Sosok Sophia Elisabeth Van Der Meer pernah menjadi buah bibir. Sosoknya sering menampakkan diri di jendela besar Pendopo yang kini menjadi Pendopo Gubernur Aceh. Kabar kematiannya sempat ditutup rapat-rapat. Tapi kemudian harus dibuka karena arwahnya mulai meneror.
1880 Pendopo Gubernur Aceh dibangun atas prakarsa Letnan Jenderal Karel van der Heijden. Ia membutuhkan pusat pemerintahan setelah berhasil menguasai sebagian besar pusat Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam.
Setelah menguasai Aceh, istri-istri para perwira turut dibawa ke Aceh, tak terkecuali Sophia Elisabeth Van Der Meer, istri salah seorang perwira Marechaussee.
Sophia sangat bahagia dibawa ke Aceh. Ia sangat mencintai suaminya yang menurutnya gagah perkasa. Untuk sementara waktu ia sangat senang tinggal di Aceh. Meski sesekali ia rindu kepada Amsterdam dan keju.
Saat suaminya bertugas memburu mujahidin Aceh di pedalaman Aceh, ia meninggal dunia. Menurut kabar berhembus, ia diracun oleh seorang kacung yang diperintah oleh seorang istri perwira.
Perempuan tersebut dikenal supel. Banyak orang menyukainya. Meski istri perwira ia gemar memasak dan berbagi makanan. Bila suaminya sedang di rumah, mereka sering membuat jamuan makan. Dengan penuh cinta membuat klapertart dan disajikan kepada tamu.
Ia sering memasak semur daging babi yang dikirim dari Calang, bila kumpul-kumpul siang.
Akibat keramahannya, ia disukai banyak orang. Tak terkecuali Gubernur Militer Karel dan istrinya.
Setiap kali suaminya dikirim ke medan laga, Sophia selalu gundah gulana. Akan tetapi saat ditugaskan kali itu, ia bukan hanya gundah, tapi tak rela bila suaminya harus pergi.
Ia merasa takut sendirian. Ia tak lagi percaya akan ketulusan di dalam tembok luas pendopo.
Suaminya berkata. “Kecemasanmu karena kamu sedang hamil. Percayalah tembok pendopo ini sangat aman bagimu. Semua orang mencintaimu di sini.”
Perempuan berambut pirang itu tak berdaya. Ia tak lagi punya alasan menahan langkah sang pria. Suaminya tentara berdedikasi. Bila tugas negara tiba, ia akan menomorsatukan negara, keluarga ditempatkan pada pilihan kedua.
Siang itu melepas sang suami dan kompinya yang bergerak jalan kaki menuju rimba Negeri Daya.
Kala malam tiba ia tak selera menikmati hidangan yang disediakan jongos. Tapi karena mengingat pesan suaminya, ia pun memaksa diri makan malam.
Satu jam setelah makan pada malam, ia merasakan mules luar biasanya. Ususnya seperti disayat-sayat. Perih sekali.
Baca juga: Abu Din dan Hantu di Turunan Jalan
Ia berteriak kencang. Ia sempat melihat jongos berlari ke arahnya. Tapi dicegah oleh seorang perempuan. Di tengah kepanikan, ia sempat melihat seorang istri kolega suaminya, meminta jongos tidak membantunya yang sedang kesulitan.
“Biarkan saja dia. Sebentar lagi juga selesai,” kata si perempuan.
Keringat dingin mengucur di dahinya. Pelan-pelan pandangannya menjadi kabur. Selanjutnya ia pun mengembuskan nafas terakhir.
Karena Aceh sedang dilanda perang, proses penguburan Sophia tidak diperlambat. Para pengurus kompleks pendopo tidak menunggu kepulangan suami sang wanita.
***
Kabar kematian Sophia yang serba mendadak menjadi buah bibir kalangan perwira dan para jongos. Satu minggu setelah kepergian Sophia, seorang jongos perempuan dihukum.
Perempuan malang itu sempat buka suara bila seseorang telah memaksa dirinya menaruh racun ular ke dalam makanan Sophia. Tapi pengakuan jongos itu dianggap sebuah kebohongan.
“Kesaksian inlander tidak dapat dipercaya,” kata hakim. Pun demikian, seorang perempuan Belanda turut dipersalahkan, meski tidak turut dihukum.
Hukuman untuk perempuan itu dipulangkan ke Belanda, dan suaminya diturunkan pangkat. Karena malu, sang perwira menghabisi dirinya sendiri di belakang kompleks, dua malam setelah istrinya diusir.
Kasus itu kemudian ditutup serapat-rapatnya, sehingga tak ada orang di luar kompleks perwira yang mengetahui siapa pelaku utamanya.
Sejak kematian istrinya, suami Sophia tak lagi bergairah. Sepanjang hari ia hanya bermuram durja. Hatinya perih, tapi tak tahu harus berbuat apa.
Ia menyesali menolak percaya atas ketakutan istrinya saat ia hendak berangkat tugas. Tapi nasi telah menjadi bubur. Semuanya telah terlambat.
Lima bulan kemudian ia tewas di pedalaman Aceh Utara. Terkena peluru senapang gerilyawan Aceh di Negeri Pase.
***
Sophia tiba-tiba menjadi masalah di lingkungan kompleks perwira. Para jongos seringkali harus lari terbirit-birit dari dapur. Mereka mengaku melihat sosok itu di dapur sedang memasak.
“Ia mengenakan pakaian persis saat ia mati keracunan. Wajahnya sangat seram,” aku Ngatmi, jongos dapur yang menjadi kepercayaan istri Gubernur Militer Aceh.
Malam-malam selanjutnya semakin banyak orang yang melihat sosok perempuan itu di bagian dapur. Sesekali terlihat di bekas rumah dinas suaminya.
Ketakutan melanda seisi kompleks. Mereka mulai membahas mengapa Sophia menampakkan diri. Padahal pelaku utamanya telah dipulangkan ke Belanda.
Bidang Kerohanian Kegubernuran akhirnya memberikan saran kepada sang Letnan Jenderal supaya majelis hakim membuat pengakuan bahwa perempuan yang telah dikembalikan ke Belanda sebagai pelaku utama. Jongos hanyalah orang suruhan.
Setelah dipertimbangkan masak-masak, akhirnya hakim mengumumkan bila pelakunya adalah Margaretha, istri Letnan Hendric.
Sejak pengakuan itu diumumkan, arwah itu tidak pernah lagi menampakkan diri. Mungkin arwahnya telah tenang di alam lain.
Bertahun-tahun setelah Karel dipindahtugaskan, sosok noni Belanda terlihat berdiri di jendela kantor bila malam purnama tiba.
Ia tidak mengganggu. Ia hanya berdiri di jendela, menatap bulan purnama setiap pukul 03.00 dinihari.
Setiap ia muncul, tidak lagi dengan wajah menyeramkan. Ia memperlihatkan diri dengan wujud yang sangat indah. Seperti hari-hari kala ia masih bersama suaminya.
Salah satu tanda ia akan hadir, aroma melati dan keju terpancar semerbak dari rumah yang pernah mereka tinggali.