iran agar membangun makam Imam Ghazali seperti Pemerintah membangun makam para intelektual Iran lainnya. Aku yakin akan menambah daya tarik wisatawan Indonesia. Sekaligus menunjukan bahwa pemerintah Iran yang Syiah juga menghargai ulama sunni. Ini akan menjadi diplomasi makam.Hahaha. Diapun langsung membalas dengan template diplomat, “Terima kasih, nanti akan saya coba usulkan, paling tidak menyampaikan pesan anda.”

Aku tidak berharap banyak, sejak dulu orang-orang penting Indonesia bahkan sudah menyampaikan langsung kepada petinggi Iran.Tapi belum ada perubahan. Yang penting uneg-uneg kesedihanku tersampaikan. Paling penting lagi aku sudah nyekar ke makam Imam Ghazali.

Tulisan ini merupakan catatan Hijroatul Maghfiroh Abdullah. Tulisan ini dikutip dari Facebook penulis.

Artikel SebelumnyaAyat Tujoeh; Kesempurnaan Alunan Rythim Imanensi
Artikel SelanjutnyaBungkam Kuta Makmur 2-1, Dewantara Juara Piala Ketua DPRK
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here