Perhelatan Agam dan Inong Aceh 2023 telah selesai digelar pada Jumat (29/9/2023) malam di Bale Meuseuraya Aceh. di tengah kecaman beberapa kalangan, Vima Syaddad Alfatan dari Aceh Singkil dan Raisya Almadea Irham dari Aceh Barat Daya, terpilih sebagai Agam dan Inong Aceh 2023.
Agam dan Inong Aceh 2023 bukanlah ajang yang baru digelar di Aceh. Ajang tersebut merupakan kegiatan rutin Pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Di seluruh Indonesia ajang tersebut juga digelar secara rutin dengan goal utama; menemukan duta budaya dan pariwisata yang mumpuni, dengan tujuan besar menjadi promotor wisata dan budaya.
Baru-baru ini perhelatan Agam dan Inong Aceh 2023 mendapatkan sorotan. Dengan jumlah anggaran Rp1,4 miliar, kegiatan itu disorot. Beberapa pihak menilai sebagai pemborosan; sekadar hura-hura untuk meraup untung segelintir orang. Mulai dari perencana, hingga vendor-vendor yang terlibat di dalamnya.
Baca: 5 Alasan Kamu Harus Habiskan Akhir Pekan di Aceh
Mereka menyandingkan kegiatan itu dengan rumah duafa. Seharusnya anggaran tersebut dapat dialihkan kepada kepentingan orang duafa. Wabil khusus dapat dipergunakan untuk membangun rumah untuk kaum duafa.
Sepintas pendapat demikian sangat heroik. Mencirikan pemikiran kritis bahwa mereka sangat peduli terhadap orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tapi bila ditelaah lebih dalam, mengecam Agam dan Inong Aceh 2023 dengan menyandingkannya dengan kebutuhan rumah untuk orang miskin, merupakan tindakan yang tidak apple to apple. Tidak sebanding, tidak setara, dan perbandingan yang keliru.
Pembangunan daerah tidak melulu tentang bicara penguatan dan perlindungan terhadap orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pembangunan harus dijalankan beriring. Orang miskin perlu diperhatikan, ajang prestasi perlu dijalankan, dan upaya-upaya lain untuk mengisi pembangunan tetap harus digalakkan. Itulah mengapa kemudian dibentuk berbagai organisasi di dalam internal pemerintah. Semua sektor diberikan perhatian dan ruang akselerasi, dengan harapan, seluruh sektor bertumbuh bersama menuju kesuksesan.
Bicara anggaran daerah, semua kalangan berhak mendapatkan bagiannya di dalam pembangunan. Oleh karena itulah, anggaran daerah ditempatkan di bawah berbagai dinas, supaya dikelola dengan baik untuk mencapai misi masing-masing.
Baca: 7 Alasan Kamu Harus Berkunjung ke Aceh
Perihal besaran anggaran selalu akan subjektif bila diukur melalui sudut pandang yang terbatas. Ajang promosi wisata melalui pariwara, video documenter, dan lain-lain, selalu akan menjadi tidak penting, bila dilihat dari sudut pandang orang miskin. Karena dari pandangan kaum marginal, yang penting adalah bantuan rumah, subsidi makanan pokok, dan layanan-layanan dasar lainnya, yang bila tanpa subsidi, mustahil dapat didapatkan.
Lagi-lagi, orang miskin telah dan terus diperhatikan melalui dinas terkait. Lagi-lagi harus dijelaskan, bahwa anggaran negara bukan semata diperuntukkan untuk orang miskin. Semua kalangan berhak mendapatkannya, sesuai dengan porsi masing-masing.
Bila ditarik dan dikupas lebih dalam, sektor pariwisata sangat berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Sektor pariwisata berkontribusi langsung untuk membantu peningkatan kesejahteraan rakyat. Bila sektor pariwisata tumbuh baik, maka yang terbantu secara ekonomi bukan hanya orang kaya yang mampu membuka objek wisata, tapi juga orang miskin. Baik sebagai tenaga kerja, maupun sebagai penerima multiplier effect lainnya dari mata rantai ekonomi pariwisata.
Mata Rantai Ekonomi Agam dan Inong Aceh
Lantas di mana peran agam dan inong Aceh dalam mata rantai ekonomi pariwisata? Secara nasional mereka merupakan duta wisata Indonesia. Setiap tahun pemerintah menyelenggarakan perhelatan Duta Wisata Indonesia, yang mempertandingkan duta-duta wisata daerah dari seluruh Nusantara. Seluruh provinsi mengirimkan delegasinya untuk mengikuti ajang tersebut. Di tingkat nasional, mereka akan berkompetisi untuk memenangkan predikat duta wisata Indonesia.
Tentu saja, untuk menjadi duta daerah, tidak dapat dilakukan melalui penunjukan langsung. Harus ada tahapan seleksi mulai dari tingkat kabupaten hingga provinsi. Untuk melakukan seleksi tentu membutuhkan uang. Karena harus ada ragam kegiatan hingga kemudian duta tersebut terpilih melalui kompetisi yang kompetitif.
Bagi anak muda yang peduli pada isu pariwisata dan budaya, ajang Agam dan Inong Aceh tentu sangat menarik. Menjadi salah satu jalan bagi mereka untuk mengembangkan bakat dan minat. Ajang ini menjadi salah satu catatan penting dalam portofolio hidup mereka. Telah banyak remaja yang dapat mengembangkan karirnya lebih bagus, setelah memenangkan ajang duta wisata. Ini tentu saja sebagai sebuah berkah.
Belum lagi menghitung nilai ekonomi dari uang yang diperuntukkan dalam kegiatan itu. 1,4 miliar rupiah dihabiskan untuk apa saja? Sebut saja untuk sewa hotel, membayar biaya make up, membayar biaya makan dan minum. Biaya untuk juri, biaya untuk tenaga pelaksana, dan biaya-biaya lainnya. Artinya uang Aceh Rp1,4 miliar juga mengalir untuk memberikan pendapatan untuk orang-orang Aceh juga. Dengan uang itu mereka dapat melanjutkan usahanya. Membayar gaji karyawan, membayar biaya pendidikan, membayar biaya kebutuhan pokok, dll. Itulah salah satu contoh multiplier effect. Bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan untuk kegiatan mengalir untuk banyak kalangan yang terlibat secara langsung dan tidak langsung.
Bilapun kemudian harus dikritik, maka yang harus di-breakdown anggarannya satu persatu. Sudah maksimalkah anggaran untuk ajang Agam dan Inong Aceh? Ataukah masih terdapat celah penggelembungan (mark up). Bila ada indikasi mark up, itulah ruang paling pas untuk dikritik.
Akhirnya, selamat kepada pemenang ajang Agam dan Inong Aceh 2023. Semoga kalian dapat menjadi duta yang mampu mempromosikan Aceh ke luar daerah. Karena kalian terpilih secara profesional, maka bergeraklah lebih baik. Wisata Aceh masih membutuhkan banyak dukungan, karena kita masih terus menjual potensi di tengah persaingan yang sangat ketat. Jadilah duta yang merepresentasikan Aceh. Jaga diri, terus kembangkan diri, dan jadilah yang terbaik.