Telur, Listrik dan Plat Kendaraan

Perbankan syariah aceh di persimpangan Muhammad Iswanto, Pengabdian dan Ketenangan Sikap empat pulau singkil Telur, Listrik dan Plat Kendaraan
Muhajir Al-Fairusy, peneliti antropologi.. Foto: HO for Komparatif.ID.

Dominasi Melayu Deli atas Aceh tentu tidak hanya kebutuhan dapur, ketergantungan akibat kekurangan energi listrik-MW menyebabkan Aceh juga masih tidak mandiri dalam soal penerangan hingga tahun 2023.

***

Sejak Belanda fokus membangun Sumatera Timur, posisi Aceh memang kian mengkhawatirkan dalam konteks pemajuan daerahnya—apalagi, pasca masuknya Belanda ke Aceh, kawasan ini merangkak dari pusat ekonomi lada ke medan perang. Kondisi ini berlanjut setelah Indonesia merdeka hingga sekarang.

Sebagaimana dalam banyak catatan sejarah, hasil perkebunan Belanda di kawasan Sumatera Timur yang kini menjadi bagian Sumatera Utara—seperti di hadirnya perkebunan Deli tahun 1863 telah mendorong kebangkitan ekonomi baru di Utara Sumatera (O’ Malley, 1977), hingga sekarang ketergantungan Aceh pada Sumatera Utara terutama dari sisi pasar tampak permanen. Selembar karton telur pun, Aceh harus memasok dari Medan.

Tidak hanya soal telur yang terus bertukar antara Aceh-Medan, urusan gaya hidup dan konsumtif, kota Paris van Sumatera ini juga menjadi kiblat utama rakyat Aceh; urusan menonton bioskop dan belanja di Mall, terutama saat liburan dan penghujung tahun, pengunjung dari Aceh tumpah ruah memenuhi keramaian dalam rangka mencari hiburan di Medan.

Dominasi Melayu Deli atas Aceh tentu tidak hanya kebutuhan dapur, ketergantungan akibat kekurangan energi listrik-MW menyebabkan Aceh juga masih tidak mandiri dalam soal penerangan hingga tahun 2023.

Memang, sejak tiga tahun lalu, Aceh disebut surplus listrik hingga 100 MW. Namun, meskipun surplus, tidak selamanya Aceh dapat terang benderang permanen. Beberapa kali gelap masih menyapa Aceh. Apalagi menjelang Ramadhan tiba, tradisi listrik padam dianggap penanda memasuki ibadah puasa.

Menutup September 2025 Aceh kembali bermasalah dengan kegelapan. Kali ini kejadiannya beriringan dengan peristiwa viralnya video teguran Pemda Sumut pada kendaraan yang tidak memakai plat mereka, kebetulan saat itu sebuah truk yang diberhentikan berplat BL, alias plat Aceh.

Dalam video singkat yang beredar, tampak seorang pegawai pemerintah Sumatera Utara hanya menegur dan memperingatkan, bukan melarang, kendaraan dan truk besar dengan plat non-BK yang beroperasi di sana. Mereka sebagai pemungut pajak daerah yang akan menjadi salah satu sumber pendapatan tentu menjadi keniscayaan dalam konteks ini.

Baca juga: Gangguan Listrik di Sebagian Banda Aceh & Aceh Besar Masih Berlanjut

Sialnya, truk tersebut beridentitas plat Aceh-BL, warga yang baru saja diracau kondisi politik akibat upaya perampasan empat pulau. Andai bukan BL, BH misalnya, suasana pasti akan sangat berbeda. Sontak, kondisi ini membangkitkan kembali api yang nyaris padam beberapa bulan lalu soal sengketa empat pulau, gelombang protes dari netizen Aceh terhadap. Jagad maya dipenuhi protes, kutukan dan makian bagi Bobby khususnya.

