
Komparatif.ID, Jakarta— Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mempertimbangkan untuk memasukkan kekhususan Qanun Aceh dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Usulan tersebut disampaikan oleh Aliansi Mahasiswa Nusantara (Aman) dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (15/10/2025).
Perwakilan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Muhammad Fadli, meminta agar DPR mempertimbangkan mekanisme penyelesaian perkara pidana berdasarkan Qanun Aceh yang bersumber dari hukum Islam.
Ia menilai kekhususan Aceh sebagai daerah dengan otonomi khusus perlu diakomodasi secara eksplisit dalam RKUHAP agar tidak terjadi tumpang tindih dengan hukum nasional.
“Tolong dalam RUU KUHAP untuk mengakomodir kekhususan Aceh ini diakomodir bagaimana penyelesaian secara spesifik di dalam RUU KUHAP itu,” ujar Fadli.
Menurutnya, pengaturan tersebut penting untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan Qanun yang selama ini berjalan berdampingan dengan hukum nasional.
Baca juga: DPRA dan Pemerintah Aceh Sepakat Raqan RPJMA 2025-2029 Diqanunkan
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, mengatakan pihaknya akan mempertimbangkan usulan tersebut secara serius. Ia menilai perlu ada kepastian agar seseorang tidak diadili dua kali atas perkara yang sama, baik berdasarkan hukum nasional maupun Qanun Aceh.
“Ternyata ini hal yang sangat baru terkait dengan Qanun Aceh. Prinsipnya, ada asas Ne Bis In Idem, bahwa satu masalah yang sama tidak bisa diadili dua kali. Apakah satunya berdasarkan Qanun dengan kekhususan Aceh dan satunya lagi dengan hukum nasional,” kata Habiburokhman.
Politisi Partai Gerindra itu menambahkan penerapan sejumlah tindak pidana ringan di Aceh sebenarnya sudah lebih dulu menerapkan konsep restorative justice yang kini sedang digodok untuk dimasukkan dalam RKUHAP. Ia menilai praktik di Aceh bisa menjadi contoh sinergi antara hukum adat, syariat, dan sistem hukum nasional.
“Sebetulnya konsep penyelesaian 18 tindak pidana ringan yang dipraktikkan di Aceh sudah mendahului konsep restorative justice yang baru akan kita implementasikan dalam KUHAP ini. Jadi ini tinggal disinergikan,” ujarnya.
Habiburokhman menekankan bahwa konsep restorative justice bukan nilai asing bagi masyarakat Indonesia, melainkan bagian dari budaya penyelesaian masalah secara kekeluargaan yang telah lama dipraktikkan di berbagai daerah. Ia mencontohkan beberapa peristiwa sederhana yang seharusnya dapat diselesaikan tanpa proses hukum formal.
“Saat ini ada guru cubit murid, jadi pidana. Guru jewer murid, jadi masalah. Dulu kita dipukul pakai penggaris kayu besar, tapi justru itu membuat kita tertib,” katanya.
Menurutnya, nilai-nilai penyelesaian yang berorientasi pada pemulihan dan pembinaan sosial seperti itu perlu dihidupkan kembali dalam sistem hukum nasional. Ia berharap pembahasan RKUHAP dapat menghasilkan aturan yang tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga memelihara rasa keadilan sosial di masyarakat.











