
Komparatif.ID, Banda Aceh— Ketua Bidang Kesejahteraan Rakyat DPP Partai Golkar, Andi Harianto Sinulingga (Andi HS), mendesak Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk segera memprioritaskan revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Tahun 2006.
Menurutnya, revisi tidak boleh lagi ditunda karena menyangkut dua isu krusial yang dianggap mendasar bagi keberlanjutan pembangunan dan penegakan keadilan di Aceh, yakni perpanjangan serta tata kelola Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan penyelesaian masalah Peradilan Hak Asasi Manusia (HAM) yang hingga kini terhambat.
Hal itu ia sampaikan saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI di Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Andi HS kedua isu tersebut bukan hanya penting secara administratif, tetapi juga menyangkut masa depan Aceh secara sosial dan politik. Ia menilai pemerintah pusat perlu memberikan perhatian khusus agar amanat perdamaian yang tertuang dalam MoU Helsinki benar-benar berjalan.
Andi menilai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh mengalami banyak hambatan dalam menjalankan tugasnya sesuai mandat MoU Helsinki dan undang-undang. Menurutnya, hal ini membutuhkan terobosan melalui revisi UUPA agar lembaga tersebut dapat bekerja lebih efektif.
Menjawab pertanyaan publik mengenai penggunaan dana Otsus selama dua dekade terakhir, Andi HS menegaskan anggaran itu telah memberikan dampak yang jelas terhadap perubahan Aceh.
Ia mencontohkan bagaimana kehidupan di kota Banda Aceh berkembang, termasuk aktivitas kota yang kini hidup selama 24 jam. Ia menyebut hal itu sebagai bukti dari perdamaian yang berkelanjutan dan dukungan dana Otsus.
“Kalau ada yang bertanya ‘ke mana uang Aceh selama ini?’, maka jika Bapak-Bapak anggota DPR kemarin datang ke Banda Aceh dan melihat kota Banda Aceh yang hidup 24 jam, itu adalah dampak dari perdamaian dan dari dana Otsus yang berjalan,” ujarnya.
Baca juga: Andi HS Sebut Partai Golkar Harus Ambil Peran Lebih Besar di Aceh
Andi menambahkan, perubahan signifikan juga terlihat di 23 kabupaten dan kota, terutama pada infrastruktur seperti pelebaran jalan dan pertumbuhan pusat-pusat kota baru.
Namun, ia mengingatkan perkembangan tersebut belum merata. Kondisi geografis Aceh yang terpencil dan dipisahkan oleh kawasan hutan, terutama Hutan Gunung Leuser, membuat sejumlah wilayah masih tertinggal.
Ia memaparkan kondisi akses antar-daerah yang masih sulit, terutama di wilayah pedalaman seperti Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Singkil, dan Subulussalam. Ia menyebut perjalanan antar-kabupaten yang seharusnya dapat ditempuh puluhan kilometer justru memakan jarak ratusan kilometer karena harus melintas Provinsi Sumatera Utara.
Akibatnya, ketimpangan antara Banda Aceh dan daerah pedalaman masih terasa kuat.
Andi menilai ketimpangan tersebut turut memengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang berbeda jauh antara wilayah ibu kota provinsi dan daerah pegunungan. Ia menyebut Banda Aceh kini memiliki IPM yang bersaing dengan kota-kota besar seperti Yogyakarta, bahkan lebih tinggi dari Medan.
Sementara itu, beberapa daerah lain masih tertinggal karena terisolasi dan kurangnya interkoneksi antar-wilayah.
Berdasarkan kondisi tersebut, ia menuntut percepatan penambahan anggaran untuk pembangunan konektivitas yang menghubungkan wilayah tengah Aceh dengan pesisir timur, barat, utara, dan selatan.
Ia menegaskan pembangunan jalan penghubung merupakan kunci percepatan ekonomi dan pemerataan pembangunan di provinsi tersebut. Menurutnya, revisi UUPA harus memberikan perhatian khusus terhadap aspek perencanaan dan penganggaran agar isolasi wilayah Aceh dapat teratasi melalui master plan yang jelas.
Andi HS meyakini bahwa jika konektivitas terbangun dengan baik dan arus mobilisasi barang serta orang semakin lancar, pertumbuhan ekonomi Aceh akan meningkat signifikan.











