UU ITE Tidak Bisa Lagi Membungkam Kritik Untuk Pemerintah dan Badan Usaha

uu ite pasal karet mahkamah konstitusi
Gedung Mahkamah Konstitusi.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Komparatif.ID, Jakarta-Berkat gugatan Daniel Frits Maurits, kini UU ITE tidak lagi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan badan usaha.Menurut Mahkamah Konstitusi, kritik kepada lembaga atau instansi, merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh konstitusi.

Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (29/4/2025) mengabulkan sebagian permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dilakukan oleh warga Karimunjawa Kabupaten Jepara bernama Daniel Frits Maurits. Dalam petitumnya, pria itu menggugat pasal 27A UU ITE, Pasal 45 ayat (4) UU ITE, Pasal 28 ayat (2) UU ITE hingga pasal 45A ayat (2) UU ITE.

Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan Daniel terkait pasal 27A, Pasal 45 ayat (4), pasal 28 ayat (2) dan pasal 45A ayat (2).

Dengan keputusan tersebut, UU ITE tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjerat suara-suara kritis masyarakat terhadap lembaga negara, kelompok masyarakat, dan badan usaha.

Baca: Puluhan Korban Kriminalisasi Dukung Revisi Total UU ITE

Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan dalam Pasal 27A UU 1/2024 yang mengatur tentang pencemaran nama baik melalui sistem elektronik, harus dimaknai secara sempit untuk menghindari penyalahgunaan.

Pasal ini berbunyi Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan bahwa pasal tersebut seharusnya hanya berlaku bagi pencemaran terhadap individu atau orang perseorangan, dan tidak berlaku jika korbannya adalah lembaga, institusi, atau kelompok.

“Dengan demikian, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka terhadap Pasal 27A UU 1/2024 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa ‘orang lain’ tidak dimaknai ‘kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan’,” jelas Arief dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (29/4/2025).

Menurut Mahkamah Konstitusi, kritik yang ditujukan kepada lembaga atau instansi adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menafsirkan frasa “orang lain”, MK menegaskan bahwa yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah individu, bukan badan hukum, institusi, kelompok, profesi, atau jabatan.

Lebih lanjut, MK juga memberikan penjelasan mengenai frasa “suatu hal” dalam Pasal 27A, yang dinilai terlalu umum dan bisa menimbulkan multitafsir. Frasa ini dapat menciptakan ketidakjelasan antara pencemaran nama baik dan penghinaan biasa. Untuk itu, Mahkamah menyatakan bahwa frasa “suatu hal” harus ditafsirkan secara ketat sebagai “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang”.

Dalam sidang yang sama, Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa meskipun pemaknaan yang diberikan Mahkamah tidak sama persis dengan permintaan pemohon, permohonan tersebut tetap dianggap beralasan secara hukum untuk sebagian.

Mahkamah juga memberikan perhatian khusus terhadap frasa “tanpa hak” dalam Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) UU 1/2024. MK menilai bahwa unsur ini tetap diperlukan untuk melindungi hak-hak profesi seperti wartawan, peneliti, dan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.

Frasa “tanpa hak” menurut Mahkamah, berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang merugikan hak orang lain dan tetap dibutuhkan untuk memberikan perlindungan terhadap kehormatan atau martabat seseorang, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Selain itu, ketentuan ini juga sejalan dengan standar internasional untuk menindak ujaran kebencian atau konten xenofobia.

Hakim Enny menjelaskan bahwa apabila unsur “tanpa hak” dihapus, maka akan terjadi kriminalisasi terhadap profesi tertentu yang sah, dan dapat membatasi kebebasan berekspresi secara tidak proporsional. Oleh karena itu, unsur tersebut tetap sah secara konstitusional.

MK juga menyoroti ketentuan dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang dianggap bisa menjerat ekspresi netral jika tidak diberikan pembatasan yang jelas. Menurut Mahkamah, penegakan hukum terhadap ujaran kebencian harus dibatasi hanya pada informasi atau dokumen elektronik yang secara jelas memuat ajakan kebencian berdasarkan identitas tertentu, disebarkan secara sengaja, terbuka, dan menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan terhadap kelompok tertentu.

“Frasa ‘mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau mempengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu’ harus dimaknai hanya sebagai informasi yang secara substantif memuat tindakan penyebaran kebencian yang nyata, berdasarkan identitas tertentu,” tegas Enny.

Dengan putusan ini, Mahkamah berharap agar penerapan UU ITE menjadi lebih adil, tidak multitafsir, serta tidak disalahgunakan untuk membungkam kritik atau membatasi kebebasan berekspresi warga negara.

Sumber: hukum online.

Artikel SebelumnyaSimulasi Demo Anarkis, Kapolda: Lebih Baik Berdarah Saat Latihan daripada Gagal di Lapangan
Artikel SelanjutnyaKapolres Aceh Tamiang: Negara Tidak Boleh Kalah dengan Preman
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here