Strategi Mengeluarkan Aceh dari Kemiskinan & Ketergantungan

ekonomi aceh
Zubir Marzuki,S.P. Praktisi perdagangan. Foto: Dok ZM.

Aceh saat ini seperti haba ureueng tuha: Hasan Basri polisi pura-pura, pilot lam kéh teumuléh h’anjeut, jeum bak jaroe cöt uroe poh peut.

Serambi Mekkah, dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, memiliki peluang besar untuk membebaskan diri dari keterpurukan ekonomi, kemiskinan pengangguran dan ketergantungan.

Salah satu masalah mendasar yang perlu diatasi adalah ketergantungan daerah ini terhadap pasokan pangan dari luar provinsi, yang melemahkan kemandirian ekonomi dan menghambat pertumbuhan industri lokal.

Baca: Aceh Bisa Dapat Rp82 Triliun Per Tahun, Tak Perlu Dana Otsus

Beberapa komoditas utama seperti bawang merah, cabai, telur, daging sapi, sayur, buah nenas, jeruk dan berbagai bahan pangan olahan lainnya sseperti tepung beras, masih bergantung pada provinsi tetangga. Padahal Serambi Mekkah memiliki potensi besar untuk mengolah dan memproduksi kebutuhan pangannya secara mandiri.

Sebagai bangsa pejuang, Aceh hari ini baru tingkat surplus beras. Barang-barang yang lain masih sangat tergantung kepada daerah luar.

Setiap hari daerah ini masih memasok sayuran dari luar. Sayuran tersebut seperti kentang, kol, sawi, kembang kol, wortel. Jumlah yang harus dipasok dari luar setiap hari mencapai 200 ton.

Demikian juga bawang merah 43 ton/hari, daging sapi 39 ton/hari, telur ayam ras /bebek 2 juta butir/hari, daging bebek 50 ribu ekor/hari, ayam kampung pedaging 8 ribu ekor/hari, tepung beras 60 ton/hari, tepung ubi/tapioka 50 ton/hari, nenas 90 ton/hari, jeruk manis 64 ton/hari, dan aneka bahan pangan olahan lainnya.

Semua produk pangan baik yang non olahan dan olahan, sebenarnya dapat kita produksi sendiri. Tapi tidak kita lakukan, sehingga ekonomi daerah ini tersungkur.

Kebutuhan bawang merah di Aceh mencapai 16 ribu ton per tahun. Namun saat ini hanya sebagian kecil yang diproduksi secara lokal, khususnya di wilayah Pidie, Pijay,Aceh Utara, dan Bener Meriah.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan perluasan lahan pertanian bawang merah hingga 600 hektare, dengan 2x musim tanam sehingga dapat menghasilkan 18 ribu ton bawang per tahun. Dengan pengelolaan optimal, lahan ini juga berpotensi menyerap empat ribu ribu tenaga kerja baru, membuka peluang pemberdayaan masyarakat setempat dan mengentaskan kemiskinan.

Ketidakstabilan harga cabai di Aceh menjadi masalah yang terus berulang. Untuk menanggulangi masalah ini, diperlukan campur tangan pemerintah dengan membentuk sentra cabai di beberap kabupaten dengan areal luasan 1.500 ha, kelompok ini dibina mulai dari pembiayaan sampai dengan produksi, distribusi dan pengolahan cabai.

Pemerintah dapat menstabilkan harga cabai dengan menetapkan harga beli minimum untuk cabai segar di harga Rp18.000/Kg, dan memproses kelebihan cabai menjadi cabai giling beku, yang dapat dijual dengan harga tetap. Dengan pendekatan ini, harga cabai segar dapat ditekan hingga tidak lebih dari 25 ribu rupiah per kilogram di pasaran, dengan pilihan alternatif berupa cabai giling beku yang lebih murah.

Selain itu, industri produk turunan cabai, seperti saus dan bumbu dapur, dapat kita pasok dari cabai Aceh ke beberapa pabrik seperti Indofood, ABC, Dua Belibis, dll. Pada gilirannya akan membuka peluang komoditi baru dan mendongkrak kegiatan masyarakat di perdesaan yang bermuara ke menurunnya angka kemiskinan dan pengangguran di Aceh.

Dengan peran aktif pemerintah dalam pengelolaan cabai, Aceh dapat mengatasi fluktuasi harga, meningkatkan kesejahteraan petani, dan menciptakan nilai tambah yang lebih besar bagi ekonomi daerah.