Menantu presiden Jokowi sekaligus Gubernur Sumut itu memang ketimpa sial dalam berhadapan dengan warga Aceh, dimulai impresi pertama sejak ia dilantik jadi orang nomor satu di satu-satunya provinsi yang menjadi tetangga Aceh tersebut dan kurang menyenangkan akibat soal empat pulau, ia kini dituduh beramai-ramai sebagai aktor utama pelarangan plat BL ke Aceh. Media sosial sebagai salah satu penguasa dan kekuatan baru dalam jagad semesta manusia menjadi pemantik kekacauan dan gelombang protes, apalagi tuduhan ini dibalut emosi etnis dan massa yang selalu bermimpi ‘merdeka’ namun tak kunjung datang

Perusahaan Listrik Negara (PLN) memberi keterangan jika listrik tiarap di Aceh karena ada permasalahan pada interkoneksi transmisi 150 kilovolt di Bireuen-Arun. Warga dan netizen yang terus men-scroll layar ponsel mengaitkan pemadaman dengan gejala viralnya video pelarangan plat, bukan semata-mata faktor kerusakan.

Saat bersamaan, elite politik Aceh khusyuk berbalas pantun soal plat di tengah gelap. Respon meluas dan penuh anekdot, dari peternak sapi hingga elite senayan Aceh di Jakarta menggelitik menyikapi plat dan gelap. Bukannya menuntun perbaikan kualitas energi, elite ikut terjebak dalam wacana plat.

Ruang berpikir suara protes di Aceh memang ada kalanya jenaka dalam beberapa hari terakhir. Soal domino misalnya, yang dianggap serumpun dengan judi. Padahal, bertahun-tahun domino menjadi bagian hiburan dan permainan bagi warga Aceh, terutama generasi muda, jauh sebelum judi online hadir.

Domino dalam bahasa Aceh bermakna “pêh batee” dulu adalah permainan mengasah otak. Belakangan, sejak wacana keagamaan konservatif meningkat, nasib domino tragis, selain digeser oleh habit baru manusia dengan gawai, juga dituduh sumber dosa. Domino dianggap penyakit dan tak selaras dengan semangat syariah yang menjadi regulasi perbincangan elite.

Domino dimasukkan serumpun dengan kasino, rumah judi yang kerap memfasilitasi praktik non syariah ini. Cara bermain memang hampir sama, berkelompok dan melingkari meja. Sialnya, keduanya juga diakhiri oleh ‘no’ hingga menjebak banyak orang pada soal penafsiran dan sulit membedakan antara kasino dan domino.

Analogi domino dan judi direproduksi sedemikian kental, seperti menempatkan hotel sebagai tempat ‘maksiat’ atau bank yang diidentikkan dengan kandang riba. Namun, begitu ditambah label ‘syariah’—keduanya menjadi lumrah dan layak guna.

Ke depan, mungkin domino syariah sebagai bentuk penegasan non judi bagi cabang olahraga ini mungkin perlu dipikirkan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Demikianlah wacana kocak selalu berkembang di salah satu sudut serpihan bumi ini, soal larangan dan ketidakbolehan, kecuali urusan anggaran dan gaya hidup konsumtif.

Kasus telus dan listrik menjadi sinyal kuat, dengan otonomi yang melimpah, Aceh juga belum sepenuhnya ‘merdeka.’ Bayangkan, telur saja saban minggu harus dipasok ke Aceh demi pemenuhan protein dan lauk yang murah pengganti ikan dari Medan, minyak goreng masih harus diolah oleh pabrik di Medan, dan listrik dapat padam kapan saja.

Meskipun di sisi lain, ‘telur ilegal’ dari Aceh juga sering menyasar ke Medan karena kebutuhan lainnya.

Dua puluh lima tahun kesempatan Aceh bangkit, elite tak lantas memperbaiki ekonomi hulu ke hilir demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh dan menghapus ketergantungan pada Sumatera Utara dalam soal telur dan minyak, tapi justru ikut terjebak pada wacana massa mengambang antara BK dan BL.

Artikel SebelumnyaAPDESI Nyatakan Dukungan untuk Perayaan HUT ke-26 Bireuen
Artikel SelanjutnyaTua Gila Badminton Club Dukung Safaruddin Kembali Pimpin PBSI Aceh

2 COMMENTS

  1. > kawasan ini merangkak dari pusat ekonomi lada ke medan perang

    klo mau tau seberapa luas lahan lada di Aceh dulunya. liat aja daerah2 yang namanya senudôn/seuneudôn/seuneuddôn. ya “senudôn/seuneudôn/seuneuddôn” = lahan yang dikhususkan untuk menanam lada. itulah kenapa, di situ ada senudôn, di sini ada seuneudôn, di sana ada seuneuddôn. di mana-mana ada “senudôn/seuneudôn/seuneuddôn”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here