Kontestasi Politik 2024 Dan Bargaining Position Partai Islam yang “Membebek”

politik
Fajri, Mahasiswa Pasca Sarjana UIN ar-Raniry Banda Aceh konsentrasi Pemikiran Islam. Foto: Doc penulis.

Nasib partai Islam di jagad perpolitikan tanah air pasca reformasi tergolong tidak dominan, dan cenderung stagnan menjadi partai menengah saja. Bahkan beberapa partai Islam perolehan suaranya terus mengalami penurunan pada setiap kali pemilu, seperti PBB dan PPP.

***

Kontestasi politik 2024 masih jauh dari final, namun atmosfer perpolitikan tanah air mulai memanas seiring munculnya bakal calon presiden yang mulai “jual diri” di tempat umum dan ruang-ruang publik.

Terlebih pasca partai Nasdem yang secara resmi mendeklarasikan mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024, gemuruh jagad perpolitikan tanah air semakin riuh..

Langkah Nasdem mendeklarasikan Anies sebagai capres tergolong cepat dan berani. Nasdem curi start lebih awal dan boleh jadi membuat parpol-parpol lain kalang kabut.

Nasdem memang harus membangun koalisi dengan partai lain untuk mendaftarkan Anies, perolehan suara Nasdem pada 2019 tidak cukup memenuhi presidential threshold sendirian. Namun keberanian Nasdem curi start lebih awal dengan mendeklarasikan Anies sebagai capres patut diacungi jempol.  

Pada saat yang sama pula, partai-partai lain masih sibuk membangun koalisi namun tak kunjung sepakat tentang siapa capres yang bakal diusung. 

Hal ini berbeda dengan Nasdem yang tanpa banyak intrik dan dinamika, secara tiba-tiba mendeklarasikan Anies sebagai calon presiden yang mereka usung.

Langkah berani dan cepat Nasdem mendeklarasikan Anies Sebagai calon Presiden bukanlah tanpa kalkulasi akan konsekuensi. Apalagi Nasdem hingga saat ini masih bagian dari koalisi pemerintah pimpinan PDIP. Dimana sosok Anies dalam perspektif PDIP tentu berseberangan ide dan tujuan.

Tentunya sikap PDIP yang berseberangan dengan Anies Baswedan merupakan sikap resmi mereka. Terlebih Anies merupakan gubernur DKI Jakarta terpilih yang mengalahkan jagoan PDIP Ahok-Djarot pada 2017 lalu.

Pasca pendeklarasian Anies sebagai calon Presiden oleh Nasdem, saling sindir antar elit PDIP dan Nasdem semakin menjadi-jadi. 

Momen Presiden Jokowi tidak membalas rangkulan Surya Paloh, serta absennya dirinya memberi ucapan selamat untuk pada ulang tahun Nasdem diterjemahkan sangat politis, bahwa ada keretakan hubungan antar keduanya ekses pendeklarasian Anies sebagai calon Presiden.

Nasib Partai Politik Islam yang “Membebek” Partai Nasionalis

Selain hiruk pikuk perpolitikan yang mencuri perhatian publik tadi, hal lain yang tidak boleh luput dari perhatian ialah daya tawar partai-partai Islam soal pencapresan.

Nasib partai Islam di jagad perpolitikan tanah air pasca reformasi tergolong tidak dominan, dan cenderung stagnan menjadi partai menengah saja. Bahkan beberapa partai Islam perolehan suaranya terus mengalami penurunan pada setiap kali pemilu, seperti PBB dan PPP.

PBB sudah beberapa pemilu tidak lolos parliamentary threshold. Sementara Partai Bintang Reformasi (PBR) lebih apes lagi. Bubar. 

PKB dan PKS cenderung stabil bahkan merangkak naik. Namun tetap, bargaining politik partai Islam tidak sebesar partai nasionalis seperti PDIP, Golkar, Gerindra, atau Nasdem.

Memang, perihal dominasi partai politik di Indonesia, tidak ada partai yang dominan baik partai islam maupun partai nasionalis. 

PDIP misalnya, sebagai partai pemenang pemilu 2019, partai pimpinan Megawati ini tidak dapat digolongkan dominan karena perolehan suaranya tidak mencapai lebih dari setengah suara sah pemilih, suara mereka stak di angka 30 persen saja.

Nasib partai-partai Islam yang tergolong kurang beruntung tentunya dilatar belakangi faktor-faktor beragam. Mulai dari krisis figur yang memiliki magnet elektoral tinggi, krisis isu dan ide, hingga ego komunal yang rentan perpecahan.

Pun demikian halnya dengan bargaining position partai islam setiap kali gelaran pilpres dilaksanakan. Pilpres 2004 hingga 2019 misalnya, partai-partai Islam hanya terkesan membebek saja pada partai nasionalis terkait pemilihan figur calon Presiden.

Dalam artian figur-figur yang diusung internal partai-partai Islam tidak pernah menjadi calon presiden resmi yang mendapat legitimasi KPU. Sepertinya, nasib yang kurang baik ini akan kembali terulang pada gelaran pilpres 2024 mendatang. 

Jika nasib partai Islam tak kunjung membaik setiap kali gelaran pemilu, maka jargon Nurcholis Madjid Islam yes partai Islam no semakin mendapatkan relevansi dan legitimasi.

PKS misalnya, hampir bisa dipastikan akan berkoalisi dengan Nasdem yang mengusung Anies Baswedan sebagai capres.

Tentu saja Nasdem akan memimpin koalisi dam memiliki peran yang lebih dominan, apalagi secara elektoral partai Surya Paloh itu lebih besar dari PKS.

Melihat gelagat ini, sepertinya Nasdem bersama Surya Paloh bukan tidak mungkin menjadi pemain utama pada kontestasi politik 2024 mendatang. Kita tunggu saja!

Penulis: Fajri, Mahasiswa Pasca Sarjana UIN ar-Raniry Banda Aceh konsentrasi Pemikiran Islam

Artikel SebelumnyaPasar Tenaga Kerja AS Tetap Ketat Meskipun Ada PHK Sektor Teknologi
Artikel SelanjutnyaMenyambut Kaukus Pemuda Pidie
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here