Akhir-akhir ini dunia pesantren yang notabene adalah episentrum pengajaran agama terus mendapat sorotan dari publik dengan terungkapnya berbagai “skandal” memalukan, mulai dari kekerasan terhadap santri sampai dengan kejahatan seksual. “Skandal” disebut terakhir tidak saja memalukan, tapi juga memunculkan keresahan mendalam, sebab pesantren adalah medium yang diharapkan mampu melahirkan insan-insan religius yang nantinya akan tampil sebagai pemimpin-pemimpin umat di masa depan. Lalu bagaimana mungkin kejahatan seksual bisa tumbuh dan berbunga di sana?
Menyikapi pertanyaan ini, jawaban yang sering diajukan adalah soal relasi kuasa yang berlangsung di pesantren, di mana seorang teungku atau kiai adalah tokoh sentral yang memiliki kekuatan untuk mendominasi para santri.
Dalam hal ini santri akan segera mengambil posisi subordinat akibat adanya ketundukan kepada teungku dan kiai. Secara umum jawaban demikian tampak diterima oleh banyak pihak dan bahkan memiliki kebenaran faktual, di mana hubungan teungku, kiai dan guru dengan para santri di pesantren memang lumayan timpang.
Baca juga: Diduga Sodomi 5 Santri, Seorang Wali Kelas Dayah MA Ditangkap
Namun demikian, kita tidak boleh berhenti hanya di relasi kuasa tanpa berusaha menelusuri sebab-sebab muncul dan kukuhnya relasi kuasa tersebut, sebab relasi kuasa bukanlah sesuatu yang natural, tapi ia “sengaja” dibentuk guna memperteguh dominasi yang kemudian melahirkan ketundukan.
Tanpa adanya relasi kuasa ini, tentunya pesantren akan sama saja dengan lembaga pendidikan lainnya, di mana guru dan murid kerap diposisikan “sejajar.” Karena itu, relasi kuasa memang terkesan dipertahankan sehingga ia menjadi salah satu ciri khas pesantren.
Kultus di Dunia Pesantren
Lalu bagaimana relasi kuasa itu bisa muncul dan bertahan di pesantren? Untuk menjawab pertanyaan ini kita akan dihadapkan pada fenomena lain yang dikenal dengan kultus. Secara faktual fenomena kultus telah diterima sebagai suatu kewajaran oleh mayoritas publik, khususnya umat beragama. Meskipun tidak memiliki landasan teologis, namun fenomena tersebut telah terlanjur dianggap sebagai bagian dari cara beragama, khususnya oleh masyarakat kita yang dalam kondisi tertentu memiliki rasa fanatisme dengan kadar yang membingungkan.
Kultus kepada pemuka agama yang kemudian mengerucut pada pada tokoh-tokoh yang ada di pesantren semisal teungku, kiai dan guru menjadi salah satu sebab munculnya relasi kuasa di sana. Semakin tinggi kualitas kultus maka semakin kuat pula relasi kuasa itu. Dalam hal ini seorang teungku, kiai dan guru akan diposisikan sebagai sosok yang tidak bisa dibantah oleh kelompok subordinat yang berada di bawah kendalinya, dalam hal ini santri, termasuk pula orangtua santri dan bahkan masyarakat.
Karena itulah kejahatan seksual di pesantren sangat sulit terungkap sebab santri dan orangtua santri sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk melawan hegemoni para oknum berjubah agama. Tidak saja soal sulitnya perlawanan, “kerelaan” para santri yang kemudian menjadi mangsa kejahatan seksual dari oknum juga disebabkan oleh ketundukan akibat kultus.
Dalam hal ini para santri tidak memiliki daya untuk menolak setiap permintaan oknum teungku atau pun guru karena mereka berada pada posisi subordinat. Bahkan keadaan akan bertambah parah ketika para oknum dimaksud menggunakan argumentasi teologis semisal “keberkahan” atau “ketaatan” dalam menjalankan aksinya. Tidak jarang pula para santri akan dilabel sebagai “durhaka” jika menolak permintaan dari sang guru.
Hal serupa juga terjadi pada orangtua korban yang tidak berani menguak tragedi yang menimpa para santri karena adanya ketundukan kepada para oknum pelaku yang tak jarang menggunakan narasi-narasi religius guna menjustifikasi tindakannya.
Indoktrinasi
Hal lainnya yang menyebabkan relasi kuasa kian eksis di pesantren adalah pola pendidikan yang cenderung doktrinal, di mana sosok teungku atau guru berada pada posisi yang tidak “sejajar” dengan santri alias timpang.
Ketimpangan ini terlihat dari pola pendidikan di pesantren yang umumnya satu arah sehingga tidak membuka peluang terjadinya diskursus antara guru dan santri. Kondisi ini diperparah dengan adanya doktrin “tidak boleh melawan pendapat guru atau “guru lebih tahu dari santri.” Akibat dari pola pendidikan semacam ini daya kritis para santri menjadi terbenam dan layu sebelum berkembang.
Tidak adanya daya kritis dari santri tentu akan memberi peluang bagi penjahat seksual yang “menyaru” sebagai oknum guru untuk menjalankan aksinya di pesantren. Dari sejumlah kasus yang terkuak kita bisa melihat bagaimana para santri yang menjadi korban terlihat “polos” dan menerima begitu saja perlakukan dari oknum guru tanpa reserve, meskipun perlakuan itu ternyata tabu. Andai daya kritis itu ada, tentu tindakan-tindakan demikian akan melahirkan pergolakan dan perlawanan dari para santri. Namun sayangnya, itu tidak terjadi.
Lalu Salahkah Pesantren?
Sebagai sebuah lembaga yang didirikan untuk mendidik umat tentu kita tidak memiliki alasan untuk menyalahkan pesantren sebagai institusi atas sejumlah “skandal” yang terjadi. Kesalahan tentunya terletak pada oknum secara personal yang bukan saja melakukan kejahatan seksual tapi juga turut mencemarkan muruah pesantren di mata publik. Karena itu, pihak pesantren mesti melakukan evaluasi internal untuk menertibkan oknum-oknum yang menyaru sebagai teungku dan guru.
Selain itu, pola pengkultusan di pesantren juga harus segera diakhiri demi menyelamatkan kewarasan umat. Menghapus tradisi kultus di pesantren tentunya tidak akan mengurangi kehormatan para teungku, kiai atau pun guru. Sebaliknya penghormatan yang diberikan akan semakin kuat, sebab tidak lagi berlandaskan pada kultus (pertimbangan perasaan), tapi penghormatan terhadap integritas (pertimbangan rasionalitas).
Hal lainnya yang mesti diubah oleh pesantren adalah sistem pendidikan yang lebih terbuka dan “demokratis” sehingga daya kritis santri dapat berkembang. Dengan adanya daya kritis maka potensi kejahatan seksual di pesantren dapat diminimalisasi, meskipun memang tidak menjamin kejahatan itu akan hilang sepenuhnya, sebab berahi adalah sesuatu yang “natural” dan bisa dimiliki oleh siapa pun, termasuk oknum tokoh agama. Wallahul Musta’an.