Media: Dari Anjing Penjaga jadi Badut Sensasi

Teruslah Pamer Sampai Hidupmu Nyungsep Malaikat, Iblis, dan Off the Record Media: Dari Anjing Penjaga jadi Badut Sensasi
Wicaksono. Foto: Dok. Penulis.

Di negeri ini, pejabat bisa bikin gempar hanya karena salah jawab atau ucap. Satu kalimat kaku atau nada bicara yang terdengar arogan langsung jadi headline, dibahas di talkshow, dipelintir di editorial, lalu dijejalkan ke publik berhari-hari. Seolah-olah persoalan terbesar bangsa ini bukan harga beras yang naik, pendapatan yang menyurut, bukan pula lapangan kerja yang makin sempit, tetapi wajah masam pejabat saat bicara.

Media online kemarin sore yang jumlahnya bejibun tampak begitu cerewet mengulik gaya bicara, tapi malas menyentuh substansi kebijakan. Malas membaca dokumen panjang, malas menguji data, malas menelusuri dampak nyata.

Wartawannya terkesan lebih suka memelintir slip of the tongue jadi drama nasional ketimbang menyelidiki kebijakan yang menyangkut nasib jutaan rakyat. Maka jadilah pers masa kini mirip infotainment politik: sensasi dijual, substansi dikubur.

Mari kita jujur: kebanyakan awak media masa kini memang malas. Mereka berat kaki untuk menelisik sebuah kebijakan yang memang butuh energi, butuh riset, butuh keberanian untuk menghubungi pakar, membuka data, dan menyingkap angka-angka yang sering disembunyikan. Itu semua melelahkan.

Baca juga: Sri Mulyani Indrawati

Menggoreng pejabat yang selip lidah lebih mudah, hanya perlu modal rekaman lima detik dan imajinasi redaktur untuk membuat judul menyala. Murah, cepat, gampang, dan yang paling penting: laku dijual.

Apakah rakyat tercerahkan? Tidak.

Apakah publik makin paham isi kebijakan? Jelas tidak.

Yang ada, publik dipaksa percaya bahwa gaya bicara pejabat lebih penting daripada isi keputusan yang diambilnya. Seolah nasib bangsa ini bisa berubah hanya karena seorang menteri salah memilih kata.

Padahal sejarah negeri ini mencatat, yang bikin rakyat menderita bukan kalimat arogan, melainkan kebijakan ngawur, regulasi semrawut, dan korupsi yang dibiarkan.

Media sering membanggakan dirinya sebagai pilar demokrasi. Tapi pilar macam apa yang sibuk meributkan mimik muka pejabat yang ngantuk, sementara isi kebijakannya lolos tanpa uji?

Pilar demokrasi yang berubah jadi panggung sandiwara. Alih-alih jadi anjing penjaga yang menggonggong saat maling masuk, mereka sibuk menggonggong pada bayangan sendiri.

Lihatlah pola yang makin sering berulang. Seorang pejabat salah ucap di forum resmi, media pun gaduh. Berhari-hari jadi trending, disajikan dalam liputan khusus, dipelintir jadi bahan debat televisi. Namun ketika kementerian yang sama mengeluarkan aturan yang akan mengubah hajat hidup jutaan orang, hanya sedikit media yang mau mengupas dampaknya secara mendalam. Publik dibiarkan buta, karena yang diberi panggung hanyalah drama, bukan substansi.

Logika algoritma memang menggoda: yang penting klik, bukan isi. Headline “Menteri Arogan” atau “Menteri Blunder” lebih cepat viral ketimbang ulasan regulasi. Klik lebih berarti daripada mencerahkan publik. Media pun jadi budak rating, lupa pada fungsi utamanya.

Dari sinilah lahir ironi. Media mengaku melawan kesewenangan pejabat, padahal yang terjadi justru pengkhianatan pada publik. Rakyat bukan butuh kabar pejabat salah ucap, tapi penjelasan jernih tentang mengapa kebijakan pangan amburadul, kenapa subsidi gagal, kenapa layanan publik bobrok.

Sayangnya, semua itu dianggap terlalu rumit. Lebih gampang menjual drama ucapan ketimbang menganalisis isi kebijakan.

Akibatnya, publik makin lama makin muak. Jangan salahkan orang bila lebih percaya pada podcaster amatir atau influencer TikTok. Jangan salahkan publik kalau mencari kebenaran di luar redaksi. Karena media sendiri yang memaksa publik untuk meninggalkan mereka dengan sajian dangkal. Kalau kepercayaan terhadap pers runtuh, itu bukan karena konspirasi pejabat, tapi karena media lebih suka jadi calo sensasi.

Pejabat memang tetap harus dikritik. Bahkan sekeras-kerasnya. Tapi kritiklah kebijakannya, bukan sekadar cara dia mengucapkan kalimat. Bedahlah angka-angkanya, tunjukkan dampaknya pada rakyat, ungkap siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan. Kritik sejati itu berdiri di atas substansi, bukan dibangun di atas gosip gaya bicara.

Sebagai orang tua yang setiap pagi mencari berita sambil menyesap kopi robusta, saya melihat media sudah berubah jadi infotainment politik. Bedanya tipis dengan acara gosip murahan, hanya tokohnya diganti dari artis ke pejabat.

Bedanya tipis dengan akun gosip di media sosial, hanya medianya yang masih mengaku serius. Dan bedanya tipis dengan badut panggung: sama-sama bikin gaduh, sama-sama bikin orang tertawa getir, tapi tak satu pun memberi solusi.

Saya rasa media bakal mati bukan karena dibungkam kekuasaan, tapi karena bunuh diri pelan-pelan. Mereka memilih jadi badut yang menertawakan salah ucap pejabat, bukannya jadi anjing penjaga yang menggonggong keras saat rakyat ditipu kebijakan.

Kalau terus begini, jangan kaget kalau publik makin angkat kaki. Dan ketika rakyat sudah benar-benar meninggalkan media, semua ocehan cerewet soal gaya bicara pejabat hanya akan terdengar seperti suara kosong di ruang hampa.

Riak-riak kecil dari industri yang dulu bernama jurnalisme, kini sekadar jadi tontonan badut yang kehilangan martabat.

Disitat dari linimasa Facebook.

Artikel SebelumnyaOJK Cabut Izin Usaha BPRS Gayo
Artikel SelanjutnyaLPS Siapkan Pembayaran Simpanan Nasabah PT BPRS Gayo

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here