Komparatif.ID, Bireuen—Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas ) Kalimatan-Sulawesi Azhari Idris, Minggu (05/6/2022) mengatakan, untuk menekan impor migas yang terus membesar, Pemerintah melakukan sejumlah terobosan untuk mencapai target produksi 1 juta barel per hari (bph) dan gas 12 miliar kaki kubik per hari (BCFD) pada 2030.
Usaha keras itu ditempuh untuk menekan impor minyak RI sebesar 1,1 juta bph menjadi hanya sekitar 324 ribu bph. Bila itu tercapai, Indonesia bisa menghemat devisa sebesar US$ 14,1 miliar atau sekitar Rp 201,6 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$) per tahun hingga 2040.
Dalam Kuliah Tamu Program Pascasarjana Universitas Almulim “Hulu Migas Indonesia Sebagai Lokomotif Ekonomi Bangsa” Azhari Idris mengatakan tahun 1980 konsumsi harian minyak bumi Indonesia di bawah 500 ribu barrel per hari, pada 2016 kebutuhan dalam negeri di atas 1.500 barrel per hari.
Di sisi lain, saat ini jumlah produksi minyak bumi Indonesia menurun drastis, sehingga keluar dari anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) atau Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak.
Saat bergabung dengan OPCE pada tahun 1962, produksi minyak bumi Indonesia 486.000 barrel per hari, sedangkan konsumsinya hanya 25 persen. Bahkan pada 1977 sekitar 1,6 juta barrel per hari, dan itu adalah puncak produksi tertinggi.
Seiring dengan perjalanan waktu, produksi minyak bumi Indonesia turun. Sehingga memaksa negara ini harus keluar dari OPEC. Terakhir, Indonesia membekukan diri dari keanggotaan OPEC pada 2016 dan tidak aktif lagi hingga sekarang. Tahun 2021, Indonesia berada di peringkat 23 dunia sebagai negara yang memproduksi minyak bumi.
Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri saat ini mencapai 1,4 juta barrel per hari. Sedangkan jumlah produksi yang dihasilkan hanya 800 ribu barrel per hari. Oleh karena itu mau tidak mau pemerintah harus melakukan impor minyak dari luar negeri untuk menutupi kekurangan konsumsi dalam negeri.
Azhari mengatakan, dengan kondisi tersebut Pemerintah Indonesia harus bekerja keras mencari cadangan-cadangan baru. Karena cadangan onshore semakin menipis, maka pilihan paling realistis adalah mencari cadangan di lepas pantai (offshore). Di Aceh sendiri, saat ini sejumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sedang melakukan eksplorasi di sejumlah sumur migas di lepas pantai.
Industri migas merupakan sebuah bidang usaha yang harus menggunakan teknologi tinggi, modal besar, risiko tinggi, dan membutuhkan profesionalisme tinggi. Para kontraktor kontrak kerja sama juga bekerja dengan modal sendiri.
Bila berhasil menemukan sumur yang potensial, maka mereka hanya mendapatkan porsi yang lebih kecil dari negara. Bila di darat skemanya 30% untuk kontraktor, 70% untuk negara. Sedangkan di lepas pantai, apalagi sudah pada level kerja di area deepwater production hingga subsea dan ultra deep water, kontraktor dan pemerintah akan melakukan negosiasi ulang, dan keuntungan untuk negara tetap lebih besar ketimbang yang diterima kontraktor.
Bila kontraktor gagal menemukan cadangan, termasuk cadangan yang tidak potensial, maka seluruh biaya yang dikeluarkan harus ditanggung sendiri.
“Industri hulu migas merupakan usaha yang tinggi modal, tinggi risiko, teknologi tinggi dan hanya dapat dikerjakan oleh tenaga yang professional tinggi. Sehingga butuh dukungan yang luar biasa besar,” kata Azhari.
Pada kesempatan itu, di hadapan puluhan peserta kuliah tamu tersebut, Azhari mengatakan industri hulu migas merupakan sebuah industri yang dalam waktu cepat dapat membawa berkah secara nyata bagi negara. Perubahan akan segera dapat dilihat dan dirasakan bila dunia pertambangan migas beroperasi di sebuah wilayah.
Industri hulu migas juga menghadirkan multiplier effect yang sangat kentara, sehingga uang besar bergulir dengan sangat cepat. Apalagi dengan konsep saat ini, bahwa pemerintah semakin menekankan penyerapan tenaga kerja lokal di mana indutsri hulu beraktifitas.
“Di Aceh, kita berhasil mendorong Medco melakukan itu. Tenaga kerja yang diserap di sana sebanyak 40 orang, seluruhnya asli Aceh. Diseleksi dengan sangat ketat oleh tim profesional. Hasilnya, yang lulus bahkan tidak diduga sebelumnya, seperti anak nelayan miskin dan sebagainya,” kata Azhari.
Azhari berpesan, Universitas Almuslim sebagai perguruan tinggi terbesar di Bireuen, dapat berpartisipasi dalam hingar bingar dunia peminyakan dan gas di sektor hulu, bila sejumlah sumur di lepas pantai Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, dan Aceh Utara, berhasil berproduksi.
Sebagai institusi Pendidikan tinggi, menurut Azhari Umuslim harus menyiapkan diri sejak sekarang, karena dunia hulu migas merupakan bisnis yang “sepi”, dalam arti kontraktor melakukan eksplorasi sekarang, dan baru berproduksi 40 tahun kemudian.
Ia juga mengimbau, sudah saatnya Aceh berhenti mengagungkan jargon SDA untuk anak cucu. Karena tugas manusia adalah memanfaatkan sebaik-baiknya SDA yang diberikan Ilahi, untuk memperbaiki kehidupan.
“Kalau kita tidak memanfaatkannya dengan baik sejak sekarang, tidak akan ada perubahan untuk masa depan. Di masa depan tantangan anak dan cucu kita akan berbeda dengan saat ini. Kita harus menyiapkan pondasi untuk mereka dengan cara-cara yang benar,” katanya.