Sembari Mengudap Bada, Seniman MaSA Bicara Masa Depan Bahasa Aceh

Sembari Mengudap Bada, Seniman MaSA Bicara Masa Depan Bahasa Aceh
Bincang-bincang para seniman dan budayawan Majelis Seniman Aceh (MaSA) di Warung Kopi Cut Ayah, di bilangan Pango, Banda Aceh. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Sejumlah penggiat kesenian dan budaya yang berhimpun dalam Majelis Seniman Aceh (MaSA) berkumpul di sebuah warung kopi di Banda Aceh. Sembari mengudap bada (pisang goreng) mereka membahas masa depan bahasa Aceh.

Senin, 25 Agustus 2025, satu persatu para seniman dan budayawan datang ke Warung Kopi Cut Ayah, di bilangan Pango, Banda Aceh. Mereka datang ke sana, memenuhi undangan Sekretaris Jenderal MaSA, Teungku Thayeb Loh Angen, seorang eks kombatan GAM yang setelah damai memilih jalan menapaki ruang kebudayaan.

Ketika Komparatif.ID datang untuk ikut nimbrung dalam diskusi tersebut, telah hadir terlebih dahulu Thayeb Loh Angen. Kemudian komposer sekaligus musisi dan singer; Moritza Thaher. Janggut pria berambut panjang tersebut, seluruhnya telah memutih.

Dari kalangan budayawan perempuan, Linda juga telah datang. Setelah itu Iskandar Norman alias Nyak Kaoy turut bergabung. Pria necis yang sering memakai celana kain dan baju kemeja lengan panjang itu tampil seperti biasa; rapi. Dia lebih mirip jajaran eksekutif perusahaan ketimbang jurnalis dan penulis.

Secara berangsur-angsur datang Ketua Umum MaSA, Chairiyan Ramli, budayawan senior Nab Bahany, penggiat budaya dan industri kreatif Salam Sahud, Yusuf Bombang alias Apa Kaoy, Zulfadhli Kawom vokalis Bink-Vho, Jauhari Samalanga, Medya Hus, dan masih banyak lagi.

Dari kalangan perempuan bertambah lagi dengan kehadiran Rahmatan alias Matan, aktivis perempuan, sekaligus mantan aktivis mahasiswa ketika masih kuliah di IAIN Ar-Raniry. Saat konflik Aceh ia bergabung dengan Front Mahasiswa Islam Daerah Istimewa Aceh (Farmidia), sebuah organisasi ekstra kampus, yang secara ideologi politik lebih condong kepada perjuangan GAM.

Kemudian hadir Nura, seorang budayawan yang cukup terkenal di kalangan penggiat budaya dan seni di Aceh.

Baca juga: Grup Musik Bink-Vho, Duta Aceh di Tanah Rantau

Pertemuan itu bersifat informal. Tapi bukan berarti tidak serius. Sembari menyeruput kopi pancung dan mengudap bada seu-um (pisang goreng panas) mereka berdialektika tentang tantangan bahasa Aceh di tengah disrupsi budaya dan pengaruh perkembangan zaman.

Sebagai moderator diskusi, Moritza Thaher secara bergilir mempersilakan peserta diskusi menyampaikan isi pikirannya tentang apa yang sedang berlangsung, dan apa yang harus dilakukan untuk menjaga bahasa Aceh supaya tetap lestari dan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.

Iskandar Norman yang pertama kali diberikan kesempatan mengajukan wacana, menyampaikan untuk menyelamatkan bahasa Aceh, dapat dilakukan dengan cara membuat kamus arkais. Di sana dihimpun kata-kata dalam bahasa Aceh yang sudah tidak lagi digunakan, atau sudah mulai jarang digunakan.

Nab Bahany selaku seorang budayawan sepuh di Aceh, memberikan pandangannya tentang kondisi bahasa Aceh saat ini. Hasil penelitian UNESCO dan BRIN telah menjadi gambaran utuh betapa bahasa Aceh sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

Ia juga menukil tentang teknik penulisan dalam tulisan latin. Apakah harus menggunakan diakritik ataukah tidak? Seminar bahasa yang pernah digelar di Universitas Syiah Kuala menyepakati bahwa dalam penulisan bahasa Aceh menggunakan huruf latin, harus menggunakan diakritik. Tapi dalam seminar yang digelar di IAIN, justru lahir kesimpulan berbeda. Penulisan bahasa Aceh tidak memerlukan penggunaan diakritik.

Nab Bahany mengusulkan, bila memungkinkan MaSA membuat riset di sejumlah kabupaten, untuk mengukur tingkat penggunaan bahasa Aceh di kalangan masyarakat.

Zulfadli Kawom mengajukan argumen bahwa bahasa Aceh pertama kali dibuatkan dalam bentuk kamus oleh Frederick de Houtman, seorang penjelajah asal Belanda, saat pelaut itu ditahan oleh Kerajaan Aceh di Pidie pada tahun 1599, setelah kedatangan mereka ke Aceh menimbulkan sengketa. Abang kandungnya, Cornelis de Houtman terbunuh dalam pertempuran melawan pasukan militer Aceh yang dipimpin Laksamana Keumalahayati.

Kamus yang dibuat oleh Frederick de Houtman dalam huruf latin, tidak menggunakan diakritik. Tapi cukup penting sebagai upaya orang negeri Atas Angin mencatatkan kosa kata bahasa Aceh.

