Bulan November biasanya identik dengan hujan, seperti tembang abadi Guns N’ Roses, November Rain. Tapi, kali ini, oleh hujan air mata. Hati kita terenyuh dengan sebuah berita, bikin hati bagai tersayat-sayat. Arjuna Tamaraya (21), seorang mahasiswa asal Simeulue, Aceh, tewas dianiaya saat hendak beristirahat di Masjid Agung Sibolga, Jalan Diponegoro, Sibolga, Sumatera Utara, pada Sabtu (1/11/2025) dinihari.
Tragedi penganiayaan hingga meninggal dunia yang menimpa Arjuna Tamaraya ini bukan hanya soal tindak kriminal biasa; ia seolah menegaskan kembali sebuah pola kelam yang sudah berlangsung puluhan tahun: Sumatera Utara, dengan ibukota Medan, seringkali menjadi saksi bisu kekerasan yang menargetkan tokoh dan masyarakat Aceh.
Jejak sejarah mutakhir menunjukkan betapa rentannya keselamatan tokoh-tokoh Aceh di kawasan tetangga ini. Mungkin Arjuna Tamaraya mengira ia berada di tempat yang aman. Lebih-lebih karena ia berada di masjid. Namun, sebenarnya, bagi orang Aceh (terutama para tokohnya), harapan itu telah lama pupus.
Pada 31 Januari 2000, kita menerima kabar. Tengku Nashiruddin Daud, anggota DPR RI dari PPP asal Aceh, ditemukan tewas di Berastagi, Sumatera Utara. Beberapa bulan kemudian, kekejaman berlanjut. Mantan juru bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Ismail Syahputra, diculik di Belawan pada Juni 2000. Sampai kini, kita belum mendapatkan kepastian keberadaan jasad juru bicara eksentrik tersebut. Jelas, ini meninggalkan tanda tanya mendalam di benak kita.
Baca juga: Mengenang 25 Tahun Wafatnya Jafar Siddiq Hamzah
Kasus paling menggemparkan juga terjadi di tahun yang sama. Jafar Siddiq Hamzah, seorang aktivis hak asasi manusia terkemuka, hilang sejak Sabtu, 5 Agustus 2000, di Medan. Tragisnya, jasad Jafar baru ditemukan pada 3 September 2000, di Desa Nagalingga, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara—sekitar 103 kilometer dari Medan. Jasadnya ditemukan dengan bekas penyiksaan di sekujur tubuhnya, mengisyaratkan bahwa kepergiannya jauh dari kesan wajar.
Pola kekerasan ini turut menumbuhkan ketidakpercayaan yang meluas, bahkan terhadap sistem peradilan. Pada masa lalu, aktivis Aceh, terutama dari Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), sempat menggelar demonstrasi yang isinya menolak pemindahan dan sidang Ketua Presidium SIRA, Muhammad Nazar, di pengadilan Medan. Penolakan ini mencerminkan kekhawatiran mendalam bahwa lingkungan hukum dan keamanan di Sumatera Utara tidak menjamin keadilan atau perlindungan bagi tokoh-tokoh yang vokal dari Aceh.
Seharusnya, Aceh dan Sumatera itu bertetangga tanpa syarat. Hendaknya, berbaik-baiklah sama tetangga. Pun begitu, dalam banyak kejadian, Sumatera Utara belum menunjukkan niat menjadi tetangga yang baik bagi Aceh. Para sopir bus dan truk barang asal Aceh cukup sering menerima perlakukan tidak manusiawi saat melintasi perbatasan: mulai dari aksi pemalakan, pelemparan batu, hingga perilaku bajing loncat.
Padahal, dalam sejarahnya, Aceh pernah bahu-membahu membantu Sumatera Utara memerangi Belanda saat Agresi Militer Kedua. Perang tersebut dikenang sebagai Perang Medan Area.
Kisah duka mulai dari Jafar Siddiq Hamzah hingga Arjuna Tamaraya adalah pengingat pahit bahwa jaminan keselamatan dan rasa aman bagi masyarakat Aceh di tanah tetangga masih menjadi utang yang belum terbayar.












