Belalah Blang Padang Kita

Blang Padang
Plang yang dipasang KODAM Iskandar Muda di salah satu sudut Blang Padang, Banda Aceh. Foto diabadikan pada Sabtu (11/3/2023). Komparatif.ID/Muhajir Juli,

Tanah Blang Padang seluas delapan hektare kembali hangat dibincangkan publik Aceh, bersebab kabar dua pejabat teras Aceh “berlayar” ke Negeri Belanda demi mencari data sebenarnya tanah itu milik siapa.

Konflik itu bermula pada 2003, ketika Megawati mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 28/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Status Darurat Militer untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dilanjutkan dengan Keppres nomor 97/2003 tanggal 18 November 2003 sebagai perpanjangan Status Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Saat itu Pangdam Iskandar Muda Mayjen Endang Suwarya yang sekaligus Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) mulai memasang sejumlah plang di sekitar Blang Padang, yang menyatakan bila tanah itu milik TNI-AD.

Diawali oleh Pemerintah Kota Banda Aceh, akhirnya Pemda Aceh pun ikut mengklaim bila itu milik mereka. Aksi saling klaim sangat menguras energi. Sementara itu Blang Padang pun semakin eksklusif, dan praktek komersialisasi tetap berlangsung. Perihal itu telah diulas dalam artikel berita berjudul, Sengketa di Atas Tanah Musara Blang Padang.

Hingga 2023 aksi saling klaim belum bermuara. Menghabiskan energi besar, sekaligus dapat pula menyita perhatian publik dari kasus-kasus lainnya yang tak kunjung selesai di Serambi Mekkah.

Perhatian publik teralihkan dari isu-isu pertambangan mineral secara ilegal yang masih sangat marak di Aceh. Bertahun-tahun dan semakin meluas, tapi tak kunjung dapat ditindak secara menyeluruh oleh penegak hukum.

Juga isu pengelolaan dana otonomi khusus yang kian banyak menghasilkan orang kaya baru, gedung baru milik lembaga pemerintah, akan tetapi masih sangat sedikit dapat menjadi “obat luka” bagi rakyat yang apôh-apah ketika konflik bersenjata selama 30 tahun.

Juga isu pertambangan migas di lepas pantai Aceh, sudah sejauh mana dilakukan, dan seperti apa Pemerintah Aceh menyiapkan diri sebagai tuan rumah yang harus dihormati oleh KKKS dan lembaga-lembaga pemerintah yang mengurus bidang gas dan minyak bumi. Akankah pengalaman buruk masa lalu terulang? Ketika orang Aceh sekadar menjadi si beureukah gulam, dan orang luar yang gulam beureukah.

Blang Padang selamanya akan seksi. Bukan karena luas tanahnya. Bila dibanding dengan luas rimba Ilahi yang kini telah dikapling secara legal dan ilegal oleh kekuatan kapitalis yang bercumbu mesra dengan kekuasaan, luas Blang Padang tidak seberapa.

Blang Padang menjadi seksi karena seluruh rakyat Aceh percaya bila tanah itu merupakan umöng meusara (lahan persawahan yang telah diwakafkan) untuk kepentingan perekonomian Masjid Raya Baiturrahman. Wakaf merupakan hal yang sakral. Tidak boleh main-main.

Bila benar seperti disampaikan Karel Frederik Hendrik Van Langen—seorang PNS Belanda yang pada 1879 diperbantukan di Kantor Gubernur Aceh dan daerah taklukannya; Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Tengah, dalam buku De Inrichting Van Het Atjehschee Statbestur Onder Het Sultanaat yang terbit pertama kali pada 1898, bahwa Blang Padang dan Blang Punge merupakan umeung musara (tanah wakaf) Masjid Raya Baiturahman, maka tanah itu harus dikembalikan kepada MRB.

Rakyat Aceh harus mendesak pemerintah supaya menyelesaikan masalah itu. Toh selama ini aksi saling klaim merupakan bukti bila tanah itu bukan milik siapa-siapa selain MRB.

Perang memang telah berakhir. Tapi 17 tahun usia perdamaian, ragam masalah belum terselesaikan. Entah disengaja atau tidak, tak dapat dijawab. Apalagi semakin ke sini, bertambah banyak pula orang cerdas di Aceh yang memilih membeo; enggan bicara. Bila terus-terusan begini, maka kelak kita akan kembali dalam pusaran konflik.

Cukup sudah kita mengulang kisah, bahwa perlawanan Aceh selalu harus melalui perang bersenjata. Terlalu banyak sumber daya yang terbuang sia-sia.

Aceh punya empat institusi pendidikan tinggi yang disegani. Universitas Syiah Kuala, UIN Ar-Raniry, Universitas Malikussaleh (Unimal), dan Universitas Teuku Umar (UTU). Para profesor dan doktor di kampus-kampus itu harus turun tangan. Berdiri bersama rakyat membela Blang Padang.

Kita boleh kehilangan politisi dan birokrat, karena mereka telah terperangkap dalam kepentingan-kepentingan semu. Tapi Aceh tidak boleh kehilangan cendekiawan kampus yang kritis. Karena benteng terakhir ada di kampus. Bila kampus telah apatis dan praktis, maka habislah semuanya.

Kini saatnya akademisi turun ke gelanggang praktis. Ajak mahasiswa turun ke arena. Perjuangkan Blang Padang di mimbar umum, supaya rakyat ikut bergerak menjadi gerakan kolektif Aceh. Mari kembali ke falsafah mula, meunyoe ka pakat lampôh jrat tapeugala. 

Oleh: Muhammad, warga Aceh yang gelisah melihat Blang Padang. 

Artikel SebelumnyaArab Saudi Batasi Volume Loudspeaker Masjid Selama Ramadan
Artikel SelanjutnyaAceh Kehilangan Taji
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

2 COMMENTS

  1. Ya semoga pemimpin yg punya hati nurani…bisa melihat dgn mata hati apa sesungguhnya fungsi dan peran pemimpin dlm bentuk konsep Islam yg hrs di sambut utk selayaknya lah tanah waqaf berfungsi untuk kemakmuran masjid dan rakyat Aceh.

  2. Kenapa selalu menyimpulkan bahwa konflik akan terulang kembali di Aceh ? Berbagi narasi dan klaim sepihak dilontar kan, tetapi hal yg paling umum adalah karena rakyat Aceh belum sejahter dan itu salah dari orang luar sana yg katanya menjajah Aceh baik secara pasif atau terang2-an. Hay kawan apakah anda sadar dengan berita yg anda buat, berita yg sebenar nya sudah cukup baik namun terselip isi yg sangat tendensius dan provokatif. Tidak kan anda sadar mulai dari gubernur, ketua DPRA, wali Nanggroe sampai ketingkat paling bawah ketua RT RW dan kepala lorong itu semua putera daerah. Siapa yg telah menjajah bumi Aceh sekarang, siapa yg tidak bisa menjaga amanah yg rakyat berikan ? Lalu untuk siapa anda mengkhawatirkan rakyat Aceh akan angkat senjata kembali ? Terhadap pemerintah pusat atau justru dengan pemimpin di bumi Nangroe Aceh Darussalam sendiri ? Semoga anda sadar akan apa yg anda tulis. Karena sejatinya melawan ketidak Adilan bukan hanya terjadi diaceh tetapi juga daerah lain diseluruh Nusantara. Jangan terlalu sempit melihat suatu permasalahan sehingga semut diseberang lautan terlihat tetapi gajah didepan mata sendiri tak tampak. Terima kasih

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here