Naskah-naskah Aceh masa itu banyak ditulis dalam bahasa Melayu menggunakan aksara Arab. Dikenal dengan tulisan Jawoe. Karena bahasa Aceh memiliki banyak bunyi, dan keterbatasan huruf Hijaiyah, maka untuk huruf tertentu, diberi aksen khusus.

Orang pertama yang menggunakan diakritik dalam penulisan bahasa Aceh, yaitu Cristian Snouck Hurgronje, orientalis Belanda, yang di Aceh dikenal dengan sebutan Teungku Puteh.

Dalam diskusi itu juga mengemuka bahasa Aceh selain memiliki dialek yang sangat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, juga terdapat bahasa-bahasa lain seperti Bahasa Gayo, Bahasa Jamee, Bahasa Kluet, Haloban, dan lain-lain.

Sebagai langkah sederhana, Rahmatan mengajak hadirin merawat bahasa dengan cara bertutur dengan anak-anak di rumah masing-masing. Seluruh peserta sepakat. Tapi bukan bermakna dapat diaplikasikan seluruhnya.

Jauhari Samalanga salah satu yang anak-anaknya bisa berbahasa Aceh di luar, tapi di rumah harus berbahasa Indonesia, karena istri Jauhari merupakan boru Batak.

Kehidupan di kota-kota di Aceh juga menjadi tantangan besar. Karena hampir semua hal menggunakan bahasa Indonesia.

Pertemuan tersebut bermuara pada beberapa kesimpulan. Yaitu mulai melakukan advokasi melalui media-media yang mudah dijangkau, seperti menulis kata dan kalimat pada kaos, menulis lirik lagu menggunakan bahasa Aceh yang baik dan benar, menulis artikel di platform cetak dan digital, dan lain-lain.

“Kesimpulan ini untuk MaSA saja dulu,” kata Chairiyan Ramli. “Perihal apakah menggunakan diakritik atau tidak, terserah saja, yang penting penggunaan bahasa Aceh semakin serius dilakukan,” imbuhnya.

Pertemuan itu diakhiri 15 menit sebelum kumandang Azan Magrib. Satu persatu peserta pamit. Sebagian memilih menunda pulang, dan salat Magrib di Cut Ayah, karena ada keperluan lain yang harus dilakukan.

Bada-bada di dalam piring plastik telah habis, kopi pancung tersisa di pangkal gelas. Semua pulang dengan harapan masing-masing, semoga bahasa Aceh menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.

slot gacor hari ini

Artikel SebelumnyaSkema PPPK Paruh Waktu Banda Aceh Dinilai Jadi Solusi Realistis
Artikel SelanjutnyaMengenang 1 Tahun Kepergian Tu Sop
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

1 COMMENT

  1. > Nab Bahany mengusulkan, bila memungkinkan MaSA membuat riset di sejumlah kabupaten, untuk mengukur tingkat penggunaan bahasa Aceh di kalangan masyarakat.

    Ngapain diukur? lihat saja karya tulis ahli-ahli bahasa di aceh. cek saja hasil jurnal, tesis, disertasi, buku yang diterbitkan mereka. hasilnya? berantakan. klo yang ahli-ahli bahasa aja berantakan, apalagi masyarakat.

    kamus bahasa aceh pun, mana ada yang terjemahannya literal/harfiah. semuanya “konteks”.

    bahkan “durie” yang dikultuskan sebagai “ahli” bahasa aceh saja, tulisan bahasa acehnya beratakan, bisa dimaklumi karena orang asing. ini orang aceh, ahli bahasa yang paham linguistik pun, tulisan bahasa aceh masih juga berantakan.

    daripada sibuk ngurusin yang di bawah, mending perbaiki dulu lah itu ahli-ahli bahasa tulisan bahasa acehnya.

    bahkan dari segi tulisan pun, ada yang tulis pakai “dialek”/”standar nggak resmi” umum bahasa aceh, ada juga yang tulis pakai dialek pidie.

    > bahasa Aceh selain memiliki dialek yang sangat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, juga terdapat bahasa-bahasa lain seperti Bahasa Gayo, Bahasa Jamee, Bahasa Kluet, Haloban, dan lain-lain

    Dialek itu sebenarnya nggak penting-penting kali, selama penulisannya “satu standar”, sama kya orang ngomong bahasa inggris, terserah dia mau ngomong pake dialek apa. selama tulisan “satu standar”. masalah bahasa aceh itu, udah standar tulisan nggak ada, orang tulis pun pakai dialek mereka masing-masing.

    >“Kesimpulan ini untuk MaSA saja dulu,” kata Chairiyan Ramli. “Perihal apakah menggunakan diakritik atau tidak, terserah saja, yang penting penggunaan bahasa Aceh semakin serius dilakukan,” imbuhnya.

    ini lucu juga. jadi bisa dilihat kemampuan sdm di aceh memang pengen yang mudah aja, karena mereka pikir tulis pake diakritik itu sulit. padahal lebih mudah bikin diakritik di smartphone daripada di ms-word.

    > iskandar Norman yang pertama kali diberikan kesempatan mengajukan wacana, menyampaikan untuk menyelamatkan bahasa Aceh, dapat dilakukan dengan cara membuat kamus arkais

    yang perlu sekarang, kamus bahasa aceh per dialek, karena ada yang masuk ke “bahasa aceh kasar” ada yang masuk ke “bahasa aceh halus” daerah barat lebih aneh lagi kosakatanya. jadi satu sama lain saling menutupi, ada di dialek sini, nggak ada di dialek sana, jadi bisa digabung untuk dipakai di kondisi-kondisi tertentu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here