Tradisi Menulis di Dunia Islam

Tradisi menulis
Tradisi menulis sudah dimulai sejak awal Islam hadir. Foto: estethica-word.com Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Tradisi Menulis Intelektual dan Ulama Muslim", Klik untuk baca: https://www.kompasiana.com/ahmadsahid4728/64d0673b08a8b57091194e52/tradisi-menulis-intelektual-dan-ulama-muslim Kreator: Ahmad Sahid Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com

Islam identik dengan tradisi menulis. Ilmu-ilmu yang diajarkan di dalam Islam, ditulis di dalam lembaran-lembaran kertas atau media tulis lainnya. Di masa lalu, para khalifah sangat menghargai ilmuan yang menulis. Kekhalifahan merawat tradisi menulis tersebut hingga Islam menyumbangkan karya-karya monumental dan spekatkuler untuk dunia yang dipelajari hingga saat ini.

Beberapa waktu lalu, Dr. Salman Abdul Muthalib, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry di hadapan peserta yudisium menyampaikan sebuah kalimat berbahasa Arab, yang artinya:

“Sebuah tulisan (karya) akan kekal dalam waktu yang lama, sementara penulis telah terkubur di dalam tanah.”

Sebagai ilmuan, Dr. Salman tentu tidak menyampaikan secara serampangan kalimat itu. Ia menyampaikannya setelah melewati etape hidup dalam tradisi intelektual di Kopelma Darussalam, Banda Aceh.

Baca: Cara Sufi Bersahabat

Kalam itu sangat berenergi. Sebagai intelektual, Dr. Salman menyampaikannya dengan sangat otentik. Ia terlihat sangat menjiwai apa yang disampaikannya. Seperti insan dan cinta, menyatu, dan tak bisa dipisahkan.

Tradisi Menulis

Menulis merupakan aktivitas intelektual yang sudah akrab sejak periode awal Islam. Penulisan wahyu, pencatatan hadis sampai menyusunnya dalam bentuk kitab atau mushaf adalah tradisi awal menulis di kalangan sahabat. Setelah penulisan Alquran rampung pada masa Khalifah Usman bin Affan, tradisi penulisan hadis, fikih dan ilmu pengetahuan terus berkembang menjadi tradisi khas peradaban Islam.

Aktivitas menulis kemudian membentuk kultur yang melekat dengan identitas para sarjana muslim mulai dari Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Turki Ustmani hingga masyarakat Islam di belahan dunia timur dan barat sampai hari ini. Inspirasi utama yaitu hadist Nabi,”ikatlah ilmu dengan tulisan.(qayyidul ilma bil kitab).

Belakangan para ulama melanjutkan pesan yang sama, seperti kata Imam Syafi’i, “Ilmu adalah buruan, dan tulisan adalah ikatannya, maka ikatlah buruan dengan tali yang kuat. Termasuk kebodohan, apabila engkau memburu seekor kijang, lalu engkau biarkan ia terlepas begitu saja.”

Baca: Iwan Dukun, Preman Besar Pendukung Aceh Merdeka

Para ulama dan ilmuan muslim sejak dulu mewajibkan diri menulis sebagai bagian dari perintah Nabi. Mereka mengajarkan ilmu melalui lisan, dan menuliskannya dalam bentuk kitab. Mengajar dan menulis adalah dua aktivitas utama tradisi pendidikan Islam, ditambah dengan membaca, diskusi dan debat ilmiah.

Seakan Sumber Ilmu dari Barat Semata

Era kegemilangan Islam telah berlalu. Bilapun kembali gemilang, entah kapan. Sejak kejatuhan kekhalifahan Islam yang terakhir, umat Islam seperti pesakitan. Ibarat buih di lautan. Banyak tapi tidak kuat.

Karya-karya intelektual muslim yang dipelajari oleh sarjana Barat, justru menjadi tamu asing di perpustakaan yang dikelola oleh umat Islam. Bilapun ada seperti artefak; dikagumi, tapi tidak disentuh.

Di rak-rak buku perpustakaan lembaga pendidikan Islam lebih banyak dipajang buku yang ditulis oleh orang Eropa, dengan perpekstif Eropa, serta dengan kepentingan Eropa. Ini terjadi di seluruh dunia. Dunia intelektual Islam terkena sindrom tak percaya diri. Pikiran-pikiran orang Eropa, diangkat ke permukaan, baik dalam ragam seminar, maupun dalam menyusun rencana pembangunan.

Lebih ektrem lagi, yang dikunyah oleh sarjana muslim lebih banyak buku yang ditulis oleh penulis berhaluan kiri; pikiran-pikiran yang ditulis oleh tokoh-tokoh Marxisme. Buku-buku tersebut, pikiran-pikiran tersebut digandrungi karena dianggap keren dan intelektuil.

Tanpa sadar, bacaannya berpengaruh dalam tulisan yang kelak dibuat. Mereka kemudian sibuk mengetengahkan pikiran-pikiran kuno yang disampul gezah modernitas. Pikiran-pikiran yang beratus tahun tak menemukan solusi, tapi diapresiasi secara terus-menerus sebagai bagian dari perang pemikiran.

Intelektual Islam jangan pernah lupa, bagaimana Hulagu Khan memperlakukan ilmu pengetahuan. Ia bertindak sangat buruk setelah berhasil mengalahkan Dinasti Abbasiyah pada 1258 Masehi.

Pemimpin Mongol itu bukan saja menghabisi 2 juta penduduk Baghdad, tapi juga menghancurkan Perpustakaan Baitul Hikmah yang memuat karya-karya langka dan agung dalam berbagai disiplin ilmu. Menurut Ibn Nadim dalam Fihris, Baitul Hikmah memiliki koleksi 60.000 buku, setelah dibakar oleh tentara mongol, yang tersisa hanyalah lautan asap hitam mengepul dari puing-puing kertas dan reruntuhan bangunan.

Akankah tradisi menulis kembali tumbuh di dunia Islam? Tradisi menulis yang bukan sekadar mencatat pikiran, tapi bisa menjadi magnum opus di era moderen.

Artikel SebelumnyaBiro Asa Kita Gelar Pemeriksaan Mental Secara Gratis di Lhokseumawe
Artikel SelanjutnyaTiktoker Abu Laot Ditangkap di Cianjur
Syah Reza Ayub
Jurnalis Foto Komparatif.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here