Senandung Rafli Kande, Kenangan serta Harapan

Rafli Kande
Pada acara silaturahmi pada Jumat (21/7/2023) malam, di bilangan Batoh, Banda Aceh, Rafli Kande menyanyikan enam lagu. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.

Rafli Kande mendendangkan enam lagu, di hadapan puluhan orang yang berkumpul di sebuah lapangan kecil di halaman rumah sang seniman. Di blantika musik etnik Aceh, Rafli dan Kande Band merupakan salah satu legenda yang syair-syairnya mengiringi Aceh dari kalut ke era bulut.

Di bawah naungan langit malam yang gulita, Jumat (21/7/2023) malam, diterangi lampu yang berpijar di ujung-ujung atap pelataran parkir yang beralas kerikil, Rafli duduk di atas sebuah kursi bar berpelana bulat, Rafli memetik gitar elektrik.

Bukan konser, tidak ada alat musik selain gitar. Penontonnya juga kalangan sangat terbatas. Puluhan orang dari lintas profesi, yang berkumpul sembari menikmati kuah beulangong sie kameng (gulai kambing) dan bersilaturahmi bersama sang pemusik legendaris di bilangan Batoh, Banda Aceh. Kuah beulangong yang diracik oleh Nyak Din sungguh sangat nikmat.

Malam itu, Rafli Kande menyanyikan enam lagu. Puleh, Rawa Tripa, Aneuk Yatim, Seulanga, Gisa Bak Punca, dan Habeh Dum Rubhok. Aneuk Yatim dan Seulanga, merupakan lagu yang paling lawas di antara yang lainnya.

Baca: Mangkujiwo 2; Kebuasaan Masih Tetap Menang

Ketika Rafli menyanyikan lagu Aneuk Yatim, ingatan jangka pendek di otak tersibak, menyusuri ruang memori, memilah-milah catatan di dalam memory room, melahirkan rantai kimia antar sel-sel otak, kemudian tiba pada lobus korteks selebral yang menyimpan berbagai jenis ingatan.

Kenangan pahit tahun-tahun penuh kegelapan sepanjang 2000-2005 tersibak, terpancar keluar, memenuhi ruang hati yang tadinya gembira ria, tiba-tiba menjadi mellow. Lagu Aneuk Yatim yang didendangkan Rafli di bawah naungan langit gelap, membuat seorang hadirin berkaca-kaca matanya. Mungkin ia menyerap secara penuh energi lagu yang pernah dinyanyikan secara luas di Aceh, ketika orang-orang di Serambi Mekkah tidak berdaya menghadapi kondisi di tengah kecamuk perang.

Ya, syair dan syiar Rafli Kande, telah mewarnai Aceh, mengiring perjalanan Aceh. Lagu-lagunya yang terkadang penuh energi, terkadang sangat mendayu, telah ikut menjadi bagian dari perjalanan hidup orang Aceh.

Malam itu, di bawah naungan langit gelap, dendang Rafli diiringi puisi yang dibacakan oleh Din Saja dan Essex (Razuardi Ibrahim). Nama terakhir merupakan mantan birokrat, sarjana teknik, sekaligus seniman yang sering berpuisi sembari mengunyah sirih. Tapi malam itu, di bawah naungan lampu-lampu yang berpijar, ia tak mengunyah sirih.

Di sela-sela dendang Rafli Kande, juga diisi dengan penyampaian testimoni dari beberapa hadirin. Syakya Meirizal tampil dengan harapan bila kelak Rafli terpilih sebagai Gubernur Aceh–bila Rafli maju–, hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat qanun tentang kesenian yang melindungi pelaku seni dan seni itu sendiri.

Kemudian Isa Alima, yang merupakan Ketua Brigade Anak Serdadu. Meski gigi-giginya tak lagi menghiasi gusi, ia masih cukup bersemangat ketika memberikan testimoni. Walau tak jarang meukabom-kabom karena kendala alamiah.

Baca: Review Waktu Mahgrib, kembalinya Arwah Wati

Terakhir tampil Hamidi Arsa, pria petualang yang telah berkeliling setengah dari belahan bumi. Hamidi Arsa merupakan pria unik. Tak lulus tes masuk Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, pada tahun 1980, ia justru menyelesaikan studi di universitas negeri di Prancis.

Hamidi Arsa dalam pidato singkatnya itu mengatakan seni dan India merupakan sejoli yang tidak bisa dipisahkan. Kehidupan masyarakat India sangat lekat dengan kesenian seperti tari dan dendang. Ada tiga kelas, mulai dari amatir (kelas akar rumput), kelas menengah, dan kelas jetset (Bollywood).

Hamidi juga bercerita tentang Maladewa (Maldives) sebuah negara Islam dan 100 persen Islam Sunni, dengan 100 persen penduduknya muslim, hidup megah dengan memanfaatkan kemolekan tanah air mereka.

Orang-orang Maladewa hidup dari dunia pariwisata yang dikelola profesional. Mereka memanfaatkan dengan baik kekayaan alam yang dianugerahkan Ilahi. Mereka tidak takut akan berubah oleh perilaku pendatang, karena rakyat dan pemimpin Maladewa meyakini yang dapat mengubah orang-orang Maladewa adalah mereka sendiri, bukan orang lain.

Rafli Kande, juga berbagi cerita ketika ia tampil di Polandia. Para penontonnya rerata kalangan terpelajar. Bahkan mayoritas doktor dan profesor. Orang-orang Polandia yang hadir mengatakan, melihat dan mendengar lagu-lagu yang dibawakan Rafli, sepertinya musisi etnik itu datang dari negeri yang penuh energi.

“Ketika tampil di konser internasional, lagu-lagu yang saya nyanyikan bertempo cepat. Karena lagu-lagu seperti itu yang digemari,” sebut Rafli.

Terlepas Rafli Kande memiliki plus dan minus sebagai musisi dan anggota DPR RI di Senayan, semua sepakat bahwa Rafli Kande telah ada dan mengiringi perjalanan Aceh melalui syair-syairnya.

Pun tetap ada harapan, supaya Rafli Kande bukan hanya dikenal karena lagu-lagunya. Tapi juga dapat lebih dikenal karena karya-karyanya di Parlemen RI, yang berguna untuk Aceh, supaya ia tidak menjadi bagian orang-orang yang pernah dan sedang duduk di Senayan, raya haba ngon but.

Salah satu masalah paling mendasar di Banda Aceh, yaitu persoalan air bersih. Meskipun sepanjang tahun Krueng Aceh mengalir menuju bibir pantai Samudera Hindia. Ya, ini persoalan klasik, Aceh yang kaya air, tapi PDAM Tirta Daroy seperti penderita raja singa, punya kelamin tapi tak berdaya memuncratkan cairan kebahagiaan.

Artikel SebelumnyaIswanto Janji Makam Teungku Dilungkeung Akan Dijadikan Cagar Budaya
Artikel SelanjutnyaTawa Irwandi Menghibur Rasa Lara
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here