Data menunjukkan bahwa kebutuhan telur di Aceh mencapai dua juta butir per hari(ayam dan bebek). Saat ini hanya sekitar 100 ribu butir yang diproduksi secara lokal. Untuk mengurangi ketergantungan pada pasokan dari Sumatera Utara, diperlukan pengembangan peternakan ayam petelur dan bebek petelur, juga bebek pedaging rakyat di beberapa wilayah strategis di Aceh.

Kebutuhan akan daging sapi juga sangat menyita anggaran kita untuk memasukkan sapi-sapi dari luar Aceh yang setiap hari mencapai kebutuhan sekitar 200 ekor sapi untuk seluruh Aceh/hari.

Dengan membangun peternakan rakyat minimal 1 orang  untuk 1.000 ekor ayam atau bebek petelur di berbagai kabupaten, Aceh dapat memenuhi kebutuhan telurnya sendiri untuk masing masing daerah, menciptakan lapangan kerja baru, dan memberdayakan masyarakat lokal.

Selain itu, pembangunan peternakan ini akan mendorong terbentuknya industri pendukung, seperti pabrik pakan ternak. Produksi pakan yang mandiri juga akan menekan biaya produksi dan memastikan telur lokal dapat bersaing dengan produk dari luar provinsi.

Kebutuhan pakan ayam yang mencapai 500 ton per hari, termasuk 200 ton jagung/hari yang setara kita butuh lahan jagung 20.000 ha/tahun, akan membuka peluang bagi pengembangan lahan jagung di Aceh, yang pada gilirannya menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan petani lokal.

Kemandirian pangan di Serambi Mekkah dapat dicapai melalui pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat lokal. Dengan memperkuat produksi bawang merah, cabai, telur, sayuran, nenas dan jeruk, Daerah Modal dapat mengatasi ketergantungan pangan, membuka lapangan kerja, dan mengentaskan kemiskinan.

Menurut data hasil perhitungan penulis, saat ini dana pangan masyarakat Aceh telah lebih dari 25.000 per kapita per hari. Angkanya mencapai Rp51 triliun per tahun. Dana belanja masyarakat kita saat ini untuk pangan dan non pangan melampaui Rp1,22 juta per kepala per bulan. Total per tahun mencapai 82 triliun.

Peran Penting Pemerintah

Pemerintah Aceh perlu mengambil peran aktif dalam mengimplementasikan strategi ini, termasuk dengan mendukung peran BUMD dalam pembiayaan, memproduksi sampai dengan distribusi dan pengolahan produk pertanian. Melalui langkah-langkah ini, Serambi Mekkah dapat keluar dari keterpurukan ekonomi dan mewujudkan kemandirian pangan yang berkelanjutan.

Hal paling penting yaitu regulasi pembiayaan syariah—yang betul-betul syariah—kepada petani, peternak, nelayan, dan industri pengolahan pangan. Pemerintah lokal dan legislatif memiliki tanggung jawab mengambil Langkah kongkrit.

Kita memiliki bank daerah yang dapat dijadikan pemodal yang bertugas selain mendapatkan profit langsung, juga harus diberi tanggung jawab meningkatkan kemajuan ekonomi Aceh.

Dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disediakan oleh Pemerintah Pusat, harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kemajuan ekonomi daerah ini.

Pemerintah Aceh dapat mengambil peran lebih, yaitu memanfaatkan KUR dengan memberikan subsidi margin KUR kepada masyarakat, bisa 3% atau 6% sehingga masyarakat akan dapat berusaha dengan pembiayaan tanpa bunga/murah.

Saya kira tidak ada cara lain untuk membangun perekonomian Aceh berbasis kerakyatan, bilamana Pemerintah lokal juga bermain aman. Karena tanpa terobosan yang berani dan berpihak kepada rakyat, Aceh tidak mungkin akan maju.

Kita berharap agar 2025 aceh sudah mulai dapat mempertahankan anggaran belanja masyarakat Aceh yang sangat besar itu untuk dikelola di sini, agar dana kita dapat berputar di tangan masyarakat kita sendiri.

Kajeut tapiyôh pubut nyang hana jeut keubut. Bek sampé sabé-sabé ureueng geuntanyo lagè manok maté lam krông padé.

Penulis Zubir Marzuki, praktisi perdagangan.

Artikel SebelumnyaTemui Ketua MPR, Mualem Bahas Sekolah Berasrama Gratis
Artikel SelanjutnyaMualem: Potensi Ekraf Aceh Besar, SDM Masih Lemah
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here