Komparatif.ID— Setelah seseorang meninggal dunia, berbagai perubahan biologis segera terjadi dalam tubuh. Salah satu yang menarik untuk dipahami adalah: ke mana darah pergi setelah kematian?
Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, namun jawabannya mencerminkan proses alami yang kompleks dan penuh detail ilmiah.
Begitu jantung berhenti berdetak, aliran darah pun terhenti. Tanpa tekanan dari jantung, hemo (nama medisnya) tidak lagi bersirkulasi dan mulai mengendap di bagian tubuh yang paling rendah akibat gravitasi.
Fenomena ini disebut livor mortis atau post-mortem lividity, yang biasanya membuat kulit bagian tubuh tertentu —seperti punggung atau sisi tubuh— menjadi keunguan dalam beberapa jam setelah kematian.
Namun, darah tidak menguap atau “menghilang”. Seiring waktu, tubuh memasuki fase pembusukan. Sel-sel tubuh mulai rusak, pembuluh melemah, dan merembes ke jaringan di sekitarnya.
Gas-gas yang dihasilkan selama dekomposisi, termasuk dari darah yang terurai, juga berkontribusi terhadap aroma khas jenazah yang membusuk.
Mengutip Liputan6.com, begitu seseorang meninggal, tubuhnya akan mulai membusuk, meskipun proses pembalseman dapat memperlambat proses ini. Sel-sel tubuh akan mengalami kerusakan karena tidak lagi menerima oksigen, dan bakteri yang sebelumnya hidup damai di tubuh mulai menyerang jaringan.
Baca juga: Kenapa Perut Makin Buncit Saat Puasa?
Direktur Forensic Anthropology Center di Texas State University, Daniel Wescott, mengatakan meskipun dekomposisi dimulai dalam hitungan menit, waktu yang dibutuhkan tubuh untuk benar-benar terurai bergantung pada banyak faktor, seperti suhu, keasaman tanah, hingga bahan peti mati.
“Tubuh yang dikubur dalam peti mati biasa mulai rusak dalam waktu satu tahun, tetapi bisa memakan waktu hingga satu dekade untuk menjadi kerangka sepenuhnya,” jelasnya.
Nicholas Passalacqua dari Western Carolina University menambahkan jasad yang dikubur tanpa peti mati, yang lebih terekspos pada serangga dan elemen alami, umumnya menjadi kerangka dalam waktu lima tahun.
Proses biologis ini dimulai dengan apa yang disebut autolisis, yakni kehancuran diri sel akibat enzim-enzim yang dilepaskan dari lisosom. Menurut buku The Cell: A Molecular Approach enzim ini memecah karbohidrat dan protein dalam sel—termasuk komponen darah—dan mempercepat pembusukan jaringan.
Namun, dalam beberapa kasus, darah di dalam tubuh dikeluarkan secara manual melalui proses embalming dan digantikan dengan cairan pengawet. Ini biasanya dilakukan untuk keperluan pemakaman terbuka atau penundaan penguburan. Dengan teknik ini, jenazah tampak lebih tenang, dan warna kulit tetap pucat tanpa pembusukan yang mencolok.
Jika tidak diawetkan, darah akan ikut terurai bersama organ lainnya. Kandungan di dalamnya—seperti protein dan zat besi—akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme yang membantu proses dekomposisi. Nutrisi ini kembali ke tanah dan menjadi bagian dari siklus alam.
Proses ini menunjukkan darah kita tidak benar-benar hilang, melainkan kembali ke lingkungan dalam bentuk lain. Dalam kacamata ilmu fisika, ini sejalan dengan hukum kekekalan energi yang dikemukakan oleh James Prescott Joule: energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, hanya berubah bentuk.