Kolom: Kenaikan Pajak Jeungki 25 Persen

Bireuen nek ben kenaikan pajak jeungki
Mustafa A. Geulanggang. Foto: Dikutip dari Facebook MAG.

Bupati Pati Sudewo dituntut mundur karena kebijakannya menaikkan pajak PBB-P2. Kenaikan pajak yang direncanakan 250 %–kemudian dibatalkan–ditambah cara dia berkomunikasi, telah membuat rakyat marah. Demo besar-besaran pun terjadi.

Pilihan kenaikan pajak merupakan salah satu cara pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara/daerah guna membiayai pembangunan dan layanan publik. Serta sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang lebih adil dan berkeadilan.

Tapi kenaikan pajak di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu, akan disambut kekecewaan rakyat dan gelombang protes. Bila tidak bisa dikelola, akan meluas menjadi gerakan politik yang lebih luas.

Konon di zaman dulu hidup yang populer dengan panggilan Raja Jeungki. Nama aslinya Firdaus Al-Manfaruqi bin Ishaq Maulana Alias Thoa Ching Tuk.  Ia merupakan keturunan kedelapan dari keturunan Dinasti Ming, salah satu dinasti di Cina. Pun demikian, ibunya berdarah India Belakang.

Baca: Manajemen Nek Ben
Baca: Tionghoa Bireuen bukan Cina Morowali
Baca: Pang Bayak
Baca: Aweuk Seunujoh

Dengan demikian, kombinasi keturunan dua suku bangsa itu menyebabkan Firdaus  Al-Manfaruqi sangat tampan. Persis seperti bintang-bintang film India, meskipun mata sipitnya tetap kelihatan.

Itulah si Raja Jeungki. Pada saat itu negerinya tidak semakmur negara-negara tetangganya yang lain. Penyebabnya mungkin lantaran mata pencaharian penduduknya hanya bertani padi. Kerenanya devisa negara pun hanya berasal dari pajak hasil panen padi.

Pajak itu dikenakan kepada setiap penduduk yang berada di bawah kekuasan Raja Jeungki. Cara pemungutan pajak adalah pemberian lebel (daftar) yang dikeluarkan oleh Kerajaan pada semua jeungki (alat penumbuk padi).

Tercatatlah sekitar 1.000 jeungki yang dianggap sah beroperasi oleh pihak Kerajaan. Apabila ada masyarakat yang membuat jeungki secara ilegal, yang bersangkutan diancam dengan hukuman mati.

“Saudara saya perintahkan untuk melaksanakan tugas dengan baik,” titah Raja Jeungki kepada pemungut pajak dan pengawas.

Kepada setiap pemilik jeungki yang ingin menumbuk padi diwajibkan pajak 25 persen dari hasil tumbukannya. Dan akhirnya peraturan pajak jeungki berlaku untuk semua masyarakat tanpa pandang bulu.

Rakyat merasa tertekan karena dari padilah semua sumber pendapatan mereka. Rakyat yang tertekan kemudian kecewa dan marah karena Raja bersenang-senang dengan hasil jerih payah petani kecil.

Buntutnya di setiap sudut desa, masyarakat berdoa semoga Raja Jeungki terbuka hatinya. Yakni bersedia menurunkan pajak jeungki tersebut.

Di samping itu ada juga yang melakukan tindakan-tindakan ekstrim pada rajanya. Misalnya ada kelompok masyarakat yang berdoa secara khusus supaya Raja Jeungki itu cepat mati.

Selebihnya ada kelompok radikal yang ingin melakukan teror atau gerakan di bawah tanah untuk menggulingkan Raja Jeungki.

Walau demikian, Raja Jeungki tetap selamat dari semua keinginan negatif rakyatnya. Dan pada suatu pagi, Raja Jeungki memanggil putra sulungnya sebagai calon penerus Kerajaan Jeungki.

Ia bertitah, “Wahai anakku, usiaku kini sudah lanjut. Jika aku nanti mati, tolong rehabilitasi nama baikku. Selama ini masyarakat memandangku jelek,” begitulah pesan raja kepada putra mahkotanya.

Enam bulan kemudian Raja Jeungki pun meninggal dunia. Secara otomatis tampuk kerajaan beralih ke putra sulungnya itu. Karena ada wasiat supaya nama baik raja harus dipulihkan—karena semasa hidupnya  suka memeras masyarakat dengan pajak jeungki—maka program tersebut menjadi prioritas putra mahkota dalam awal-awal kepemimpinannya.

Pertama sekali ia mengeluarkan pengumuman tentang keberadaan jeungki. Intinya, antara lain meminta semua jeungki yang ada di dalam negeri dihapus. Yang tinggal hanya satu saja, yaitu jeungki istana raja.

“Saya ingin merehab nama baik orang tua saya. Silakan saudaraku menumbuk padi pada jeungki Kerajaan tanpa dikenakan pajak,” begitu isi pidato singkat Raja Muda itu di depan masyarakat umum.

Tentu saja masyarakat menyambut dengan gembira kebijaksanaan Raja Muda. Meski tidak ada lagi jeungki di rumah mereka, mulai saat itu mereka terbebas dari pajak pungutan pajak.

Kemana saja Raja Muda melakukan kunjungan kerja, ia selalu mendapatkan pujian, bahkan berlebih-lebihan, terutama bila dibandingkan dengan orang tuanya.

“Ini celaka duabelas, saya menginginkan supaya almarhum Ayah dipuji, tapi malah dicaci. Saya yang justru mendapat pujian,” Raja Muda mulai membatin.
Kenaikan Pajak dan Jeungki Hanya Satu

Dia membalikkan strategi. Dia mengeluarkan instruksi kedua. Yakni kenaikan pajak jeungki. Dalam prosesnya, jeungki tetap satu yaitu milik kerajaan. Setiap anggota masyarakat yang ingin menumbuk padi harus membayar pajak. Kenaikan pajak di atas 25 persen.

Begitulah isi pengumuman kenaikan pajak yang disampaikan kepada rakyat.

Terhadap keputusannya membuat keputusan kenaikan pajak jeungki, Raja Muda mendapatkan caci maki. Tapi Raja Muda merasa puas karena dengan kebijaksanaan kedua ini, nama orang tuanya menjadi lebih terhormat.

Sebab Raja Jeungki dulunya hanya mengenakan 25 persen pajak dan dibolehkan ada jeungki di setiap rumah. Raja Muda malah berusaha lebih menyengsarakan rakyatnya dibandingkan dengan Raja Jeungki. Kenaikan pajak pada masanya lebih 25 persen, dan jeungkinya hanya satu.

 

Artikel SebelumnyaBupati Bireuen: Saya Harus Bela Kepentingan Rakyat
Artikel SelanjutnyaAyah Ubit, Seniman Besar yang Merawat Keacehan
Mustafa A. Glanggang
Bupati Bireuen periode 2002-2007. Esais yang pernah menjadi wartawan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here