Beranikah Mualem Copot Dirut PT PEMA?

Ada, Don Zakiyamani menyoal polemik Dirut Bank Aceh Syariah. Bacaleg Beranikah Mualem Copot Dirut PT PEMA?
Don Zakiyamani, Pegiat Literasi. Foto: Dok. Penulis.

Sebuah pesan masuk, “Bang, sudah baca berita terkini?”
“Soal apa?” jawabku.
“Soal dugaan mengalirnya dana CSR PT PEMA ke luar Aceh, ke universitas tempat Dirut PT PEMA kuliah.”

Sejenak saya melamun, meraba ingatan, dan mulai berdiskusi dengan diri sendiri. Begini hasil diskusinya.

Aceh sedang menghadapi masalah pendidikan yang tidak bisa dianggap enteng. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi hanya sebesar 23,86%, jauh di bawah rata-rata nasional 31,53%.

Artinya, dari seluruh penduduk usia 19–23 tahun, hanya kurang dari seperempat yang mampu kuliah.

Sementara itu, Angka Partisipasi Murni (APM) untuk SMA berada di level 61,84%. Ini berarti lebih dari 60% pemuda Aceh berhasil menyelesaikan pendidikan menengah, namun hanya sekitar 24% yang bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Selisih hampir 38% itu merepresentasikan ribuan lulusan SMA/SMK yang terpaksa mengubur mimpi kuliah mereka—dan biaya adalah alasan utama.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS bahkan mencatat hampir 40% lulusan di Aceh yang tidak melanjutkan pendidikan menyebut “biaya mahal” sebagai penyebab utama.

Biaya ini bukan sekadar UKT, tetapi juga biaya kos, makan, transportasi, buku, laptop, dan kebutuhan praktikum. Bagi keluarga yang mayoritas berprofesi sebagai petani, nelayan, atau buruh, beban ini mustahil ditanggung.

Ironisnya, pada saat kebutuhan seperti itu memuncak, PT PEMA—BUMD kebanggaan Aceh—malah mengalihkan dana CSR-nya ke luar daerah. Apa yang ingin dibuktikan Dirut PT PEMA dengan tindakannya itu?

Sekarang, mari kita melirik regulasi soal dana CSR. Ini demi sikap ilmiah, apakah tindakan Dirut PT PEMA dapat dibenarkan?

Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT): tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah kewajiban perusahaan dan harus dianggarkan secara wajar dalam biaya perusahaan. Pelanggaran dapat dikenai sanksi hukum.

Baca juga: PEMA Setor Dividen Rp26,7 Miliar Ke Pemerintah Aceh

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 15 huruf b: setiap pelaku usaha wajib melaksanakan tanggung jawab sosial. Jika diabaikan, sanksi administratif bisa dijatuhkan, mulai dari peringatan hingga pencabutan izin usaha.

Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012: CSR harus direncanakan dan dilaksanakan dengan persetujuan dewan komisaris atau pemegang saham, sehingga menjadi bagian formal dari tata kelola perusahaan yang baik.

Selain regulasi nasional, PT PEMA memiliki aturan internal yang sangat tegas. Peraturan Direksi PT PEMA Nomor 001/PEMA/PD/X/2022 menyatakan: CSR harus diprioritaskan untuk masyarakat Aceh, khususnya di sekitar wilayah operasional perusahaan.

Pelaksanaan CSR “diutamakan di sekitar wilayah kerja perusahaan dan/atau Provinsi Aceh.” Yayasan penerima dana CSR wajib:

  1. Memiliki badan hukum,
  2. Terdaftar di Pemerintah Aceh,
  3. Berdomisili di wilayah kerja perusahaan, dan
  4. Tidak menjalankan usaha yang melanggar hukum.

Langkah PT PEMA menyalurkan CSR ke wilayah di luar Aceh, bila benar, bukan hanya berlawanan dengan semangat CSR nasional, tetapi juga jelas melanggar pedoman internal perusahaan.

