Babi Janggut, Sus Barbatus yang Memesona

Babi janggut
Babi janggut di Taman Nasional Tesso Nilo. Dok. TN Tesso Nillo.

Babi janggut merupakan nama populer untuk babi hutan nokturnal yang memiliki nama ilmiah sus barbatus.

Dalam bahasa Inggris, babi janggut disebut sunda bearded pig.

Babi yang memiliki cambang dan janggut di area wajahnya tersebut, merupakan binatang liar endemik yang menyebar di Semenanjung Malaya, Sumatra, Kalimantan, dan Kepulauan Sulu.

Baca: Polda Aceh Tangkap 2 Pemburu Babi Asal Sumut

Babi janggut merupakan salah satu binatang yang ikut menjadi penghuni Taman Nasional Tesso Nilo, yang berada di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu, Provinsi Riau.

Di antara famili suidae, babi janggut merupakan genus sus paling “memesona”. Karisma tersebut karena babi liar itu memiliki cambang dan janggut, suka berkeliaran di sepinya malam.

Ukuran tubuh babi janggut cukup besar. Jantan dewasa bisa mencapai panjang 1520 mm. Tinggi bahu 90 cm, dan beratnya bisa mencapai 120 kilogram. Tapi umumnya berat babi tersebut 57 sampai 83 kg.

Tatkala masih muda –tidak disebut perjaka atau bukan– warnanya kehitaman. Kemudian berubah menjadi lebih pucat, dari abu-abu kuning hingga putih bunggalan.

Bulu-bulu berupa cambang dan jenggot, tumbuh di sepanjang rahang bawah. Sepasang tonjolan daging serupa kutil di kedua sisi mulut ditumbuhi rambut-rambut panjang, kaku dan keputih-putihan.

Babi janggut atau babi berjenggot termasuk binatang liar yang tidak suka memperlihatkan diri di siang hari. Mereka aktif di malam hari, tatkala manusia sudah tidur.

Babi tersebut memakan apa saja yang bisa dimakan, sama seperti babi lain pada umumnya.

Babi betina bisa melahirkan anak hingga 11 ekor. Uniknya, 11 ekor anak yang dilahirkan, seluruhnya bisa dididik menjadi babi berjenggot. Belum ditemukan keturunan babi tersebut yang tabiatnya berubah menjadi binatang lain.

Lembaga Konservasi Dunia IUCN, memasukkan babi berjanggut dalam status Rentan [VU], yang artinya jenis ini juga mengahadapi ancaman kepunahan.

Status ini sejak 2008, karena adanya penurunan populasi terus-menerus, hingga 30 persen dalam waktu 21 tahun. Penyebabnya adalah hilangnya habitat akibat eksploitasi dan perusakan hutan.

Smber: A Naturalist’s Guide to the Mammals of South East Asia, dengan penyesuaian.

Artikel SebelumnyaJemaah Haji Asal Banda Aceh Wafat di Mekkah
Artikel SelanjutnyaTarif Listrik Pelanggan Non-Subsidi Juli-September Batal Naik
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here