Wamenag Duga Ada Motif di Balik Penangkapan ASN Kemenag di Aceh Terkait Terorisme

Wamenag Duga Ada Motif di Balik Penangkapan ASN Kemenag di Aceh Terkait Terorisme
Wakil Menteri Agama Romo Muhammad Syafi’i. Foto: Kemenag.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Wakil Menteri Agama Romo Muhammad Syafi’i mempertanyakan penetapan ASN Kemenag di Aceh sebagai tersangka kasus dugaan terorisme.

Dalam keterangannya usai mengisi kuliah umum di Banda Aceh, Jumat (26/9/2025), ia menilai proses tersebut menyisakan tanda tanya besar, terutama terkait dugaan adanya motif di balik penangkapan dan pemberitaan yang masif.

Romo Syafi’i juga menyoroti cara penangkapan yang menurutnya berlebihan dan cenderung menimbulkan kesan festivalisasi. Ia menilai hal ini justru menimbulkan persepsi publik bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar penegakan hukum.

“Patut diduga (ada motif terselubung), karena dibuat festivalisasi loh, dikepung dengan senjata, masuk TV, kemudian berita di mana-mana. Nah makanya saya cross cek. Ini keliru. Kan Alhamdulillah berhenti, tidak ada lagi lanjutan berita-berita tentang itu,” katanya.

Syafi’i menyebut dirinya ikut menyusun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sehingga memahami definisi yang dimaksud dalam aturan tersebut.

Berdasarkan pasal 1 ayat 2 juncto pasal 6, terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang membahayakan orang banyak, merusak fasilitas publik, dan dilakukan dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

“Saya konfirmasi kepada Komandan Densus, ada gak ini (ASN Kemenag di Aceh) melakukan hal itu? Nggak ada. Lalu kenapa kalian bilang teroris?” lanjutnya.

Menurut Syafi’i, alasan aparat menyebut ASN tersebut teroris karena yang bersangkutan diduga terlibat sebagai anggota organisasi terlarang. Ia menilai jika hal itu benar, maka pelanggarannya masuk pasal lain, bukan pasal terorisme.

Baca juga: Densus 88 Sebut ASN Kemenag Aceh Bertugas Rekrut Anggota Baru Jaringan Terorisme

“Itu ada pasalnya, pasal 13 ke bawah. Mereka yang terdaftar sebagai anggota organisasi terlarang dianggap melanggar hukum. Berarti kalau pun dia salah, itu terpidana, bukan teroris,” ujarnya.

Lebih lanjut Syafi’i menyebut indeks terorisme global atau Global Terrorism Index (GTI) menempatkan Indonesia pada peringkat 40. Menurutnya, posisi ini baik bagi iklim investasi karena menandakan minimnya gangguan terorisme.

“Isu ini kan seakan-akan ingin menaikkan ranking itu. Ada apa? Nah yang kita khawatir ada apa di balik penetapan dia sebagai terduga teroris,” ujarnya.

Meski demikian, Romo Syafi’i menekankan pentingnya kehati-hatian dalam penggunaan istilah teroris. Menurutnya, label tersebut bukan hanya perkara hukum, melainkan juga berdampak besar pada citra negara di mata dunia.

“Terorisme dulu mau disebut extraordinary crime, sama seperti korupsi. Tapi kami tidak setuju. Karena ada campur tangan pihak luar yang ingin membuat kisruh dalam negeri. Makanya kami kelompokkan itu sebagai serious crime. Jadi tidak boleh sembarangan,” ujarnya.

Sebelumnya, dua ASN di Aceh ditangkap oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri karena diduga terlibat jaringan terorisme. Penangkapan dilakukan pada Selasa (5/8/2025) di dua lokasi berbeda di Banda Aceh.

Kedua ASN itu masing-masing berinisial MZ alias KS (40), pegawai Kanwil Kemenag Provinsi Aceh, dan ZA alias SA (47), pegawai Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh.

MZ ditangkap saat berada di sebuah warung kopi di Banda Aceh. Ia disebut bertugas merekrut anggota baru untuk kebutuhan kaderisasi dan penguatan jaringan. Sementara ZA ditangkap di sebuah showroom mobil kawasan Batoh, Banda Aceh, dan diduga terlibat dalam pengelolaan pendanaan jaringan terorisme.

Artikel SebelumnyaKue Kontol Sapi, Jajanan Unik dari Cilegon
Artikel SelanjutnyaComeback Dramatis, 10 Pemain Sriwijaya FC Dipermalukan Persiraja di Jakabaring

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here