Kala Siti Syawaliyah Melawan Sunyi di Tengah Sorak Sorai

Kala Siti Syawaliyah Melawan Sunyi di Tengah Sorak Sorai Siti Syawaliyah, satu-satunya wasit perempuan berlisensi C1 Nasional di Aceh. Foto: Dok. Pribadi.
Siti Syawaliyah, satu-satunya wasit perempuan berlisensi C1 Nasional di Aceh. Foto: Dok. Pribadi.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Di tengah deru sorak sorai penonton yang menggelegak di lapangan hijau, suara peluit nyaring memecah udara. Di balik peluit itu, berdiri sosok yang tak lazim bagi sebagian besar masyarakat Aceh—seorang perempuan muda, mengenakan seragam hitam dengan peluit dan atribut lengkap.

Namanya Siti Syawaliyah, lahir dan besar di Langsa, dan sekarang menjadi satu-satunya wasit perempuan berlisensi nasional yang masih aktif di Aceh. Di balik sosoknya yang sederhana dan langkahnya yang mantap di tengah lapangan, tersimpan cerita tentang keberanian, keteguhan hati, dan perjuangan melawan stereotip.

Bagi sebagian orang, langkah yang ditempuh Siti mungkin terdengar aneh, bahkan nyeleneh. Perempuan, berjilbab pula, memilih menjadi wasit sepak bola di daerah yang sangat memegang teguh adat dan syariat.

Lahir di Langsa pada 30 Desember 2000, Siti tumbuh dalam lingkungan yang tak banyak memberi ruang bagi perempuan untuk menginjakkan kaki di ranah olahraga yang keras dan identik dengan dunia lelaki. 

Tapi sejak muda, ia sudah menunjukkan dirinya berbeda. Ketika teman-teman sebayanya mungkin sibuk dengan kegiatan sekolah biasa, Siti kecil memilih berlari, berlatih, dan mengikuti ajang Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) tingkat provinsi di Aceh Tengah pada 2016. Saat itu, ia masih duduk di bangku MTsN, tapi langkahnya sudah jauh melampaui usianya.

Dua tahun berselang, semangat mengantar dirinya ke panggung Pekan Olahraga Aceh (PORA) Jantho XII 2018. Kala itu ia sukses membawa pulang medali perunggu dari cabor lari untuk Kota Langsa. 

Momen itu menjadi pijakan penting dalam hidupnya. Namun, kehidupan bukan hanya soal kemenangan di podium. Sekembalinya dari Jantho, ia tetap berlatih, menyusuri lapangan-lapangan di Langsa, kadang sendiri, tanpa sorotan kamera, tanpa tepuk tangan.

Namun takdir selalu punya rencana yang berbeda. Suatu hari, di tengah sesi latihan, ia bertemu Mukhlis, pelatih yang kelak menuntun perubahan drastis pada hidupnya. 

Mukhlis mengajukan tawaran tak biasa. “Jadi wasit saja,” ujar Siti mengulang ucapan Mukhlis kepada Komparatif.ID, Sabtu (17/5/2025) malam. 

Awalnya, Siti terdiam. Ia perempuan, dan ini Aceh— daerah yang tak mudah menerima perempuan memimpin pertandingan sepak bola, apalagi di tengah dominasi maskulinitas yang mengakar. 

Tapi ucapan Muklis membekas: menjadi wasit bukan hanya soal mengatur jalannya laga, tapi juga jalan untuk mencari nafkah dan menafkahi keluarga.

“Dengan menjadi wasit, kamu bisa menafkahi dirimu dan keluargamu,” lanjutnya.

Siti Syawaliyah saat berbincang dengan Komparatif.ID di kawasan Simpang BPKP, Banda Aceh, pada Sabtu (17/5/2025) malam. Foto: HO for Komparatif.ID.
Siti Syawaliyah saat berbincang dengan Komparatif.ID di kawasan Simpang BPKP, Banda Aceh, pada Sabtu (17/5/2025) malam. Foto: HO for Komparatif.ID.

Dengan keraguan yang masih menggelayut, Siti memutuskan untuk mencoba. Ia mulai mengikuti pelatihan wasit bersama rekan-rekannya di Langsa. Bermodalkan fisik kuat dan kedisiplinan sebagai atlet, ia mulai menyelami dunia baru: hukum permainan, etika memimpin, dan penguasaan situasi di lapangan. 

Baca juga: PSPU Jangka & Sisa-Sisa Kejayaan yang Tak Mau Padam

Tak lama kemudian, ia mendapat kesempatan memimpin pertandingan anak-anak di beberapa lapangan kecil. Dari lapangan-lapangan sederhana itulah mimpi Siti mulai tumbuh.

