Pembangunan Aceh Sebatas Nostalgia

Pembangunan Aceh Sebatas Nostalgia
Tibrani, alumni Pascasarjana Universitas Indonesia. Foto: Dok. Penulis.

Wacana pembangunan Aceh selalu dimulai dari masa keemasan Kerajaan Aceh Darussalam di masa kepemimpinan Iskandar Muda. Janji-janji politik selalu ditautkan dengan komitmen, bahwa pembangunan Aceh ke depan, akan seperti masa Iskandar Muda; meuceuhu ban sigom donya.

Saya tidak tahu, setiap orang yang membicarakan Iskandar Muda, apakah mereka tahu seperti apa dinamika pembangunan Aceh di masa itu? pola apa yang ditempuh sehingga Aceh kala itu dikenal sebagai salah satu kekuatan ekonomi dan politik di Asia Tenggara.

Setiap musim politik tiba, orang-orang Aceh—utamanya politisi dan timsesnya yang sedang bertarung—selalu mengetengahkan komitmen akan melakukan pembangunan Aceh seperti masa Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam. Tapi apa yang telah dilakukan Iskandar Muda tidak pernah dibahas lebih lanjut.

Ya, orang Aceh hingga saat ini masih senang dengan nostalgia; tentang pada suatu hari di masa lampau, Aceh pernah menjadi kekuatan maritim terkuat di Asia Tenggara, menjadi negara yang sangat maju di bidang ekonomi dan ilmu pengetahuan. Aceh yang menjadi pemegang otoritas perdagangan lada, dan lain-lain.

Gubernur Aceh Teungku H. Muzakir Manaf alias Mualem juga mengetengahkan Iskandar Muda sebagai role model pembangunan Aceh. sebagai Gubernur Aceh, Mualem mewacanakan konektivitas antara Krueng Geukuh di Kota Lhokseumawe-Pulau Penang, Malaysia.

Kita harus mengakuinya, bahwa Aceh dan Malaysia memiliki hubungan sangat erat di masa lalu. ketika Aceh masih menjadi sebuah empire besar dan Semenanjung Malaya waktu itu masih berdiri terpisah-pisah dalam berbagai kerajaan Melayu.

Dalam pidatonya, Mualem juga menegaskan bahwa ingin berpaling dari Medan [Sumatra Utara] dan ingin merintis kembali hubungan perdagangan lintas negara.

Dalam rangka berpaling dari Sumut, Mualem dan timnya bergerak mencari investor ke negeri Republik Rakyat Tiongkok. Salah satu yang diincar adalah investor telur ayam.

Menurut data yang dilansir Kantor Berita Antara, total jumlah telur Aceh yang dibutuhkan oleh Aceh mencapai 2 juta butir per hari pada akhir 2024. Sebanyak 90 persen pasokan telur diimpor dari Sumatera Utara.

Demi memutus mata rantai ketergantungan kepada Sumut, Mualem mencari investor ke Mainland.

Baca juga: Mualem Tinjau Peternakan Telur Raksasa di Tiongkok, Siap Bawa Teknologi ke Aceh

Kebijakan Mualem yang ingin mendatangkan investor Cina mengingatkan kembali hubungan Aceh-Cina telah terjalin semenjak beberapa abad lalu, hal itu dibuktikan adanya Lonceng Cakra Donya yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho dari Kerajaaan Dinasti Ming kepada Kerajaan Samudera Pasai. Cendera mata pertanda hubungan harmonis antar kedua kerajaan. Bingkai hadiah tersebut, kini dipajang di halaman Kompleks Museum Aceh, di Banda Aceh.

Pembangunan Aceh Masih Sekadar Wacana

Beberapa waktu lalu ada peristiwa menyesakkan dada, yaitu pembunuhan terhadap warga Aceh di Masjid Agung Sibolga, sang anak yatim itu meninggal dunia setelah dikeroyok oleh beberapa di preman sekitar.

Fenomena lainnya banyak anak-anak muda Aceh rela mengadu nasib ke berbagai daerah di Indonesia dengan menjadi penjual obat keras seperti tramadol, sejenis obat keras yang dijual tanpa resep dokter. Bisnis tramadol ilegal telah menyebabkan banyak orang Aceh Pulau Jawa harus berhadapan dengan hukum.

Ditambah dengan peredaran sabu-sabu yang pelaku umumnya orang Aceh. mereka tidak takut mati dan rela masuk penjara, demi mendapatkan upah dari bisnis sabu-sabu.

Semuanya bermuara pada kemiskinan. Orang Aceh harus hidup miskin di negeri yang kaya. Di bawah tanah Aceh tersimpan sumber daya alam yang melimpah. Di hutan Aceh tersimpan banyak kekayaan hayati. Di laut Aceh melimpah SDA dan kekayaan nabati. Tapi, semuanya itu tidak dapat memberikan kesejahteraan untuk orang Aceh.

Saya kira sudah waktunya menyudahi wacana pembangunan Aceh yang sibuk dengan nostalgia dan narasi yang penuh angin surga. Pemerintah Aceh harus berpijak pada kenyataan bahwa Aceh harus dikelola dengan baik.

Saya tidak anti terhadap investor. Tapi Pemerintah Aceh harus memaksimalkan kekuatan dari dalam. Kita dengan kekayaan alam, budaya, dan kuliner, harusnya bisa berdiri tegak. Pemerintah perlu membuka mata untuk melihat potensi anak muda Aceh.

Kita butuh investor. Tapi untuk apa investor bila orang Aceh hanya akan jadi penonton?

Kemudian, oleh karena itu, hentikan semua seremonial dan jalan ke sana kemari. Gubernur Aceh harus memulai pembangunan Aceh dari langkah paling realistis. Memetakan potensi dan masalah. Kemudian menyiapkan langkah-langkah. Sudahi nostalgia, mari melangkah ke alam masa kini, menuju masa depan dengan langkah pasti.

Artikel SebelumnyaMantan Ketua KPK Antasari Azhar Meninggal Dunia
Artikel SelanjutnyaPSPS Pekanbaru Tekuk Persiraja Banda Aceh 1-0

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here