Tak Ada Janji 100 Hari dari Achmad Marzuki

Mendagri melantik Achmad Marzuki sebagai Pj. Gubernur Aceh pada Rabu, 16 Oktober 2022. Dalam beberapa kesempatan AM mengatakan tidak punya janji 100 hari. Dia bekerja sebaik mungkin sampai SK-nya berakhir. Foto: Humas Pemerintah Aceh.
Mendagri melantik Achmad Marzuki sebagai Pj. Gubernur Aceh pada Rabu, 16 Oktober 2022. Dalam beberapa kesempatan AM mengatakan tidak punya janji 100 hari. Dia bekerja sebaik mungkin sampai SK-nya berakhir. Foto: Humas Pemerintah Aceh.

Sejak dilantik sebagai Pj Gubernur Aceh pada Rabu, 6 Juli 2022, usia jabatan Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki per 16 Oktober 2022 telah memasuki 100 hari. Lazimnya jabatan politik lainnya, sejumlah pihak mulai mempertanyakan capaian prestasi mantan Panglima Kodam Iskandar Muda itu.

Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (Impas) Aceh-Jakarta, menggelar diskusi di ruang virtual pada Jumat (14/10/2022). Menghadirkan sejumlah orang antara lain Prof. Dr. Samsul Rizal, M. Rizal Fahlevi Kirani, Muhammad Yusuf, dan beberapa orang lainnya.

Dalam siaran persnya yang dikirim ke Komparatif.ID, Impas menyebutkan dasar lahirnya diskusi tersebut karena masih tingginya stunting, capaian pembangunan,dan lain-lain. Sayangnya, dalam siaran persnya Impas hanya menulis pikiran Ketua Impas Nazarullah,S.E dan Ketua Panitia Diskusi Agussalim. Tidak mencantumkan buah pikiran narasumber yang mereka undang.

baca juga: Banjir Aceh Utara Jadi Perhatian Semua Pihak

Di media sosial sejumlah netizen juga menulis status di linimasa, mempertanyakan apa yang telah dicapai oleh Aceh selama 100 hari dipimpin oleh Achmad Marzuki.

Dalam beberapa momen Achmad Marzuki mengatakan tidak memiliki janji 100 hari. Pun demikian bukan berarti dirinya tidak bekerja. Aceh masih sangat menantang, karena terdapat banyak hal yang harus dibenahi. Mulai dari sektor kesehatan, pendidikan, ekonomi mikro dan makro.

Pada Kamis (13/10/2022) Pj Gubernur Aceh mengumpulkan bupati/walikota dari 23 kabupaten/kota. Dalam kegiatan yang bertajuk rapat koordinasi tersebut, Achmad Marzuki mengangkat lima fokus yang harus menjadi perhatian para pemimpin daerah.

Pertama, infalsi masih tinggi. Per Juli 2022 menjadi 6,97%. Aceh berada pada peringkat 5 nasional. Per Agustus 2022 menjadi 6,33%–peringkat 8—dan pada September menjadi 7,38%. Persentase terakhir tersebut naik karena pengurangan subsidi BBM.

Kedua, jumlah penduduk miskin di Serambi Mekkah yang masuk kategori ekstrim masih sangat tinggi pada 2021, yaitu 3,47 persen, atau sebanyak 188. 772 jiwa. Lebih tinggi dari rata-rata nasional 2,95 persen –162.850 jiwa. Di Aceh, orang miskin ekstrim hanya berpendapatan 32.757 ribu per orang per hari.

Ketiga, realisasi Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun 2022 baru mencapai 50,42 persen. Baru 1,87 triliun yang terserap dari 2,193 triliun yang tersedia.

Keempat, pemberdayaan ekonomi belum maksimal.

kelima, perihal persiapan Pemilu 2024.

Pertemuan tersebut cukup menarik disimak karena bupati/walikota menyampaikan problematika yang mereka alami di daerah masing-masing. Pemerintah Aceh pun memberikan respon dan langkah apa yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah.

Sejumlah pihak mengaku kesulitan “beradaptasi” dengan Achmad Marzuki. Ia tidak bertindak lazim seperti pemimpin lainnya. Staf Ahli Menteri Dalam Negeri tersebut tidak banyak bicara kepada publik. Ia tidak banyak menebar janji.

Apakah Achmad Marzuki tidak melakukan apa-apa sehingga tidak mau banyak bicara? Tidak juga demikian. Beberapa waktu lalu ia beranjangsana ke sejumlah kementerian, menyampaikan persoalan yang dihadapi Aceh, dan meminta Pusat memberikan intervensi dalam bentuk program pembangunan.

Di tataran daerah, ia juga sering membangun komunikasi lintas sektor dalam bingkai ngopi bersama. Termasuk bertemu media, dan LSM. Meskipun ada sejumlah pegiat lembaga swadaya masyarakat yang menolak hadir, tapi Achmad terus melangkah.

Kepada media dalam beberapa kesempatan Achmad Marzuki juga mengatakan Pemerintah Aceh tidak anti kritik. Dia mempersilakan wartawan mengulik kinerja pemerintah.

Selain itu dia juga berharap media bergandengan tangan bersama pemerintah mengangkat sisi positif Aceh. Karena Provinsi Aceh masih sangat membutuhkan treatment agar citranya positif di mata publik luar.

Dengan pola kepemimpinan Achmad marzuki yang tidak mau banyak bicara, tapi membuka ruang kritik selebar-lebarnya, menurut sejumlah sumber, saat ini bola berada di kaki striker.

Striker yang saya maksud adalah humas dan perangkatnya. Saya memposisikan Pj sebagai Presiden klub, Sekda sebagai pelatih, dan para kepala SKPA sebagai defender dan gelandang serang. Kenapa humas sebagai striker? Karena merekalah yang berkewajiban memasukkan “gol” ke dalam pemahaman masyarakat melalui media massa. “Gol” yaitu informasi seputar capaian kinerja Pemerintah Aceh,” sebut sumber yang menolak namanya ditulis karena malas menjadi buah bibir di media sosial.

Sang sumber juga mengatakan, akan lebih keren lagi, bila pihak yang mempertanyakan capaian kinerja 100 hari—meskipun Pj tak punya janji 100 hari—membangun daya kritik yang lebih membangun. Caranya, mengumpulkan sebanyak apa pun data, kemudian menganalisanya, dan selanjutnya mempublikasikannya kepada publik.

Kerja tersebut sesungguhnya paling mungkin dilakukan oleh perguruan tinggi seperti Universitas Syiah Kuala dan UIN Ar-Raniry. Kedua universitas itu memiliki Fakultas Ekonomi dan FISIP. Kedua fakultas tersebut sudah lebih dari cukup untuk mewakili publik, sebagai pengawal langkah pembangunan Pemerintah Aceh.

Akankah kedua universitas besar itu akan mengambil peran tersebut?

Artikel SebelumnyaGarda Pemuda NasDem Aceh Salurkan Tenda dan Sembako 
Artikel SelanjutnyaPj Gubernur Aceh Telah Banyak Bekerja Dalam 100 Hari
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here