Tahun 2021 menjadi tonggak penting bagi Siti. Dengan uang yang ia kumpulkan sendiri, ia terbang ke Padang, Sumatra Barat, mengikuti kursus lisensi wasit C2. Lulus dari sana, Siti mulai dipercaya memimpin berbagai pertandingan semi-open di Banda Aceh dan Aceh Besar. 

Setahun kemudian, Siti menembus batas yang lebih tinggi. Ia berhasil mengantongi lisensi C1 Nasional di Semarang, Jawa Tengah. Predikat yang jarang diraih, apalagi oleh seorang perempuan di Aceh.

Namun menjadi satu-satunya wasit perempuan berlisensi nasional di Aceh ternyata bukan jaminan kemudahan. Dunia yang ia masuki tidak sehangat impiannya. Di tengah kesibukannya kuliah di Banda Aceh, Siti terus memimpin pertandingan tarkam, mengisi waktu dan mengasah kemampuannya. Meski begitu ia juga kerap mengalami penolakan.

Pada suatu waktu kala memimpin sebuah pertandingan di Aceh Jaya, ia digantikan di tengah laga. Alasan yang melayang tidak pernah jelas, tapi Siti tahu bahwa bukan karena kualitasnya. 

“Masih banyak yang belum bisa menerima perempuan sebagai wasit,” katanya pelan.

Bagi Siti ada yang lebih menyakitkan dari itu: pengabaian. Meskipun memiliki lisensi nasional dan pengalaman memimpin pertandingan di berbagai daerah, Siti belum pernah diberi kepercayaan untuk memimpin laga penting seperti Liga Pertiwi atau ajang sepak bola putri di PON Aceh-Sumut.

Bahkan setahun terakhir, namanya tak pernah muncul dalam daftar pemimpin pertandingan resmi yang dikelola oleh PSSI Aceh. “Saya satu-satunya wasit nasional yang aktif di Aceh, tapi seolah-olah keberadaan saya tidak dianggap,” ucapnya, menahan kecewa.

Di tengah semua keterbatasan itu, Siti memilih tidak menyalahkan siapa pun. Ia justru meluapkan semangatnya ke hal lain. Dari hasil memimpin pertandingan, ia mulai menabung sedikit demi sedikit. 

Kini, ia membuka usaha kecil di Simpang BPKB, Banda Aceh: berjualan es jagung dan keripik. “Saya ingin bertahan hidup. Saya percaya, mimpi tetap bisa dikejar sambil jalan,” katanya sembari tersenyum.

Siti juga tak segan bolak-balik ke Pulau Jawa, mengikuti seleksi dan penyegaran, menyimpan harapan bahwa suatu hari peluitnya akan terdengar di ajang-ajang besar, bukan hanya di tarkam atau fun game. Keyakinannya sederhana: bahwa ia punya tempat di dunia sepakbola, walau dunia itu belum sepenuhnya membuka pintu baginya.

Bagi Siti, peluit adalah simbol perjuangan. Ia memimpin pertandingan bukan untuk gagah-gagahan, melainkan karena cinta. Cinta pada olahraga, pada keberanian memilih jalan berbeda, dan pada mimpi-mimpi yang terus ia peluk erat meski banyak pintu masih tertutup. 

Ia tahu dunia mungkin belum ramah untuk perempuan sepertinya, tapi itu tak membuatnya patah. Ia percaya, pelan-pelan, suara peluitnya akan mengubah pandangan.

Ketika sebagian perempuan seusianya memilih jalur yang lebih umum, Siti memilih jalan yang tidak biasa, jalan yang penuh batu, jalan yang membuatnya harus berdiri sendirian di tengah kerumunan, membawa peluit sebagai simbol keadilan di arena yang kerap menguji mental dan fisiknya. 

Ia tahu perjuangannya belum selesai. Tapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendiri. Siti percaya setiap perempuan yang berani melangkah di ruang-ruang yang dulu tertutup, akan selalu membawa terang bagi yang lain.

Di sela-sela terik lapangan, di balik bayang tribun yang kadang sinis, dan di tengah gemuruh penonton yang belum terbiasa melihat perempuan meniup peluit, berdiri seorang Siti Syawaliyah—tegar, berani, dan terus berjalan.

Kini, ketika orang-orang melihat Siti berdiri tegak di tengah lapangan, mengenakan seragam hitam dan memegang peluit, mereka tak hanya melihat seorang wasit. Mereka melihat harapan. 

Mereka melihat seorang anak muda yang memilih berjalan sendiri ketika jalan itu belum pernah dilewati siapa pun sebelumnya. Mereka melihat keberanian yang tak bisa diukur dengan jumlah pertandingan, tapi dengan tekad untuk tetap berdiri meski di tengah badai.

Artikel SebelumnyaMualem Hadiri Pelantikan Bunda Salma
Artikel SelanjutnyaBunda Salma Menjadi Perhatian Juru Warta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here