
Mun menangis di dekat jembatan Kutablang, Bireuen. Relawan yang membawa 5 ton logistik pangan dari Banda Aceh, diminta membayar Rp9 juta, bila ingin bantuan yang ia bawa bisa didaratkan ke seberang.
Mun, seorang relawan kemanusiaan yang telah punya pengalaman dari masa konflik, bergerak menggalang bantuan untuk korban dan warga terdampak banjir Aceh dan Sumatra.
Setelah berhasil mengumpulkan donasi–dia mendapatkan sokongan dari seorang donatur asal Malaysia– Mun bersama dua staf yayasan yang datang dari Malaysia dan Jawa Barat, bergerak menuju pantai timur-utara Aceh.
Baca: Antrean BBM di SPBU Bireuen Kembali Normal
Sepanjang jalan mereka membagikan beras, mie instan, air mineral, dll kepada orang-orang yang meminta bantu.
Ketika tiba di Kutablang, Bireuen, pada Selasa (9/12/2025) pagi, Mun segera mencari pengelola bisnis penyeberangan, supaya bantuan pangan yang tersisa di dalam bak truk sekitar 5 ton, bisa secepatnya diseberangkan.
Tapi, Mun harus gigit bibir. Biaya bongkar dan langsir ke tepian sungai dikenakan Rp2 juta. Biaya angkut menyeberangi sungai Rp5 juta, dan biaya bongkar dan muat lagi ke truk di seberang Rp2 juta. Total Rp9 juta.
Seketika Mun menangis. Pria asal Aceh Timur itu sembari terisak memohon belas kasihan para kuli angkut dan pengelola penyeberangan. Tapi semuanya tidak ambil pusing. Bagi mereka bisnis tetap bisnis, kemanusiaan ditaruh di tepian.
Kesedihan Mun bertambah-tambah karena dua relawan yang mendampinginya, mendengar, melihat, dan merasakan langsung, betapa di sana, rasa kemanusiaan telah mati.
“Aku sangat malu. Tak ada belas kasihan di dalam hati para pengelola bisnis penyeberangan darurat itu. Mereka sangat rakus,” kata Mun saat memberitahu Komparatif.ID. Sembari bercerita dia terus menangis.
“Sepanjang pengalamanku di masa konflik dan tsunami, baru kali ini aku lihat rasa kemanusiaan telah mati. Tidak berharga sama sekali. Dalam pikiran mereka hanya uang dan uang,” katanya sembari terisak-isak.
Pria berusia 45 tahun tersebut, tak mungkin membayar biaya sebesar itu. Ia tak punya uang dalam jumlah besar.
Dia pun membatalkan menyeberangkan bantuan pangan untuk korban banjir melalui penyeberangan darurat di Tutu Tingkeum,Kutablang.
Dia mencari tahu jalur alternatif lain. Setelah menyusuri jalan sepanjang tepian sungai,akhirnya ia mendapat jasa penyeberangan yang lebih murah, bukan lebih manusiawi.
“Akhirnya kami dapat yang biayanya lebih rendah. Rp4,5 juta. Dengan syarat, mereka membongkar, menyeberangkan. Kemudian kami sendiri yang membongkar dari perahu, dan mengangkutnya ke tepian jalan. Kemudian memuatnya ke truk pengganti,” terang Mun.
Tak ada seorangpun yang bersedia membantu. Tak ada yang menawarkan diri. Semuanya tak peduli. Relawan harus berjuang sendiri. Empati mati.
Salah seorang relawan yang datang dari Malaysia, rela meninggalkan wisudanya, demi membantu Aceh. Itu membuat Mun bertambah malu.
Kisah yang sama juga dialami oleh relawan lainnya bernama Agus Fernanda. Saking kesalnya dia menulis pengalaman buruknya itu di linimasa Facebook.
“Dari 700 ribu tiba-tiba jadi 5 juta untuk menyebrangkan bantuan dan relawan di Kutablang.
