Sengketa di Atas Tanah Musara Blang Padang

Blang Padang
Plang yang dipasang KODAM Iskandar Muda di salah satu sudut Blang Padang, Banda Aceh. Foto diabadikan pada Sabtu (11/3/2023). Komparatif.ID/Muhajir Juli,

Komparatif.ID, Banda Aceh– Berlarut-larutnya sengketa Lapangan Blang Padang, membuat Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset (BPKA) Provinsi Aceh Azhari terbang ke Netherlands—Belanda—demi mencari dokumen tentang kepemilikan tanah seluas 89.802 M ². Perjalanan Azhari melacak jejak didampingi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Aceh (Bappeda) Teuku Ahmad Dadek.

Saat dikonfirmasi oleh kabaraktual.id—anggota SMSI Aceh—pada Kamis (9/3/2023) Dadek mengatakan mereka sedang berada di Jakarta, persiapan terbang ke Belanda.

Lapangan Blang Padang telah lama disengketakan. Pemerintah Aceh dan Kodam Iskandar Muda atas nama TNI-AD 20 tahun sudah berseteru perihal kepemilikan tanah lapang tersebut. Bahkan, TNI-AD telah memasang papan nama yang menyatakan bila tanah itu milik mereka.

Baca: Hukum Mencium istri di Bulan Ramadan

Silang sengkarut kepemilikan tanah itu pernah meletup kembali pada tahun 2018. Sehingga membuat Pangdam Iskandar Muda Mayor Jenderal TNI Abdul Hafil Fuddin angkat bicara kepada pers. Pada Senin (7/5/2018) Mayjen Abdul Hafil Fuddin mengatakan Lapangan Blang Padang merupakan milik TNI-AD KODAM Iskandar Muda.

Abdul Hafil Fuddin mengatakan secara aturan militer, semua aset yang ditinggalkan oleh Belanda atau tempat yang pernah dipergunakan oleh Gubernur Hindia Belanda mutlak menjadi milik TNI tanpa kecuali. Termasuk Pendopo Gubernur Aceh, Anjong Mon Mata, Museum Aceh.

Ia mengatakan pernah menyampaikan kepada Gubernur Aceh Irwandi Yusuf untuk tidak mempersoalkan tanah itu milik siapa. “Tapi mari sama-sama kita Kelola karena ini merupakan milik rakyat Aceh,” kata Hafil Fuddin.

Blang Padang
Sejumlah stand didirikan di Blang Padang. Kawasan seluas 8 hektare tersebut telah lama dikomersilkan. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.

Bukan hanya Irwandi Yusuf yang “memperjuangkan” Blang Padang sebagai Aset Pemerintah Aceh. Tapi Gubernur Zaini Abdullah juga pernah berjuang untuk itu. Akan tetapi sampai sekarang status Blang Padang masih tetap tergantung, dan dikelola sepenuhnya oleh TNI-AD.

Dikutip dari RMOL Aceh, Wakil Ketua DPW Partai NasDem Aceh Thamrem Ananda pada Sabtu (24/9/2022) mengatakan orang yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut yaitu Pj Gubernur Aceh Mayjen TNI (Purn) Achmad Marzuki.

Apakah berangkatnya Kepala BPKA dan Kepala Bappeda Aceh ke Belanda merupakan salah satu bagian dari upaya Achmad Marzuki menyelesaikan silang sengkarut tanah lapang seluas 8 hektare tersebut?

Lapangan Blang Padang merupakan tanah tidak bersertifikat yang terletak di Kelurahan Gampong Baro, Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh. Telah lama disengketakan olah para pihak. Konflik klaim kepemilikan bermula tahun 2003. Namun karena saat itu sedang diberlakukannya Darurat Militer oleh Pemerintah Pusat—semua kewenangan di bawah kendali penuh Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) sehingga upaya pelurusan kepemilikan tidak dapat dilanjutkan.

Farhan Fajar dalam jurnalnya yang dipublikasi di “Jurnal Wahana Bhakti Praja”, Volume 6 Edisi 2, 2016 berjudul Upaya Dalam Penyelesaian Konflik Pertanahan (Studi kasus Konflik Penguasaan tanah Blang Padang Kota Banda Aceh Provinsi Aceh)menuliskan konflik saling klaim berlanjut tahun 2006 yang ditandai dengan pemasangan plang kepemilikan tanah oleh TNI-AD.

Farhan dalam artikel itu menulis pemasangan plang kepemilikan oleh TNI dipicu oleh isu akan dibangunnya mall di atas tanah tersebut.

Blang Padang
Plang yang menegaskan Blang Padang Milik TNI-AD. Foto: Aceh Terkini.

