Komparatif.ID, Meureudu– Taufik Abdullah,M.A, akademisi Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Malikussaleh, menyebutkan partai politik masih gemar melanggar aturan pemilu. Prinsip pemilu luber jurdil seringkali tidak dihargai oleh peserta pemilu.
Demikian disampaikan oleh mantan aktivis Front Aksi Mahasiswa Islam daerah Istimewa Aceh (Farmidia) tersebut saat menjadi salah satu pembicara pada Sosialisasi Regulasi dan Penanganan Pelanggaran Pemilu di Pidie Jaya, yang dihelat Oleh Panwaslih Pidie Jaya, Selasa (16/11/2022) di Aula Bappeda Pijay.
Baca juga: Politik Identitas Tidak Akan Lagi Mengemuka di Aceh
Taufik Abdullah mengatakan seiring perjanan waktu kualitas regulasi kepemiluan di Indonesia semakin baik. Hanya saja dalam pelaksanaannya masih membutuhkan komitmen ekstra, karena peserta pemilu kerap kali melanggar aturan main yang telah ditetapkan demi mencapai terlaksananya pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil (luber jurdil).
“Selama ini sosialiasi atau imbauan tentang kualitas demokrasi seringkali didengungkan kepada rakyat—pemilik suara–, padahal di lapangan pihak yang paling sering melanggar aturan kepemiluan yaitu partai politik yang menjadi kontestan pemilihan umum,” sebut Taufik Abdullah di hadapan perwakilan masyarakat dan partai politik.
Ia mencontohkan jual beli suara yang semakin hari, bertambah parah. Tumbuh suburnya praktek tersebut tidak semata-mata karena pemilih sudah pragmatis, tapi disebabkan oleh perilaku partai politik yang maunya instan.
Di sisi lain, parpol juga tidak mampu menunjukkan cara berpolitik cerdas dan beretika kepada masyarakat pemilih. Pengurus parpol berlomba-lomba mempertontonkan praktek politik yang menciderai demokrasi.
“Partai politik cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih kursi parlemen, dan melakukan berbagai upaya memenangkan calonnya agar dapat berkuasa di lembaga eksekutif. Kalau kita teliti, pelanggaran pemilu sebenarnya lebih banyak dilanggar oleh partai atau caleg daripada oleh rakyat sebagai pemilik suara,” terang Taufik Abdullah yang ketika kuliah seringkali turun ke jalan menyuarakan pemenuhan rasa keadilan terhadap rakyat Aceh.
Pria penyuka diskusi hingga larut malam tersebut mengatakan, kehadiran pengawas pemilu seperti Panwaslih Pidie Jaya tidak akan berarti apa-apa, bila partai politik tidak menjunjung tinggi moral (integritas) dalam berkompetisi.
“Karena secara prosedur pesta demokrasi kita sudah sangat baik. Tapi yang tidak terpuji justru perilaku kontestannya. Money politic semakin tidak bisa dibendung, serta kecurangan-kecurangan lainnya,” sebut Taufik Abdullah.
Pada kesempatan itu, Taufik juga mengupas sejumlah regulasi pelanggaran pemilu, yaitu Perbawaslu tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu Nomor 8/2022, Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Nomor 7/2022, dan Penegakan Hukum Terpadu Nomor 31/2018.
Regulasi tersebut harus dipahami dan dilaksanakan partai politik sehingga pengawasan partisipatif dapat berlangsung efektif dan berdampak pada kualitas Pemilu 2014 nantinya.
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Panwaslih Aceh Muzakkir, S.H., M.H saat mengantar diskusi menjelaskan pentingnya pengawasan partisipatif sesuai ketentuan Pasal 104 huruf f UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Di dalam regulasi tersebut disampaikan Bawaslu kabupaten/kota berkewajiban mengembangkan pengawasan pemilu partisipatif. Salah satunya dilakukan dengan melakukan sosialisasi terkait regulasi dalam penanganan pelanggaran pemilihan umum, dengan harapan peserta pemilu atau masyarakat ikut terlibat dalam pengawasan tahapan pemilu.
“Selama ini masyarakat kurang berminat berpartisipasi dalam pemilu, baik untuk mencegah ataupun melapor pelanggaran pemilu. Kondisi ini membutuhkan perhatian kita semua pihak, terutama partai politik dan penyelenggara pemilu,” sebut Muzakir.