Sejarah memberi pelajaran berharga. Pada 2015, Syukri Ibrahim, Dirut PDPA (cikal bakal PT PEMA), pernah menggugat keputusan pemerintah yang hendak melikuidasi perusahaan tersebut. Ia menang di PTUN. Secara hukum, ia seharusnya dikembalikan ke posisinya sebagai Dirut.

Namun, faktanya, putusan pengadilan itu diabaikan. Pemerintah Aceh tidak menjalankannya. Lalu PDPA pun diganti nama menjadi PT PEMA. Pergantian nama itu memang sah, tetapi tidak otomatis menghapus kewajiban moral dan hukum untuk menaati putusan pengadilan.

Ketidaktaatan ini menunjukkan pola lama: pemerintah lebih tunduk pada kepentingan politik daripada hukum. Bila sejak awal putusan PTUN dijalankan, marwah BUMD Aceh bisa lebih kuat, bukan sekadar alat kepentingan sesaat.

Ketika dana CSR meninggalkan Aceh, hal itu dirasakan sebagai pengkhianatan moral terhadap mahasiswa Aceh yang putus kuliah karena biaya. Keputusan ini menjadi tamparan bagi akal sehat dan rasa keadilan.

Sikap semacam ini mencerminkan dua kegagalan sekaligus:

  1. kegagalan membaca kebutuhan sosial Aceh,
  2. kegagalan mematuhi hukum dan regulasi—baik nasional maupun internal.

Francis Bacon pernah berkata, “Knowledge is power.” Pengetahuan seharusnya digunakan untuk memperbaiki kondisi manusia, bukan sekadar mengejar gengsi pribadi.

Apa yang dilakukan Dirut PT PEMA—menyalurkan CSR ke luar Aceh demi almamaternya—adalah contoh klasik dari “idola tribus” dan “idola specus”: terjebak dalam bias pribadi dan kelompok, sehingga gagal melihat kenyataan objektif masyarakat Aceh.

Karl Popper pun memberi peringatan keras: kebijakan publik harus selalu terbuka untuk diuji, dikritik, bahkan dibatalkan bila terbukti keliru. CSR yang melenceng dari amanah hukum dan kebutuhan rakyat Aceh adalah kebijakan yang falsifikasinya sudah jelas: ribuan anak muda yang putus kuliah.

Demi memulihkan marwah dan legitimasi serta menjalankan amanah perusahaan daerah, Pemerintah Aceh harus mengambil langkah tegas:

  1. Melaksanakan RUPS. Bila terbukti benar dana CSR mengalir ke luar Aceh, maka Dirut PT PEMA harus segera diganti,
  2. Belajar dari kasus Syukri Ibrahim. Jangan lagi menyepelekan putusan hukum. Taatilah pengadilan, sekalipun pahit,
  3. Mencari pengganti yang berintegritas. Sosok yang dipilih harus melalui uji kelayakan, bukan sekadar balas jasa politik atau tim sukses.

Mencopot bukan tindakan radikal tanpa dasar, melainkan respons rasional terhadap kegagalan memimpin dengan integritas dan kesadaran sosial.

Pemerintah Aceh harus menunjukkan keseriusan membela kepentingan rakyat Aceh pada umumnya dan generasi muda Aceh secara khusus. CSR harus menjadi instrumen pembangunan yang berpihak pada rakyat Aceh, bukan formalitas kosong. Jika takut mencopot karena alasan ini dan itu, pakai sarung saja dan tidur!

Diskusi saya itu mempertanyakan keberanian Mualem sebagai mantan panglima GAM sekaligus Gubernur Aceh.

Beranikah Muzakir Manaf, atau lebih garang dipanggil Mualem, mencopot Dirut PT PEMA yang kabarnya didukung orang kuat dari partai penguasa? Dan apakah Mualem akan sama dengan pendahulunya yang mengabaikan putusan PTUN?
Artikel SebelumnyaPerdamaian Harus Jadi Ideologi Generasi Muda Aceh
Artikel SelanjutnyaSiapa Fadhil Ilyas? Dirut Bank Aceh yang Baru Dilantik Mualem

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here