Komparatif.ID, Banda Aceh— Bagi pecinta wisata alam dan sejarah, Benteng Inong Balee di Aceh Besar menawarkan pesona yang unik dan penuh cerita masa lalu. Terletak di puncak bukit di Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, benteng ini memancarkan aura kemegahan sejarah kemaritiman Kerajaan Aceh pada abad ke-16.
Meskipun lokasinya terpencil dan medan yang harus dilalui cukup menantang, keindahan lanskap dari atas bukit serta nilai sejarah yang kuat membuat Benteng Inong Balee layak untuk dijelajahi.
Pemandangan dari benteng ini memperlihatkan hamparan Teluk Krueng Raya dan Pelabuhan Malahayati yang eksotis, sebuah pemandangan yang menjadi saksi bisu kejayaan para pejuang perempuan Aceh yang gagah berani.
Benteng Inong Balee dikenal memiliki sejarah yang sangat istimewa, terutama bagi mereka yang menyukai cerita heroik tentang perempuan perkasa.
Nama “Inong Balee” sendiri memiliki arti yang dalam; “Inong” berarti perempuan, dan “Balee” berarti janda. Sesuai dengan namanya, benteng ini pernah menjadi tempat berkumpulnya para janda yang suami-suami mereka gugur dalam pertempuran laut.
Di sinilah, di bawah pimpinan Laksamana Malahayati, para perempuan Aceh yang kehilangan pasangan mereka dibina dan dilatih menjadi prajurit tangguh yang siap menghadapi musuh-musuh.
Laksamana Malahayati menjadi figur sentral dalam sejarah benteng ini. Ia adalah laksamana laut perempuan pertama di dunia yang memimpin armada militer yang terdiri dari janda-janda yang ditinggal mati suami.
Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil, antara tahun 1589 hingga 1604, Laksamana Malahayati berhasil membentuk Armada Inong Balee, yang terdiri dari sekitar 2.000 prajurit wanita terlatih yang terlibat dalam berbagai pertempuran, baik di Selat Malaka maupun di daerah pantai timur Sumatera dan Malaya.
Kejayaan Armada Inong Balee tidak hanya terbatas pada perannya dalam melindungi perairan Aceh. Pada tahun 1599, Laksamana Malahayati memimpin pasukan dalam sebuah pertempuran yang epik melawan armada Hindia-Belanda.
Baca juga: Museum Tsunami: Monumen Ketangguhan Masyarakat Aceh
Dalam pertempuran tersebut, pasukan Inong Balee berhasil mengalahkan armada musuh. Laksamana Malahayati bahkan berhasil membunuh pimpinan armada Hindia-Belanda, Cornelis de Houtman, dalam duel satu lawan satu di atas kapal.
Anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, Hasan Djafar, dalam laporan yang disusun Kemendikbud menyebut Benteng Inong Balee merupakan salah satu benteng yang terpenting dalam sejarah pertahanan militer Aceh, dengan kemampuan pengawasan yang sangat baik terhadap potensi serangan dari laut.
Selain itu, Djafar mengatakan Banteng Inong Balee tidak hanya berfungsi sebagai benteng pertahanan, tetapi juga sebagai markas pelatihan militer. Laksamana Malahayati melatih para janda dan gadis muda untuk membela Kerajaan Aceh dari ancaman luar, terutama dari serangan Portugis dan Belanda.
Namun, meskipun memiliki nilai sejarah yang luar biasa, kondisi Benteng Inong Balee saat ini menunjukkan tanda-tanda kerusakan yang cukup serius. Hanya tersisa reruntuhan yang dapat dilihat, dikelilingi oleh pepohonan yang tumbuh liar dan diancam oleh abrasi pantai. Badan Arkeologi Medan memperkirakan struktur benteng ini memiliki ukuran sekitar enam puluh meter kali empat puluh meter, dengan dinding tebal yang masih dapat terlihat walau dalam keadaan rusak.
Sisa-sisa dinding tersebut menghadap langsung ke Teluk Krueng Raya, menambah nilai estetika tempat ini di samping warisan sejarah yang dimilikinya.Saat ini terdapat sisa-sisa dinding barat dengan 4 loop, bagian dinding utara dan bagian fondasi struktur timur.
Meskipun hanya terdapat sisa-sisa reruntuhan, pengunjung dapat menikmati pemandangan menawan dari puncak bukit yang menghadap ke teluk dan Pelabuhan Malahayati.
Pemandangan ini menciptakan suasana yang damai dan seolah mengajak pengunjung untuk merenungkan perjuangan para prajurit wanita di masa lalu. Di sekitar benteng juga terdapat makam Laksamana Malahayati, yang menjadi tempat penghormatan bagi sosok yang telah berjuang demi kemerdekaan dan kehormatan bangsanya.
Kisah tentang Armada Inong Balee dan Laksamana Malahayati tidak hanya sekadar menjadi bagian dari sejarah Aceh, tetapi juga sejarah Indonesia secara keseluruhan.
Sejak penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Laksamana Malahayati pada tahun 2017, semakin banyak orang yang mulai mengenali perannya dalam sejarah maritim Indonesia.
Di saat yang sama, Benteng Inong Balee yang menjadi saksi bisu perjuangan tersebut diakui sebagai Struktur Cagar Budaya Nasional. Keputusan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan situs sejarah dan budaya di Indonesia.
Melihat pentingnya Benteng Inong Balee sebagai situs sejarah dan budaya, upaya pelestarian dan revitalisasi benteng ini sangat diperlukan agar generasi mendatang tetap dapat mengenal dan menghargai warisan leluhur mereka.
Pemerintah, masyarakat, dan para pecinta sejarah diharapkan dapat berkolaborasi dalam menjaga kelestarian Benteng Inong Balee agar kisah heroik Laksamana Malahayati dan prajurit Inong Balee tetap hidup dalam ingatan bangsa.
Benteng ini bukan sekadar bangunan tua yang penuh cerita, tetapi juga simbol semangat pantang menyerah dari perempuan-perempuan perkasa Aceh yang rela mengorbankan segalanya demi mempertahankan tanah mereka.