Saat WFA Disalahartikan: Mengembalikan Esensi Fleksibilitas Kerja ASN

Saat WFA Disalahartikan: Mengembalikan Esensi Fleksibilitas Kerja ASN
Taufik. Pengajar di Prodi Ilmu Administrasi Negara UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Foto: HO for Komparatif.ID.

Transformasi digital telah mengubah hampir seluruh dimensi kehidupan manusia, termasuk cara kita bekerja. Jika dulu kehadiran fisik menjadi satu-satunya indikator kerja, kini paradigma itu perlahan memudar.

Pandemi COVID-19 telah berhasil mengajarkan kita terhadap perubahan cara bekerja tersebut. Kondisi saat itu mengalami keterbatasan mobilitas dan ruang interaksi sosial, sehingga muncul kebutuhan mendesak untuk tetap menjaga roda pemerintahan dan layanan publik tetap berjalan.

Maka saat itu muncullah konsep kerja fleksibel, termasuk skema Work From Home (WFH), Work From Office (WFO), dan yang kini semakin popular menjadi Work From Anywhere (WFA).

Bagi aparatur sipil negara (ASN), kebijakan kerja di mana saja merupakan langkah strategis pemerintah untuk menghadirkan efisiensi, akuntabilitas, serta produktivitas baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan ini juga sejalan dengan arahan efisien belanja APBN/APBD sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden No. 1 tahun 2025.

Namun, seperti halnya kebijakan lainnya, implementasi WFA tidak luput dari sejumlah tantangan. Salah satunya adalah miskonsepsi di kalangan ASN sendiri yang menganggap kebijakan sebagai bentuk “libur berkedok kerja”.

Bahkan sebagian ASN menyalahgunakan fleksibilitas ini sebagai celah untuk abai terhadap kewajibannya. Padahal, kebijakan ini hadir tidak mengurangi terhadap kualitas maupun kuantitas terhadap pelayanan yang diberikan.

 Fleksibilitas Kerja ASN: Dari WFH ke WFA

Kebijakan ini sebenarnya bukan hal yang sepenuhnya baru. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, hingga beberapa negara maju lainnya, konsep teleworking atau remote working telah diterapkan sejak awal 2000-an. Di sektor pemerintahan, transformasi selaras dengan konsep digital governance memungkinkan sebagian besar pekerjaan layanan administratif dapat dilakukan secara digital.

Pandemi telah menjadi pemantik utama dalam perubahan pola kerja di Indonesia. Dari sini, pemerintah mulai melihat bahwa banyak pekerjaan ASN tidak harus selalu dilakukan dari kantor. Fungsi seperti penyusunan dokumen, administrasi data, pembuatan laporan, perencanaan program, serta koordinasi teknis, bisa dilakukan secara daring.

Kebijakan tersebut telah diatur melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Nomor 4 Tahun 2025 yang mengatur pelaksanaan tugas ASN dengan sistem kerja fleksibel di instansi pemerintah. Penerapan sistem kerja ini bertujuan utama untuk mendorong peningkatan efisiensi serta produktivitas kinerja di seluruh lembaga pemerintahan.

Baca juga: Saat Diam Bukan Lagi Emas

Meski kebijakan kerja dari mana saja ditujukan untuk memberikan fleksibilitas, tidak semua ASN secara otomatis dapat mengakses skema ini. Kementerian PAN-RB telah menetapkan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk WFA, antara lain: pegawai tidak sedang menjalani proses disiplin atau dikenai sanksi, bukan merupakan pegawai baru atau pejabat yang baru dilantik, serta tidak bergantung pada fasilitas atau peralatan khusus yang hanya tersedia di kantor.

Selain itu, ASN yang memiliki tugas dengan intensitas interaksi tatap muka yang tinggi, atau yang memerlukan pengawasan langsung secara terus-menerus dari atasan, tidak termasuk dalam kategori yang dapat bekerja secara WFA.

Pegawai yang sedang dalam perjalanan dinas dengan durasi kerja melebihi delapan jam per hari atau lebih dari lima hari kerja juga dapat dipertimbangkan untuk menjalani WFA, selama persyaratan lainnya terpenuhi. Ketentuan ini disusun untuk menjaga keseimbangan antara fleksibilitas kerja dan tanggung jawab pelayanan publik, sehingga roda pemerintahan tetap berjalan tanpa gangguan.

