
Malam itu, di Masjid Agung Sibolga, seorang anak bujang berinisial AT—yatim asal Simeulue, Aceh—hanya ingin beristirahat sejenak sambil menunggu azan subuh. Namun, apa yang terjadi selanjutnya adalah tragedi: ia dikeroyok hingga tewas oleh beberapa begundal pada 31 Oktober 2025.
Meski ini murni kasus kriminal dan bukan representasi masyarakat Sibolga secara keseluruhan, kejadian itu membuatku sebagai seseorang yang bersentuhan langsung dengan dua kebudayaan ini tergelitik untuk menelusuri jejak hubungan antara Sibolga (Tapanuli) dan Singkil (Aceh)—wilayah yang paling dekat dengan Simeulue.
Tulisan ini bukan untuk menghakimi, apalagi menggadangkan luka. Ini hanyalah catatan etnografi ringkas dari mata seorang “outsider” yang sehari-hari hidup dalam pelukan negeri mereka.
Baca: Jejak Orang Aceh di Singkil: Mengapa Hanya Sedikit yang Tersisa? (Bagian 1)
Sebuah catatan pandangan tentang bagaimana dua etnik pesisir ini, yang dipisahkan garis imajiner oleh negara tapi diikat oleh lautan Samudera Hindia, saling memandang, berdagang, dan berbagi budaya sejak masa lalu hingga kini, bahkan ke masa hadapan.
Aku ingin menceritakan kisah mereka melalui cerita-cerita kecil yang aku dengar sendiri dari tuturan orang tempatan. Cerita-cerita yang kudapat sembari menikmati rokok daun nipah yang harum hingga mi tek-tek yang menggoda selera di malam hari.
Dari rindu yang dialirkan ke Sungai Singkil bersama gelondongan kayu ke Pasa Belakang di hadapan Pulau Poncan Ketek Sibolga, sampai kisah pantun yang menjaga ingatan dusanak yang jauh dari mata di Kilangan Singkil.
Aku ingin mengisahkan bagaimana orang Sibolga memandang Singkil sebagai Aceh yang paling dekat dan mirip dengan mereka, serta sebaliknya, bagaimana orang Singkil memandang Sibolga (yang mereka sebut “Siboga” tanpa huruf “l”) sebagai saudara kandung mereka di Sumatera Utara.
Berbagi Bahasa Pesisir Singkil & Sibolga
Bagi orang Singkil, Sibolga–juga Barus dan Sorkam– adalah “dusanak kito” (saudara kita) di seberang laut. Ya, seberang laut, bukan darat, karena simpul-simpul kebudayaan pesisir mereka tak melalui jalan darat atau sungai sehingga baik sungai Lae Sukhaya (Simpang Kiri) atau Lae Cinendang (Simpang Kanan) tak memberi bekas pada interaksi budaya dua etnik ini.
Mereka membangun negeri di dekat ombak, baik di Aceh maupun Tapanuli. Sebut saja Gosong Telaga, Kayu Menang, dan Pulau Banyak di Aceh, atau Barus, Sorkam, dan Sibolga di Tapanuli—semuanya terletak di pesisir. Hal ini membuat mereka memiliki bahasa yang serupa, bahasa yang saling dimengerti tanpa perlu dipelajari lebih dulu. Orang secara umum mengenalnya sebagai Bahaso Baapo—mirip Minang, tapi dengan perbedaan khas.
Di Singkil, disebut bahaso Singkil Pesisir yang dipengaruhi Bahasa Singkil–sebagian menyebut Pakpak Boang– di Sibolga namanya Bahaso Pasisi yang tercampur Batak Toba-Mandailing. Mereka melabeli diri sebagai ughang pasisi. Keduanya identik ibarat adik dan abang kandung, tapi tak serupa dengan Bahasa Aneuk Jamee di Aceh Selatan. Pada titik tertentu, baik orang Singkil maupun Sibolga akan kesulitan memahami frasa dalam Bahasa Aneuk Jamee.
Aku membuktikannya melalui obrolan dengan rekan sejawat asal Badiri, Tapanuli Tengah, bermarga Simanjuntak. Ia mengidentifikasi diri sebagai penutur asli bahaso Pasisi di Sibolga, tapi sudah lama bermustautin di Singkil.
Suatu malam, aku ajak ia duduk minum kopi, bersama tiga teman lain yang merupakan penutur Bahasa Aneuk Jamee asal Samaduo, Aceh Selatan. Ketika kutanyakan frasa dalam Bahasa Aneuk Jamee ambo tajo laju (artinya: aku maju terus), ia tak paham. Hanya kata ambo yang ia mengerti, tapi tajo laju—yang diserap dari Bahasa Aceh—benar-benar asing baginya dan sama sekali tak ia miliki clue untuk sekedar menebaknya.
Sebaliknya, bagi tiga temanku asal Samadua, Aceh Selatan, frasa itu adalah kata asli bahasa mereka, sama seperti lauak sure untuk ikan tongkol, yang lazim bagi mereka tapi tak akan dipahami orang Singkil atau Sibolga—meski mudah ditebak oleh penutur Bahasa Aceh.
Keadaan berbalik ketika ia berbicara Bahasa Singkil Pesisir, temanku itu berubah total. Logat pesisirnya persis. Kata da di ujung kalimat dalam Bahasa Singkil Pesisir begitu lancar ia gunakan. Aku yang sudah bertahun-tahun bermukim di Singkil pun masih kerap kesulitan memakainya secara spontan.
Kata da itu adalah salah satu ciri khas yang membedakannya dari Bahasa Aneuk Jamee di pantai selatan Aceh. Bahkan saat berbahasa Indonesia, orang Singkil sering terbawa, seperti dalam kalimat “itu lah da, udahnya ku bilang tadi da”. Orang-orang berbahasa ibu Aneuk Jamee bisa menirunya, tapi butuh usaha lebih untuk menyamakan intonasinya—sesuatu yang tak perlu dilakukan oleh kawan dari pantai Tapanuli itu.
Kesamaan bahasa ini tentu tak boleh dibaca hanya sebagai kedekatan rumpun etnis antara Singkil dan Sibolga. Pastilah ia mengandung persentuhan kebiasaan, tabiat, dan nilai yang melahirkan ikatan erat, seperti saudara sedarah yang beda kampung dari masa lampau.











