
Komparatif.ID, Banda Aceh— Dua puluh tahun setelah penandatanganan perjanjian damai di Helsinki pada 2005, proses perdamaian di Aceh masih menjadi ruang refleksi yang penting. Berbagai upaya terus dilakukan untuk memahami capaian dan hambatan dalam membangun kehidupan pascakonflik yang lebih adil dan berkelanjutan.
Hal tersebut diperdalam saat bedah buku Dua Dekade Damai Aceh yang berlangsung di Aula Teater Museum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Kamis, (26/6/2025).
Kegiatan tersebut merupakan kolaborasi antara UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Buku karya Iskandar Norman dengan editor Teuku Murdani tersebut menjadi refleksi mendalam atas perjalanan dua dekade perdamaian di Aceh, khususnya dari sisi reintegrasi para mantan kombatan dan korban konflik.
Diterbitkan melalui kerja sama BRA dan Padeebooks, buku ini terdiri atas 200 halaman yang mendokumentasikan capaian dan tantangan dalam membangun perdamaian yang berkelanjutan.
Bedah buku yang dimoderatori oleh Putri Wardaniah itu menghadirkan lima pembedah, Prof. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA) guru besar bidang ilmu antropologi agama UIN Ar-Raniry, Dr. M. Adli Abdullah dosen hukum adat Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK) yang juga staf khusus Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BNP), Dr. Reza Idria akademisi dan antropolog UIN Ar-Raniry, Dr Rasyidah M.Ag akademisi UIN Ar-Raniry yang juga aktivis gerakan perempuan Aceh, serta Ketua Jurusan FISIP UIN Ar Raniry yang juga Direktur Aceh Institute Muazzinah BA, MPA.
Mereka memberikan beragam perspektif kritis yang memperkaya diskusi seputar substansi buku dan arah pembangunan pascaperdamaian.
Baca juga: KBA: Damai Aceh Harus Jadi Kesadaran Kolektif
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama UIN Ar-Raniry, Prof Dr Mursyid Djawas, yang mewakili Rektor membuka acara, menyampaikan harapan besar agar generasi muda tidak abai terhadap nilai-nilai damai yang telah diperjuangkan dengan mahal.
Ia mengingatkan bahwa mereka yang tidak mengalami konflik justru memiliki tanggung jawab moral untuk tidak merusak perdamaian yang sudah tercipta.
“Jangan sampai generasi yang tidak mengalami konflik justru menjadi generasi yang melemahkan damai. Tanggung jawab untuk mengisi perdamaian jauh lebih besar daripada sekadar mengingat konflik,” ujarnya.
Sementara itu, dalam pengantar buku tersebut, Rektor UIN Ar-Raniry, Prof Dr Mujiburrahman, menyoroti pentingnya pendidikan sebagai fondasi utama dalam membangun perdamaian jangka panjang.
Ia menekankan di wilayah pascakonflik seperti Aceh, pendidikan harus dimaknai sebagai alat untuk menciptakan keadilan dan stabilitas sosial.
Selama periode konflik, Aceh mengalami kerusakan parah dalam sektor pendidikan. Banyak sekolah rusak, penduduk terpaksa mengungsi, dan akses terhadap ilmu pengetahuan menjadi terbatas. Oleh karena itu, pemulihan sektor ini menjadi fokus penting dalam proses reintegrasi. Termasuk di dalamnya adalah pelatihan vokasional, pemberdayaan kelompok marginal, serta pembukaan akses pendidikan yang lebih merata.
Salah satu poin krusial dalam Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki adalah kewajiban negara untuk membantu reintegrasi para mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2005 memberikan mandat tersebut kepada Gubernur Aceh dan melahirkan Badan Reintegrasi Aceh sebagai lembaga pelaksana.
Sementara itu, Ketua BRA, Jamaluddin, menyampaikan reintegrasi tidak hanya soal mengakhiri kekerasan masa lalu, tetapi juga soal membangun masa depan bersama yang inklusif dan produktif.
“Reintegrasi berarti mengembalikan martabat mereka yang dulu mengangkat senjata agar bisa berkontribusi sebagai warga negara yang produktif,” ujar Jamaluddin.
Selama dua dekade terakhir, BRA telah menjalankan berbagai program yang menyasar eks kombatan dan korban konflik. Program tersebut mencakup pelatihan keterampilan, dukungan ekonomi, serta advokasi pemenuhan hak asasi manusia.