Disrupsi dan Miskonsepsi

Meskipun aturan sudah cukup jelas, dalam praktiknya muncul berbagai persepsi keliru. Di lapangan, banyak ASN yang memandang kebijakan ini sebagai momen “melepas beban kerja”.

Alih-alih memanfaatkan fleksibilitas untuk tetap produktif dari rumah atau tempat lain, sebagian justru menurunkan intensitas kerja, mengabaikan tenggat waktu, hingga tidak hadir dalam pertemuan daring yang telah dijadwalkan.

Beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi antara lain:

  • Kurangnya Sosialisasi dan Edukasi Internal.

WFA masih dianggap sebagai “bonus” atau “kelonggaran”, bukan sistem kerja alternatif yang tetap mengutamakan hasil. Kurangnya sosialisasi dan edukasi yang berkelanjutan, terutama di tingkat daerah dan instansi vertikal, membuat pemahaman ASN terhadap tanggung jawab kerja saat WFA menjadi bias.

WFA tidak boleh dipahami sebagai bentuk kelonggaran atau pelepasan tanggung jawab, melainkan sebagai bentuk pembaharuan sistem kerja ASN yang adaptif, produktif, dan tetap terukur.

Dengan dukungan teknologi informasi dan sistem pengawasan yang baik, pegawai negeri dapat menjalankan tugas-tugasnya secara efektif dari luar kantor, tanpa mengurangi kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat.

  • Belum adanya Sistem Monitoring dan Evaluasi (Monev) dan sanksi tegas.

Ketiadaan sistem pelaporan digital yang konsisten menyulitkan pimpinan dalam menilai apakah ASN yang menjalani WFA benar-benar bekerja atau sekadar tidak hadir secara fisik maupun daring. Oleh karena itu, pimpinan perlu merancang sebuah sistem monitoring dan evaluasi (monev) yang mampu mengawasi dan mengukur kinerja ASN selama menjalani WFA.

Dengan demikian, tidak muncul persepsi keliru bahwa “WFA sama dengan libur”. Selain itu Ketiadaan sanksi tegas terhadap pelanggaran selama menjalani WFA menjadi salah satu celah yang dapat menurunkan efektivitas kebijakan ini.

Tanpa adanya konsekuensi yang jelas dan terukur, ASN yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik selama WFA cenderung sulit dikendalikan. Hal ini tidak hanya melemahkan disiplin kerja, tetapi juga berpotensi menimbulkan ketimpangan di antara pegawai yang bekerja dengan sungguh-sungguh dan mereka yang menyalahgunakan fleksibilitas. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme penegakan disiplin yang transparan, adil, dan dapat diimplementasikan secara konsisten untuk menjaga integritas pelaksanaan WFA.

Bekerja dari Mana Saja, Tapi Tetap Bertanggung Jawab

Konsep Work From Anywhere (WFA) bukan sekadar perubahan lokasi kerja, melainkan representasi dari perubahan cara pandang terhadap makna tanggung jawab dan profesionalisme ASN.

Bekerja dari mana saja seharusnya tidak berarti bekerja sesuka hati, melainkan bekerja dengan kesadaran penuh bahwa setiap tugas yang diemban tetap harus diselesaikan tepat waktu, berkualitas, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Fleksibilitas yang diberikan negara melalui skema ini adalah bentuk kepercayaan terhadap integritas dan kinerja ASN. Kepercayaan ini sepatutnya dijaga dengan kedewasaan profesional, bukan disalahartikan sebagai kelonggaran untuk bersantai atau menghindar dari tugas. Di era digital dan mobilitas tinggi, ukuran keberhasilan kerja tidak lagi ditentukan oleh kehadiran fisik, melainkan oleh output yang terukur, dampak yang nyata, dan akuntabilitas yang kuat.

WFA adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa ASN Indonesia mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman tanpa kehilangan esensi pelayanan publik. Bekerja dari mana saja memang mungkin, namun komitmen terhadap pelayanan yang berkualitas dan tanggung jawab terhadap negara harus menjadi fondasi utamanya.

Semoga fleksibilitas yang ditawarkan WFA tidak disalahartikan, melainkan dimaknai sebagai sebuah kepercayaan yang harus dijaga dengan tanggung jawab, integritas, dan dedikasi untuk melayani masyarakat kapanpun dan dimanapun.

Artikel SebelumnyaPemerintah Aceh & DPRA Tolak Perpanjangan Masa Jabatan Keuchik
Artikel SelanjutnyaMualem Ajak Polisi Jadi Mitra Rendah Hati

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here