Komparatif.ID, Banda Aceh— Peringatan 2 Dekade Damai Aceh yang dihelat pada 15 Agustus 2025, mendapatkan perhatian luas. Para tokoh dari level internasional, hingga nasional, datang ke Aceh. Keberhasilan rakyat Aceh merawat perdamaian hingga telah mencapai 20 tahun, merupakan pencapaian yang sangat luar biasa.
Ketua DPRA Zulfadhli, A. Md, terharu melihat sambutan publik terhadap 2 dekade damai Aceh. kali ini, bukan hanya Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang menghelat acara, tapi lembaga pendidikan tinggi seperti UIN Ar-Raniry, dan elemen sipil lintas organisasi, juga menggelar serial kegiatan.
“Antusiasme berbagai elemen di Aceh pada 2 dekade damai Aceh sangat luar biasa. Antusias tersebut merupakan bukti bahwa perdamaian Aceh yang telah mencapai 20 tahun, merupakan milik bersama, demi Aceh yang lebih baik,” kata Zulfadhli, Sabtu (16/8/2025).
Politisi Partai Aceh tersebut menyampaikan kilas balik konflik panjang sejak 1976. Bermula sejak dideklarasikan Aceh Merdeka oleh Wali Negara Tengku Hasan Tiro di Gunung Halimon Pidie, kemudian berlanjut dengan gerakan politik dan perlawanan bersenjata.
Dalam rentang 30 tahun perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah jatuh banyak korban. Semuanya demi membela panji Aceh.
Dalam perjalanan konflik panjang tersebut, setelah melalui beberapa proses perundingan yang dimediasi oleh NGO internasional seperti Henry Dunant Centre (HDC), akhirnya gempabumi dan tsunami menerjang Aceh pada Minggu, 26 Desember 2004.
Baca juga: Juha Apresiasi 20 Tahun Perdamaian Aceh
Musibah yang dikenal dengan sebutan gempabumi dan tsunami Samudera Hindia tersebut menelan korban yang sangat banyak. Sesuai dengan data, jumlah korban gempabumi dan tsunami tersebut mencapai 170 ribu jiwa. Jauh melampaui korban jiwa dalam konflik Aceh 15.000 jiwa.
Bencana alam tersebut mendorong kedua belah pihak untuk mencari jalan keluar secepatnya, demi memulihkan Aceh yang telah luluh lantak. Setelah melalui proses dialog yang panjang dan melelahkan, akhirnya Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia bersepakat menandatangani MoU di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Seluruh rakyat di Aceh menyambut dengan rasa syukur.
Sejak saat itu, semua pihak sepakat, Aceh harus dibangun kembali. Baik secara fisik dan mental. Membangun kota, desa, dan peradaban yang sempat porak-poranda akibat perang dan bencana alam.
Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU tersebut lahir dengan semangat meratifikasi butir-butir MoU Helsinki. Salah satu dari isi UUPA yaitu Pemerintah Pusat memberikan dana otonomi khusus yang bersumber dari DAU Nasional untuk jangka 20 tahun. 15 tahun pertama sebesar 2 persen dari DAU. Lima tahun selanjutnya 1 persen dari DAU.
Dana otonomi khusus tersebut dipergunakan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Dengan dana tersebut, Pemerintah di Aceh membiayai Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), pembangunan infrastuktur, alokasi beasiswa untuk anak yatim, dan sebagainya.
Kini, setelah 2 dekade damai Aceh, banyak kemajuan yang telah dicapai oleh Serambi Mekkah. Dari segi pembangunan infrastruktur publik, pembangunan infrastruktur lembaga pendidikan agama dan umum, serta berbagai pembangunan lainnya.
“Alhamdulilah, selama 2 dekade damai Aceh, kita telah mencapai banyak kemajuan. Baik dari sisi infrastruktur maupun sumber daya manusia. Ini harus kita syukuri,” kata Zulfadhli.
Apakah masih ada pekerjaan rumah yang belum selesai? Zulfadhli mengatakan, sebagai daerah yang pernah berkonflik panjang dengan Pusat, Aceh masih membutuhkan dukungan besar. Persoalan kesejahteraan dan kemiskinan, masih menjadi isu utama. Masih banyak butir-butir MoU Helsinki yang belum dimasukkan ke dalam UUPA. Masih ada amanat UUPA.
Pun demikian, Zulfadhli yakin, di tangan Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Aceh akan lebih baik. Karena secara politik, kepemimpinan Muzakir Manaf mendapatkan dukungan penuh dari Presiden Prabowo. Keduanya sangat intens berkomunikasi.
Presiden mengirimkan banyak menteri ke Aceh. Bahkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Pambudy, datang langsung ke Aceh pada Rabu (9/7/2025), menghadiri Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Tingkat Provinsi di Anjong Mon Mata, Banda Aceh.
Pengalaman Aceh dalam merawat perdamaian, telah menjadi perhatian dunia. Aceh seringkali dikunjungi oleh berbagai entitas politik dari luar negeri, demi mempelajari perdamaian Aceh.
“Seperti apa masa depan Aceh? Kita bisa melihatnya dari car akita semua menyiapkannya hari ini. Sekda Aceh M. Nasir Syamaun memiliki peran sentral mengelola Aceh secara administrasi, supaya rencana pembangunan yang disusun, berjalan sesuai peraturan, sehingga tidak menjadi kendala saat dilaksanakan,” katanya.
Zulfadhli memberikan apresiasi kepada seluruh elemen di Aceh baik perguruan tinggi, wartawan, elemen sipil, PNS, partai politik, dan semua pihak, yang memiliki semangat luar biasa dalam merawat perdamaian.
“Hal-hal yang masih kurang, jangan sampai menjadi hambatan. Bila ada hambatan harus dikomunikasikan, supaya dapat dicarikan jalan keluar. Aceh ini milik kita bersama. Kita hanya memiliki satu Aceh. Mari jaga dan rawat dengan sepenuh hati, ” imbuhnya.