Selanjutnya pada tahun 2009, Pemerintah Aceh mendaftarkan tanah Blang Padang ke Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh guna mendapatkan sertifikat hak pakai atas tanah tersebut.

Beberapa upaya telah dilakukan demi mencari jalan keluar atas saling klaim tersebut, tapi seluruhnya mengalami jalan buntu.

Farhan menyebutkan dalam jurnal ilmiahnya, konflik tanah Lapangan Blang Padang yang terjadi antara Pemerintah Daerah Aceh dengan Pihak TNI-AD C.q. Kodam Iskandar Iskandar Muda merupakan salah satu kasus konflik dari sekian banyak konflik pertanahan yang terjadi di Aceh. Dalam kasus konflik perebutan hak penguasaan atas tanah Blang Padang, pemerintah telah berupaya melakukan fasilitasi antara pihak terkait untuk mencari solusi pemecahannya, mengingat masalah ini telah terjadi dalam jangka waktu yang lama.

Konflik ini sendiri dimulai pada saat mulai berdirinya Kodam Iskandar Muda pada tahun 2003, ditandai dengan adanya saling klaim antara pihak Kodam IM dengan Pemerintah Kota Banda Aceh yang  menurut  masing-masing  pihak  merasa  memiliki  bukti  untuk  memiliki sertipikat hak pakai atas lahan tersebut.

Pihak Kota Banda Aceh melakukan permohonan pensertifikatan atas tanah tersebut sebagai upaya mengamankan aset Pemerintah Kota Banda Aceh secara legal. Di sisi lain, TNI juga melakukan upaya yang sama dalam melindungi aset mereka dengan memasangkan plang bertuliskan “TANAH INI MILIK TNI” dengan tujuan membatasi klaim pihak lain.

Akan tetapi, secara hukum kedua belah pihak belum mempunyai acuan dasar kepemilikan yaitu berupa sertifikat, sehingga sampai saat ini tanah tersebut masih berstatus quo, karena belum keluarnya sertifikat dari BPN. yang

Setelah dilakukan beberapa kali mediasi antara kedua aktor yang terlibat di dalam konflik tersebut, juga belum dapat menghasilkan keputusan apapun yang berakibat status quo atas lahan tersebut yang begitu lama akibat tidak adanya kekuatan hukum.

Atas tidak terselesaikannya permasalahan tersebut, maka pada tahun 2008 Pemerintah Daerah Aceh menarik permasalahan tanah Blang Padang untuk menjadi wewenangnya dari Pemerintah Kota Banda Aceh. Puncak ketegangan atas status tanah tersebut adalah pada tahun 2009.

Tindak lanjut ter-update dalam penyelesaian konflik tanah Blang Padang adalah dengan dilakukannya pertemuan/media  komprehensif  di  Badan  Pertanahan  Nasional  RI  Jakarta pada tanggal 22 Juli 2010 yang bertujuan untuk membuktikan keabsahan dari bukti masing- masing pihak.

Pemerintah Daerah Aceh dalam kesempatannya menyampaikan bukti-bukti yuridis dan data fisik yang telah dikumpulkan. Sedangkan dari pihak TNI yang bernaung di bawah Kementerian Pertahanan menyanggah hal tersebut dengan menyampaikan bukti sanggahan atas dasar bukti dari Pemerintah Daerah Aceh sesuai Surat Sanggahan Departemen No. B/1251/09/27/847/Ditkon tanggal 14 Desember 2009 dan Surat TNI AD Kodam IM No. B/1945/XII/2009 tanggal 15 Desember 2009 disertai lampiran dasar hukum penguasaan tanah tersebut.

Dalam  kurun  waktu  sejak  pertemuan  tersebut  dilakukan,  belum  juga  menghasilkan suatu tindakan apa pun, dan membuat status tanah tersebut masih mengambang.

5 Masalah di Lapangan Blang Padang

Farhan menyebutkan sampai saat ini ada 5 masalah di Blang Padang yang terus memicu ketegangan. Pertama,perbedaan  pandangan  atau  penilaian  tentang  status  tanah,  status  hak  atas  tanah, keberadaan/sejarah tanah. Selain itu, berkaitan dengan perbedaan fungsi peruntukan dan perbedaan kebutuhan yang diupayakan untuk diwujudkan.

Kedua, pemasangan plang bertuliskan “Tanah ini milik TNI” dan plakat-plakat Kodam Iskandar Muda. Pemasangan plang dilakukan Tahun 2006, yang dilakukan oleh Kodam Iskandar Muda. Hal ini dilakukan untuk pengamanan aset negara yang diklaim milik TNI dan juga karena penginventaris sepihak oleh TNI dengan mendaftarkan Tanah Blang Padang ke dalam Inventaris Kekayaan Negara.

