
Warga Aceh sedang menjalani fase baru setelah siklon Senyar. Bukan hanya membangun kembali rumah dan jalan, tetapi juga membangun ulang perilaku kesehatannya.
Siklon Senyar memicu hujan ekstrem, banjir bandang, dan longsor yang melumpuhkan banyak wilayah Aceh, termasuk Banda Aceh, sejak akhir November 2025. Akses air bersih, sanitasi, dan layanan kesehatan sempat terganggu, membuat warga beradaptasi dengan cara yang sangat mendasar: bagaimana minum air yang aman, di mana mandi, dan ke mana harus berobat.
Dalam suasana darurat, masyarakat kembali diingatkan bahwa kesehatan bukan sekadar urusan rumah sakit, tetapi juga soal perilaku sehari-hari: cara mencuci tangan, mengelola sampah, hingga kebiasaan merokok di tenda pengungsian.
Pengalaman ini menjadi “cermin besar” yang memperlihatkan betapa rapuhnya perilaku sehat jika tidak ditopang sistem yang kuat.
Tidak semua cerita pascabencana berujung muram. Di banyak titik pengungsian, kegiatan edukasi tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) mulai rutin dilakukan.
Dari cuci tangan pakai sabun, penggunaan air bersih, hingga pentingnya membuang sampah pada tempatnya. Di beberapa lokasi, pos kesehatan darurat bahkan menjadi ruang belajar bersama tentang cara mencegah diare, penyakit kulit, dan ISPA yang kerap meningkat setelah banjir.
Satgas kesehatan perguruan tinggi, termasuk Universitas Syiah Kuala, turut menguatkan layanan dan edukasi kesehatan di lapangan.
Konseling singkat, pemeriksaan tekanan darah, hingga penyuluhan mengenai kesehatan mental pascabencana membantu warga lebih peka terhadap tanda-tanda bahaya, baik fisik maupun psikologis.
Banyak warga yang sebelumnya enggan memeriksakan diri kini mulai akrab dengan petugas kesehatan, sebuah modal penting bagi perubahan perilaku jangka panjang.
Baca juga: Relawan di Garis Depan: Menghadang Ancaman Infeksi Parasit di Tengah Tanggap Darurat
Kebiasaan Berisiko yang Masih Mengintai
Namun, di balik geliat positif itu, ada kebiasaan lama yang sulit hilang. Di beberapa titik pengungsian, warga masih terlihat mencuci di parit atau menggunakan air yang tidak sepenuhnya aman.Penggunaan air yang tidak sepenuhnya aman membuka peluang diare, hepatitis A, dan leptospirosis.
Kepadatan tempat pengungsian, ventilasi buruk, dan asap rokok di dalam tenda membuat risiko ISPA dan penyakit tidak menular seperti hipertensi dan penyakit jantung semakin besar.
Kelelahan fisik dan tekanan ekonomi mendorong sebagian warga mengabaikan pola makan sehat dan waktu istirahat.
Pada saat yang sama, luka psikologis—kecemasan, kesedihan berkepanjangan, sulit tidur—bisa berubah menjadi gangguan kesehatan mental bila tidak ditangani.
Penelitian di Aceh menunjukkan dampak psikologis bencana dapat bertahan hingga puluhan tahun. Jika dibiarkan, kombinasi perilaku berisiko dan beban mental ini berpotensi menjadi “gelombang kedua” krisis kesehatan setelah air surut.
Perilaku Kesehatan Baru & Peluang Emas Banda Aceh yang Lebih Sehat
Di sinilah Banda Aceh punya peluang emas: belajar dari Senyar untuk membangun budaya kesehatan baru. Puskesmas dan pos kesehatan di kota tidak boleh lagi sekadar menjadi tempat berobat.Tetapi juga pusat literasi bencana dan kesehatan, dengan edukasi rutin tentang cuci tangan, pengelolaan air,kesiapsiagaan banjir, hingga pertolongan pertama.
Pemerintah Kota Banda Aceh, kampus, media lokal, dan komunitas bisa berkolaborasi membuat kampanye “Banda Aceh Tangguh dan Sehat” yang menyasar tiga ruang utama: rumah tangga, sekolah, dan ruang ibadah.
Melalui kajian rutin, simulasi bencana, khutbah dan pengajian tematik kesehatan, hingga konten edukatif di media sosial, pesan yang ingin ditegaskan sederhana: belajar dari Senyar berarti mengubah perilaku, bukan hanya memperbaiki bangunan.
Jika perilaku sehat berhasil ditanamkan sebagai bagian dari identitas warga Banda Aceh, kota ini bukan hanya akan pulih, tetapi juga menjadi contoh bagaimana bencana bisa melahirkan generasi yang lebih peduli pada kesehatan diri, keluarga, dan lingkungan.