Sudah matikah rasa kemanusiaan kita?”
Status di linimasa Agus Fernanda menjadi pemantik. Kemudian muncul satu persatu testimoni serupa. Bahwa di penyeberangan darurat Kutablang, ongkos langsir barang dan manusia tidak masuk akal.
Banyak relawan kaget. Mereka tak menyangka penyedia jasa penyeberangan dan kuli angkut di sana, menepikan solidaritas kemanusiaan. Bagi mereka kapan lagi menangguk untung besar, bila bukan saat banyak orang membutuhkan bantuan.
Demikian juga biaya parkir di tepi jalan negara. Oleh pemilik kedai–parkir ilegal– mengenakan tarif Rp20 ribu per mobil. Dalihnya karena sesuai ketentuan desa. Bagi yang enggan bayar, dipersilakan pindah ke tempat lain.
Camat Kutablang Juga Kena Getok Harga
Camat Kutablang Erizal, Selasa (9/12/2025) saat dikonfirmasi Komparatif.ID, mengatakan pihaknya sudah berkali-kali mengimbau, menegur, dan mengingatkan. Tapi teguran dan peringatan, diabaikan oleh kuli angkut dan penyedia jasa penyeberangan di sana.
Dia dan Kapospol Kutablang dibuat tak berharga oleh mereka.
“Saya sendiri sudah habis Rp6 juta, hanya demi membayar biaya jasa bongkar muat dan penyeberangan di tempat itu. Padahal yang saya bawa bantuan pemerintah untuk korban banjir,” kata Erizal.
Menurut Erizal, saat diberi teguran, para kuli angkut dan pengelola penyeberangan tidak menjawab. Mereka diam seribu bahasa. Usai ditegur, perilaku tak berubah.
Erizal berharap Dishub Bireuen turun tangan. Dia bahkan sudah menghubungi pihak Dishub Bireuen, tapi yang didapatkan hanya jawaban iya.. iya. Tindak lanjutnya tidak ada.
Dishub Provinsi Aceh telah menurunkan beberapa personel ke sana. Tapi mereka tidak bisa berbuat banyak.
Bupati Bireuen H. Mukhlis,S.T mengatakan dirinya sudah mendapatkan laporan tersebut. Dia akan menindaklanjutinya. “Ini sudah keterlaluan. Saya akan berkoordinasi dengan Kapolres Bireuen untuk menindak para pelakunya,” sebut Bupati.
Untuk sementara, bila ada pihak yang hendak membawa bantuan ke seberang jembatan Kutablang, dapat berkoordinasi dengan pihak posko induk di Pendopo Bireuen. Supaya dapat diberikan pengawalan oleh Brimob.
“Untuk saat ini, bila ada yang ingin membawa bantuan menyeberangi Kutablang, bisa berkoordinasi dengan Posko Induk di Pendopo. Nanti akan dikawal oleh Brimob,” terangnya.
Kapolres Bireuen AKBP Tuschad Cipta Herdani, S.I.K, mengatakan pihak kepolisian akan menindak para pelaku. Dia tidak akan membiarkan aksi pungli berbalut jasa transportasi tersebut berlangsung lebih lama.
“Saya akan menindaknya. Ini tidak boleh dibiarkan,” katanya.
Sebagai informasi, sejak hari pertama masa tanggap darurat dimulai, Pemda Bireuen, Polres Bireuen, Airud Polda Aceh, dan Polda Aceh telah menyediakan satu boat karet di sebelah kiri jembatan, bila Anda datang dari arah Banda Aceh.
Salah seorang tokoh muda Kutablang, Azmi Murtala, menyebutkan boat tersebut tidak dikenakan biaya. Layanannya gratis. Dapat digunakan untuk menyeberangkan orang dan barang.
“Siapapun yang butuh, tanya saja di mana lokasi boat karet tersebut,” katanya.