Baca: Pembantaian Teungku Bantaqiah di Beutong Ateuh

Ketiga, keterbatasan akses terhadap penggunaan lapangan Blang Padang. Keterbatasan ini dibuktikan dengan pemasangan portal pembatas di tiap pintu masuk ke lapangan Blang Padang.

Keempat, niat Pemerintah Daerah Aceh untuk mensertifikatkan tanah Blang Padang pada tahun2009 yang termuat di dalam koran Serambi Indonesia, tanggal 5 Desember 2009 dan kemudian mendapat sanggahan dan lampiran bukti-bukti dari TNI-AD c.q. Kodam Iskandar  Muda  melalui  suratnya  Nomor  B/1945/XII/2009  tanggal  15  Desember 2009, perihal Sanggahan dan keberatan atas permohonan hak pakai tanah lapangan Blang Padang oleh Gubernur Aceh dan Surat Kementerian Pertahanan RI nomor B/1251/09/27/847/Ditkon tanggal 14 Desember 2009 perihal sanggahan terhadap rencana penerbitan sertipikat HP a.n. Pemprov Aceh atas tanah lapangan Blang Padang.

Kelima, adanya double di dalam inventarisir aset, yang mana tanah Blang Padang ini telah terdaftar di dalam daftar aset Pemerintah Aceh pada Kartu Inventaris Barang (KIB) A tentang Tanah-tanah Asset Pemerintah Aceh dengan Nomor Register 0001 dan Nomor Kode Barang 01.01.13.01.12 dan juga terdaftar pada Inventaris Kekayaan Negara No.30101027.

Lalu, dapatkah keberangkatan Azhari dan Teuku Ahmad Dadek ke negeri Belanda menghasilkan sebuah jawaban kongkrit? Beberapa pihak pesimis, namun ada juga yang optimis.

Blang Padang Milik Masjid Raya Baiturahman

Namun beberapa pihak mengajukan pendapat bahwa aset Pemerintah Hindia Belanda dan tempat yang pernah mereka duduki tidak serta merta dapat dianggap sebagai miliknya TNI. Mengapa? Karena setelah Jepang kalah di front pasifik dan Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka, Aceh telah menjadi satu-satunya daerah bebas pengaruh Sekutu yang membonceng NICA.

Bahkan Aceh merupakan daerah yang menjadi modal Republik di awal kemerdekaan. Andaikan Aceh berhasil diduduki oleh Sekutu, maka Republik Indonesia tamat riwayat dalam usia sangat belia. Dalam perang mempertahankan kemerdekaan, pejabat-pejabat tinggi Republik  termasuk perwira militer menjadikan Aceh sebagai rumah tempat mereka mengibarkan merah putih.

Baca: Aceh Menyelamatkan Indonesia yang masih Seumur Jagung

Alasan lainnya, secara turun temurun diakui bahwa Lapangan Blang Padang merupakan tanah wakaf yang diberikan kepada Masjid Raya Baiturahman. Kedudukan tanah wakaf di dalam hukum Islam sangat jelas, tidak bisa diotak-atik lagi, meskipun dengan dalih nasionalisme.

Karel Frederik Hendrik Van Langen—seorang PNS Belanda yang pada 1879 diperbantukan di Kantor Gubernur Aceh dan daerah taklukannya; Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Tengah, dalam buku De Inrichting Van Het Atjehschee Statbestur Onder Het Sultanaat yang terbit pertama kali pada 1898, menyebutkan bahwa Blang Padang dan Blang Punge merupakan umeung musara (tanah wakaf) Masjid Raya Baiturahman yang tidak dapat diperjualbelikan atau dijadikan harta warisan, atau tidak ada pihak yang dapat menganggu gugat status keberadaan hak miliknya. Umeung musara didedikasikan sebagai harta Masjid Raya Baiturahman, dan dipergunakan seluas-luasnya untuk kepentingan ekonomi masjid tersebut.

Artikel SebelumnyaAspirasi Tak Dihargai, Pengurus DPC PDIP Aceh Timur Mundur Massal
Artikel SelanjutnyaMohammad Hasan, dari Iskandar Muda Aceh Ke Pangdam Jaya
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

7 COMMENTS

  1. Sudah jelas tanah wakaf ini milik masjid raya baiturahman artinya jgn diganggu gugat lg atau d kuasai secara sepihak.Mungkin para pejuang aceh dlu mempertahankan tanah blang padang ini sepenuhnya utk rakyat aceh, mri kta jga scra bersama.

  2. Bek mayang2 ngen Tanoh wakaf nyan…mepalo ludo ..salah ta kelola mepalet ujong…nyan masalah akhirat Ken Donya..belehet ngen Tanoh wakaf yang po Tanoh kaleh gewakaf kemasjid raya..lon Hana mampu ya Allah bah urengnyo y peglah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here