Tindak Lanjuti Laporan DPRA, Mualem Bakal Bentuk Satgas Tambang

Tindak Lanjuti Laporan DPRA, Mualem Bakal Bentuk Satgas Tambang
Eks Ketua Pansus Minerba DPR Aceh, Anwar Ramli. Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Pemerintah Aceh menindaklanjuti rekomendasi Panitia Khusus (Pansus) Minerba DPRA dengan menerbitkan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 08 Tahun 2025 tentang penertiban dan penataan ulang izin pertambangan.

Eks Ketua Pansus Minerba DPR Aceh, Anwar Ramli, menyebut lngub tersebut bakal jadi dasar pembentukan satgas tambang yang akan mengeksekusi kebijakan di lapangan.

Menurut Anwar, satgas tambang tersebut sedang dalam tahap penyusunan dan nantinya bertugas mengevaluasi seluruh izin usaha pertambangan (IUP) yang telah diterbitkan.

Hal ini diungkapkannya dalam audiensi bersama Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan Forum Koalisi Masyarakat Sipil di Ruang Banggar DPRA, Banda Aceh, Rabu (29/10/2025).

“Yang menjadi eksekutor Ingub ini adalah melalui Satgas Pertambangan yang kali ini masih disusun. Dengan Ingub ini, maka nanti akan ada Satgas Minerba ini untuk melakukan evaluasi terhadap IUP-IUP yang sudah keluar itu,” jelasnya.

Satgas tambang juga akan menertibkan kegiatan tambang tanpa izin dan memberikan rekomendasi terhadap perusahaan yang melanggar kewajiban atau merugikan masyarakat, mulai dari sanksi administratif hingga penghentian operasi.

Anwar menyebut kondisi pertambangan berizin justru menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah dibandingkan tambang ilegal. Ia menilai lemahnya pengawasan pemerintah menjadi penyebab utama persoalan ini.

Baca juga: GeRak Desak Pemerintah Aceh Tindak Lanjuti Laporan Pansus Tambang DPRA

“Dan hari ini kalau kita bicarakan hanya pertambangan rakyat yang ilegal, yang ada izin (justru) lebih parah daripada yang ilegal. Ini fakta,” lanjutnya.

Anwar juga menjelaskan selama ini Pemerintah Aceh hanya menerima laporan sepihak dari perusahaan tanpa verifikasi di lapangan. Ia mengungkapkan dinas terkait, khususnya ESDM, tidak memiliki sistem pengawasan langsung yang memadai untuk mencatat jumlah produksi batu bara dan aktivitas tambang lainnya.

“Tidak pernah ada itu yang ada di lapangan untuk mencatat berapa sih sudah keluar hasil batu bara,” ungkapnya.

Selain masalah lingkungan, ia juga menyinggung minimnya Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba yang diterima Aceh. Menurutnya, hasil pertambangan yang besar tidak sebanding dengan pendapatan daerah, bahkan Aceh terancam pemotongan DBH pada 2026 karena dugaan kesalahan perhitungan bagi hasil.

Pansus juga menemukan indikasi monopoli izin pertambangan yang dikuasai segelintir orang. Dari sekian banyak izin yang diterbitkan, hanya sekitar sepuluh orang yang menjadi pemilik utamanya melalui berbagai perusahaan.

“Dari sekian izin yang sudah keluar itu, cuma punya 10 orang. Orangnya berbeda-beda, (tapi perusahaannya) banyak,” bebernya

Ia juga mengkritik Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Aceh, PEMA, yang dinilai tidak siap dan hanya menjadi perantara izin bagi pihak luar, sehingga saham Pemerintah Aceh di sektor tambang nihil.

Karena itu, Pansus DPRA merekomendasikan agar izin yang dicabut nantinya diberikan kepada PEMA dengan skema kemitraan bersama swasta, di mana PEMA memegang 51 persen saham.

Menjawab pertanyaan mengenai tindak lanjut, Anwar mengatakan DPRA hanya fokus pada pengawasan dan evaluasi terhadap kebijakan pemerintah. Ia juga mendorong Pemerintah Aceh untuk segera menyusun peta jalan pemberdayaan masyarakat di sektor tambang.

Anwar menambahkan Pansus tidak melapor ke aparat penegak hukum, namun membuka ruang bagi lembaga hukum untuk menyelidiki temuan-temuan yang sudah disampaikan ke publik.

Artikel SebelumnyaBahlil Buka Peluang Aceh Kelola Migas Offshore di atas 12 Mil Laut
Artikel SelanjutnyaSteffy Burase Bantah Penjelasan DPD Granat Soal Batalnya Konser Slank di Aceh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here