Antara Madrid, Banda dan Narasi Kota Madani

madrid madani
Salah satu sisi Banda Aceh yang semraut. Sisa hujan menjadi genangan yang sangat mengganggu lalu lintas. Foto: Munawar Liza Zainal.
Madrid yang didirikan oleh muslim di bawah Emirate Córdoba. Kota itu mempunyai sistem pengairan yang luar biasa bagus. Beda dengan Banda Aceh, yang menyebut dirinya  madani, tapi selokan saja masih centang-perenang.

Hari sudah hampir siang, kami sampai ke Mataro, pinggiran kota Barcelona. Sore itu ada pertandingan sepak bola di stadium Camp Nou antara Barcelona melawan AC Milan.

Kami segera ke resepsionis hotel untuk check in supaya bisa mandi dan mengejar pertandingan di sore hari ke pusat kota yang berjarak sekira 30 Km.

Baca: Pemerintah Bulut dan Program Meuwöt Lam Bruek Ruhung

“Tolong cepat diberikan kunci, kami mau menonton Barça ke stadium,”demikian saya sampaikan kepada gadis di belakang meja.

Dia pun bekerja dengan cepat, namun dengan wajah yang kecut dan tersenyum masam, dengan tidak mengurangi keramahannya.

Waktu kunci diserahkan, saya bertanya, ada hal apa sampai wajahnya berubah. Dia menjawab dengan ramah, “saya pendukung Los Blancos, Real Madrid, tidak suka dengan Barça,” Saya jadi mengerti kenapa dia kecut.

Madrid adalah ibukota Spanyol, di tepi sungai Manzanares. Kawasan ini memang sudah didiami sejak lama, namun Madrid adalah kota benteng bertembok yang didirikan oleh muslim di bawah Emirate Córdoba. Dalam beberapa referensi, Madrid berasal dari kata bahasa Arab, Majrit, yang diambil dari Majra, kanal-kanal aliran air.

Kota itu, dulu di bawah pemerintahan muslim, mempunyai sistem pengairan yang luar biasa.

Di sana pernah lahir pula ilmuan hebat seperti Fátima de Madrid, astronomer dan ahli matematika, putri dari ulama ahli berhitung, Maslama al-Majriti.

Kota-kota yang dibangun maju oleh muslim dahulu seperti Madrid, Córdoba, Cairo, Bagdad, Agra dan lain-lain, mempunyai sistem WASH (Water, Sanitation and Hygiene) yang luar biasa hebat, lengkap dengan taman-taman dan jembatan yang indah.

***

Semalam karena ada suatu keperluan, keluar melewati simpang BPKP. Hujan lebat turun sejak 20 menit sebelum keluar rumah. Sesampai di simpang, semua kendaraan melaju perlahan, rupanya jalan penuh dengan air yang tidak tahu mau mengalir kemana.

Padahal kiri dan kanan jalan, ada parit pembuangan besar, bersambung sampai ke Sungai Aceh, namun hampir semua tertutup rapat.

Tadi lepas Subuh, saya lewat sebuah kampung yang lain di seputaran kota, air tergenang, pemilik kedai sampai meletakkan kursi di atas jalan, supaya pengendara berjalan pelan dan tidak membasahi orang di tepi jalan.

Kalau dibanding dengan Madrid atau Còrdoba malu kita menyebut diri sebagai bangsa yang madani, berperadaban.

Lebih malu lagi, hal ini sudah terjadi bertahun-tahun, tanpa ada penyelesaian dari pemerintah. Tidak ada yang peduli.

Semoga ke depan banyak yang tergerak hati untuk memperbaiki kehidupan masyarakat.

Artikel SebelumnyaPemkab Aceh Besar Kebut Pembangunan Jalan Jantho-Keumala
Artikel SelanjutnyaDiduga Aniaya Wartawan, Keuchik Cot Seutui Bantah Lakukan Kekerasan

1 COMMENT

  1. Aceh ini mungkin secara kasat, boleh dibilang daerah dengan orang-orangnya yang problematik. dibikin begini, salah. dibikin begitu, juga salah. diatur, salah. ngurusin diri sendiri, juga nggak kompeten.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here