![Jeunib Jenzah Is di rumah ibunya](https://i0.wp.com/komparatif.id/wp-content/uploads/2025/02/Jeunib.jpg?resize=696%2C435&ssl=1)
Is telah pergi. Ia tewas dihajar 8 laki-laki di Gampong Gampong Teupin Kupula, Minggu (9/2/2025). Sampai ajal menjemput, pria hitam manis itu tak kunjung mampu membangun rumah untuk istri dan anak-anaknya. Selama dia hidup, mereka tinggal berpindah-pindah.
Seseorang menghubungi Komparatif.ID, memberitahu bahwa pencuri televisi yang tewas dikeroyok di Jeunieb, mencuri karena terpaksa. Pria kelahiran 1984 itu mencuri bersebab butuh uang untuk membiayai keluarganya. Ia tak tahan bila anak-anaknya kelaparan.
Pesan itu menusuk. Bukan sekadar memberi tahu bahwa pria tersebut mencuri karena terpaksa.Tapi juga “mencolek akal sehat” bahwa allahyarham tak pantas dianiaya dan kemudian tewas di tangan “para pembela kebenaran”. Ia tak pantas dihukum sedemikian berat, hanya gara-gara berkali-kali mencuri.
Baca: 2 Maling Televisi DiHajar Massa di Jeunieb, 1 Meninggal Dunia
Ada sesuatu yang luput dari pemberitaan. Demikian kesimpulan Pemimpin Redaksi Komparatif.ID Muhajir Juli.
“Ya, ini bukan sekadar peristiwa biasa. Ini tentang tragedi kemanusiaan. Harus digali lebih dalam behind the story. Temukan sisi lain dari peristiwa itu!” tegas Pemred Komparatif.ID.
Senin, 10 Februari 2025, kontributor Komparatif.ID bertandang ke Gampong Blang Lancang, Jeunieb. Secara perlahan menelusuri kisah hidup sang buruh dan keluarganya. Dalam perjalanan menemukan sisi lain dari kehidupan pria itu, Komparatif.ID menemukan pengalaman religius.
“Saat jelang sakratul maut, Bang Is sempat mengucapkan lailahaillallah,” sebut seorang warga yang ditemui Komparatif.ID di sebuah kios di gampong tersebut. “Jenazahnyajuga cepat sekali suci. Tak ada kotoran di dalam lubang anusnya. Wajahnya juga terlihat tenang,” tambah warga tersebut.
“Secara lahiriah dia memang mencuri televisi. Tapi secara batiniah kita kan tidak tahu sesungguhnya seperti apa batinnya. Ia memang salah, tapi apa yang menyebabkan ia begitu?” celetuk warga lainnya.
Setelah berbelanja buah tangan, perjalanan dilanjutkan ke rumah duka, sebuah hunian sederhana miliknya Naim (60) ibundanya allahyarham. Keluarga menggelar tahlilan di rumah itu. Nama almarhum ditempel di dinding rumah, sebagai pengingat bagi siapa saja yang berdoa, agar mudah dalam mendoakannya.
Di sana kontributor Komparatif.ID berbincang dengan Naim dan istri mendiang, Hab (40). Wajah kedua perempuan itu masih terlihat secara jelas gurat duka. Terpampang dengan benderang ketidakberdayaan. Duka dan tak berdaya yang menyatu menjadi pasrah. Takdir telah ditetapkan atas sang kepala keluarga, dan itu harus mereka terima dengan segala kedukaan. Meski sakit, harus ditelan.
Is merupakan seorang suami dan ayah yang sangat mencintai keluarganya. Sehari-hari ia bekerja sebagai buruh kuli di tambak dan buruh bongkar muat ikan di pelabuhan tradisional.
Pekerjaannya sebagai kuli tidak menghasilkan rupiah yang banyak. Bahkan ia seringkali tidak memiliki aktivitas ekonomi.
Demi membantu perekonomian keluarga, Hab tidak berpangku tangan. Ibu beranak empat itu bekerja serabutan. Hab mencuci pakaian orang, meraut lidi kelapa.
Bila tidak sedang mencuci pakaian orang, Hab bisa menghasilkan lidi 10 hingga 15 kilogram dalam sehari. Setiap kilo dibeli pengepul Rp3000.
Kehidupan mereka nomaden. Mereka berpindah-pindah karena belum memiliki rumah. Terakhir menetap di dalam rumah sederhana milik Naim. Pria itu tidak punya pilihan lain, karena sejak menikah hingga memiliki empat anak, kehidupannya selalu terpuruk.
“Kalau mengutang beras satu muk dua muk sudah sangat sering,” kata Hab.
Selama hidupnya, yang tidak sanggup dilihat oleh pria kelahiran Blang Lancang, bila istri dan anak-anaknya kelaparan. Ia tak kunjung dapat berhenti sebagai pencuri, karena tak bisa menahan gejolak batin bila anak dan istrinya lapar.
Ya, kelaparan memang sangat ramah kepada keluarga itu.
Seorang kenalan sang pencuri kambuhan itu memberikan testimoni. “Pernah suatu waktu saya bertanya sama si Is, kenapa kamu sering mencuri? Ia berkata, ‘aku tidak sanggup mendengar anak-anakku menangis karena kelaparan’.”
Senin, 10 Februari 2025, Is sudah dua malam di alam barzah. Ia pergi secara tragis. Ia meninggal dunia dikeroyok oleh delapan pria dewasa di Dusun Setia, Gampong Teupin Kupula. Dia dicegat saat sedang berupaya melarikan satu unit televisi flat milik warga yang sebelumnya disembunyikan di semak-semak di Gampong Lancang.
Warga memang sudah sangat gemas terhadap perilakunya. Tapi mereka ternyata offside.
Maling televisi itu mengembuskan nafas terakhir di Puskesmas Jeunieb. Meninggalkan segenap beban dunia, sembari disertai isak tangis ibu, anak dan istri. Ia meninggalkan empat anak, masing-masing dua laki-laki dan dua perempuan.
Si sulung berumur 17 tahun, bersekolah di salah satu SMK. Anak kedua berusia 13 tahun dan bersekolah di SMP. Anak ketiga, perempuan, berumur 8 tahun. Dan di bungsu masih berusia 5 tahun. Mereka tidak tahu apa pekerjaan ayahnya di malam hari. Tapi mereka tahu sang ayah tewas di tangan delapan laki-laki.
*Seluruh atau sebagian isi berita ini dilarang dikutip atau disebarkan ulang dalam bentuk apa pun, termasuk dilarang untuk disebar dalam bentuk postingan media sosial melalui platfrom apa pun.
Mencuri memang salah namun main hakim sendiri juga kesalahan