
Komparatif.ID, Bireuen— Agus Budianto, warga Gampong Pondok Balek, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, mengeluhkan mahalnya biaya transportasi darat setiap kali membawa hasil panen dari Aceh Tengah menuju Kabupaten Bireuen .
Menurut Agus, rute Aceh Tengah–Bireuen sebenarnya merupakan jalur yang lebih mudah dan cepat untuk dilewati dibandingkan jalur lain. Namun, tingginya biaya operasional di luar kendali membuat warga terpaksa kembali melewati jalur Gunung Salak.
Kondisi ini dinilai memberatkan, terutama bagi warga yang menggantungkan penghasilan dari hasil pertanian.
Ia menjelaskan, agar jalur tersebut bisa dilalui tanpa biaya tambahan, warga setempat sempat bergotong royong membangun jembatan darurat dari kayu balok di kilometer 60.
Upaya tersebut diharapkan dapat mempermudah akses transportasi dan mengurangi beban biaya angkut. Namun, jembatan darurat itu kembali rusak sehingga tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya.
Akibat kerusakan tersebut, warga yang ingin melintas harus membayar biaya pikul sebesar Rp10.000 per kilogram. Selain itu, karena kondisi jalan yang masih terisolir, Agus juga harus mengeluarkan biaya angkutan terpisah sebesar Rp700.000. Biaya tersebut belum termasuk ongkos pikul di beberapa titik lain yang totalnya mencapai Rp300.000.
Baca juga: Jembatan Bailey Teupin Mane Rampung, Akses Menuju Bener Meriah Kembali Terbuka
Agus menuturkan, dari hasil penjualan cabai sebanyak 40 kilogram dengan harga Rp30.000 per kilogram di Kota Juang, Bireuen, total pendapatan yang diperoleh sebesar Rp1.200.000. Namun, setelah dikurangi seluruh biaya perjalanan, uang yang tersisa hanya sekitar Rp200.000 yang digunakan untuk kebutuhan belanja sembako.
Ia mengaku hanya sanggup memikul sekitar 40 kilogram karena keterbatasan fisik. Jika membawa lebih dari itu, ia tidak mampu berjalan jauh. Kondisi tersebut membuat sebagian besar hasil penjualan habis di jalan sebelum sampai ke rumah.
Agus menyampaikan keluhannya dengan nada sedih dan penuh harap agar kondisi akses transportasi dapat segera diperbaiki.
Selain persoalan transportasi, Agus juga menyinggung soal kebutuhan pokok. Ia pernah mendengar informasi adanya beras subsidi di Aceh Tengah, namun harga satu karung berisi 15 kilogram hampir mencapai Rp400.000 dengan stok yang terbatas.
Di sisi lain, harga bahan bakar minyak juga sangat tinggi, mencapai Rp60.000 per liter. Agar sepeda motor tetap bisa digunakan, BBM tersebut terpaksa dicampur dengan tiner sebanyak tiga liter.
Kondisi ini, menurut Agus, semakin menambah beban hidup warga di daerah tersebut yang bergantung pada akses jalan untuk menjual hasil pertanian mereka.











