Komparatif.ID, Banda Aceh— Sepanjang 2024 Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mencatat 31 kasus korupsi di Aceh dengan total 64 tersangka. Total kerugian negara ditaksir mencapai Rp56,8 miliar.
Jumlah kasus sedikit menurun dibandingkan 2023 yang mencatatkan 32 kasus, namun tahun lalu kerugian negara akibat korupsi di Aceh mencapai Rp171 miliar.
Hal tersebut dipaparkan koordinator MaTA, Alfian, pada konferensi pers tren penindakan kasus korupsi di Aceh tahun 2024 di kantor MaTA, Banda Aceh, Rabu (8/1/2024).
“Pada tahun 2024, terdapat 31 kasus dengan jumlah 64 orang tersangka dan kerugian negara mencapai Rp56,8 miliar,” ungkap Alifian.
Alifan menjelaskan penyelewengan dana desa mendominasi tren kasus korupsi di Aceh pada 2024 dengan 16 kasus, disusul sektor keagamaan, kesehatan, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan masing-masing dengan dua kasus.
Dalam data yang dipaparkan Alfian, MaTA mencatat modus penyalahgunaan anggaran mendominasi korupsi di Aceh dengan total 15 kasus, disusul penggelapan dana, lima kasus, laporan/kegiatan fiktif empat kasus, penyalahgunaan wewenang tiga kasus, serta mark up dua kasus.
Selain itu, Alfian menyebut penegakan hukum di Aceh masih terfokus pada kasus-kasus di level desa, sementara dugaan korupsi besar yang melibatkan aktor-aktor utama sering terabaikan.
Ia mengkritik aparat penegak hukum di Aceh yang belum maksimal dalam mengejar kasus kelas berat, seperti dugaan penyimpangan dalam pembangunan rumah sakit regional, pengelolaan dana pokir DPRA, dan pembayaran utang proyek pendidikan.
Baca juga: MaTA Ungkap 7 Modus Dominan Kasus Korupsi di Aceh
“Pengungkapan kasus korupsi jangan berhenti pada pelaku operasional, tanpa menjangkau pelaku utama. Banyak kasus yang diputuskan di Pengadilan Tipikor justru mengabaikan pelaku utama yang semestinya harus dijerat hukuman berat,” terangnya.
Ia juga meminta kejaksaan menyusun dakwaan dengan lebih cermat, untuk menutup celah hukum yang dapat dimanfaatkan terdakwa untuk lolos dari hukuman.
“Kejaksaan lebih cermat dalam menyusun dakwaan, agar tidak ada celah yang bisa digunakan untuk lolos dari hukuman. Kekeliruan menyusun dakwaan berpotensi besar menjadi celah lahirnya putusan ringan maupun vonis bebas,” lanjutnya.
Alfian menambahkan vonis bebas yang sering kali dijatuhkan tidak sejalan dengan hasil kasasi di Mahkamah Agung, di mana lebih dari 60 persen kasasi yang diajukan jaksa diterima.
Ketidaksesuaian ini menurutnya menandakan adanya masalah serius dalam proses peradilan di tingkat pertama dan banding.
Selain itu, Alfian juga mengingatkan pentingnya peran gubernur di masa mendatang untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan dan menghilangkan pola pikir pragmatis di kalangan birokrasi.
Ia berharap 2025 menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas penegakan hukum Aceh. “Salah satu tugas gubernur ke depan kasus korupsi ini harus diberesin, jangan sampai otak-otak seperti itu ada lagi di Pemerintahan Aceh,” pungkasnya