Komparatif.ID, Lima— Demo tuntut Presiden Peru mundur “takeover of Lima” meningkat menjadi kericuhan antara pengunjuk rasa dan polisi anti huru hara pada Kamis malam (19/1/2023) di ibu kota Peru,Lima.
Ribuan pengunjuk rasa dari seluruh negeri mengalir ke Lima awal pekan ini untuk mengambil bagian dalam pawai besar-besaran menuntut pengunduran diri Presiden Dina Boluarte.
Dalam pidato televisi larut malam, Boluarte mengatakan polisi telah mengendalikan protes dan mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan dan vandalisme tidak akan dibiarkan “tanpa hukuman”.
Presiden Boluarte menambahkan “ini bukan pawai damai”. Ia mengklaim bahwa protes tersebut “tidak memiliki agenda sosial” melainkan berusaha untuk “melanggar aturan hukum, menimbulkan kekacauan dan kekacauan, serta merebut kekuasaan”.
“Kepada rakyat Peru, kepada mereka yang ingin bekerja dalam damai dan kepada mereka yang melakukan aksi protes, saya katakan: Saya tidak akan bosan mengajak mereka untuk berdialog dengan baik, untuk memberitahu mereka bahwa kami bekerja untuk negara,” ucap Boluarte via The Guardian.
Laporan kantor ombudsman Peru ketika pengunjuk rasa dilaporkan mencoba menyerbu bandara, setidaknya satu orang pengunjuk rasa tewas dan sekitar 10 lainnya cedera dalam bentrokan dengan polisi di kota selatan Arequipa.
Kemarahan atas meningkatnya jumlah kematian telah memicu meningkatnya protes, hal itu dimulai pada awal Desember lalu untuk mendukung mantan presiden Pedro Castillo yang digulingkan.
Namun hal tersebut mulai bergeser secara besar-besaran untuk menuntut pengunduran diri Boluarte, penutupan Kongres dan pemilihan baru. Boluarte adalah wakil presiden Castillo dan menggantikannya setelah dia berusaha menutup Kongres dan memerintah dengan keputusan pada 7 Desember 2022.
Baca juga: Rangkuman Krisis Sri Lanka: Dari Inflasi Hingga Presiden Mengundurkan Diri
Massa Tolak Boluarte
Sebelumnya, ribuan orang berbaris di sekitar alun-alun San Martín di Lima, mereka memegang spanduk bertuliskan “Dina, pembunuh, orang-orang menolakmu”. Organisasi keamanan petani yang dikenal sebagai ronderos membawa cambuk tradisional dan wanita pribumi mengenakan rok tradisional berwarna-warni.
“Kami menginginkan keadilan, kami tidak ingin kematian kami dilupakan, Kami ingin perampas itu keluar, dia tidak mewakili kami,” kata Zulema Chacón kepada Guardian.
Presiden perempuan pertama Peru Boluarte pada pekan lalu menegaskan dia tidak akan mengundurkan diri. Ia lalu bertemu dengan perwakilan dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.
Duta besar AS dan Inggris untuk Peru menyambut baik pertemuan tersebut, dan mengeluarkan pernyataan pada hari Kamis (13/1/2023) menyerukan masa untuk tenang dan mendesak pemerintah untuk berdialog.
Dalam pernyataan dalam bahasa Spanyol di Twitter, duta besar AS Lisa Kenna mengatakan bahwa “mendasar bahwa kekuatan ketertiban menghormati hak asasi manusia dan melindungi warga negara”.
Sumber: The Guardian