Komparatif.ID, Jakarta— DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menolak wacana pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau melalui DPRD yang belakangan kembali didorong oleh sejumlah fraksi di DPR RI.
PDIP menegaskan posisinya tidak berubah dan tetap konsisten mendukung pelaksanaan pilkada secara langsung oleh rakyat.
Ketua DPP PDIP sekaligus anggota Komisi II DPR RI bidang politik dan pemerintahan, Komarudin Watubun, mengatakan penolakan terhadap pilkada tidak langsung merupakan sikap lama partainya.
Ia mengingatkan pada 2014 PDIP juga berada di barisan penolak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang sempat mengatur pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Menurut Komar, aturan tersebut pada akhirnya dibatalkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Ia menilai keputusan tersebut saat itu menjadi koreksi penting untuk menjaga arah demokrasi yang telah dibangun sejak Reformasi 1998.
“Jadi, kalau ada usul pilkada dipilih DPRD, kami tentu menolak, sikap kami tidak berubah,” kata Komar melansir CNNIndonesia, Selasa (23/12/2025).
Baca juga: Mendagri Setuju Gubernur Dipilih DPRD
Komar menilai pemilihan langsung merupakan bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi yang lahir pascareformasi. Ia mengingatkan agar capaian reformasi tidak dihapus hanya karena perubahan selera politik penguasa.
Menurutnya, perubahan sistem pemilu tidak bisa dilakukan secara sepihak tanpa kajian mendalam dan keterlibatan publik.
Ia menegaskan setiap sistem pemilihan harus benar-benar mencerminkan kehendak rakyat, bukan semata kepentingan elite politik. Komar juga mengingatkan agar bangsa ini tidak kembali ke praktik-praktik masa lalu yang dinilainya suram dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Lebih lanjut, Komar menilai pemilihan kepala daerah secara tidak langsung tidak serta-merta menyelesaikan persoalan klasik pemilu, termasuk praktik politik uang. Ia meragukan anggapan bahwa pilkada melalui DPRD akan menurunkan biaya politik, karena potensi transaksi politik tetap terbuka.
Menurutnya, jika proses pencalonan masih diwarnai mahar politik, maka ongkos politik justru bisa tetap tinggi. Ia juga mempertanyakan mekanisme pengawasan terhadap anggota DPRD agar tidak terlibat dalam praktik-praktik menyimpang dalam pemilihan kepala daerah.












