Sebelum Ibu dan Ayah Pergi, Pulanglah!

Ayah dan ibu
Ilustrasi ayah dan ibu.

Setelah ibu pergi, Ibrahim (50) hanya dapat menyesali masa lalunya. Ia terlalu larut dalam pikiran belum punya cukup uang untuk menjenguk sang bunda di kampung halaman. Pria dua anak yang meninggalkan kampung halaman pada usia belasan tahun, hanya pulang empat kali sejak merantau ke luar negeri.

Tahun 1990-an ia pernah pulang. Saat itu orangtuanya masih lengkap. Keponakannya masih kecil-kecil. Anak tertua dari adiknya, baru kelas 2 SD. Itu adalah kepulangan pertama setelah berkali-kali Lebaran ia hanya mengirimkan kartu ucapan selamat Idulfitri dari tanah seberang, lengkap dengan album foto tentang dirinya.

Orangtua Ibrahim sangat senang ketika sang putra pertama mengucapkan salam di pagar rumah kayu lusuh. Mereka menghambur ke halaman menyambut kedatangan sang cahaya mata.

Baca: Cut Fitri Yanti: Srikandi Bireuen dari Balap Sepeda

Ia tidak pernah pulang lagi setelah pergi ketika Aceh sedang dihumbalang konflik tak terperi. Ibunya yang renta hanya dapat mendengar kabar melalui telepon. Sebagai ibu ia tetap tak ingin membuat anaknya risau. Selalu saja hanya kabar bahagia yang dibagi. Tentang sakitnya, rindunya, gelisahnya, tak pernah diberitahu.

Setahun lalu, perempuan itu menutup mata untuk selamanya. Ia pamit dari kehidupan dunia, dengan menanggung rindu tak terperi. Ia digerogoti penyakit, dan diguncang usia yang kian ringkih. Pada sebuah malam yang dingin, ia mengembuskan nafas terakhir. Rindu yang ia tanggung tak bermuara.

Sang ibu sesungguhnya sangat menginginkan Ibrahim pulang. Ia tak butuh uang dari sang putra. Ia tak butuh kemewahan. Cukuplah baginya gubuk peninggalan sang suami sebagai tempat berteduh. Cukuplah baginya rumah kecil itu sebagai wahana merawat kenangan.

Rumah yang ia tempati, sangatlah mewah baginya. Di sanalah dulu ia melayani suami dan membesarkan ketiga anaknya. Di rumah itu ia menyimpan beratus ton kenangan, berjuta kisah, menumpuk dalam gubuk beratap daun kelapa.

Ia hanya ingin Ibrahim pulang untuk menjenguknya. Memeluknya, dan merebahkan kepala di pangkuannya. Hanya itu yang ia rindukan. Bukankah itu pula yang selalu dilakukan Ibrahim kala masih belia, memeluk ibunya dan merebahkan tubuh di pangkuan ibu bila malam tiba.

Sang ibu pernah menyampaikan rasa cemburu kepada tetangga. Ia menyebut tetangganya beruntung. Karena selalu dijenguk oleh anak-anaknya. Selalu dikunjungi cucu-cucunya. Setiap Lebaran, rumah sang tetangga selalu ceria, meriah, dan penuh suara tawa orang dewasa, dan tangis anak-anak yang berebut mainan.

“Saya sebetulnya cemburu kepada Kak Ti. Seringkali dikunjungi olah anak, menantu, dan cucu. Bahkan mereka selalu berkumpul di rumah bila Lebaran tiba. Saya hanya bisa cemburu saja. Ibrahim tak pernah pulang. Ita bilapun berkunjung, hanya sebentar. Doraman demikian juga. Anak dan istrinya tidak pernah berlama-lama di gubuk saya,” keluh ibu Ibrahim kepada Ti.

Setahun setelah dialog itu, Ti meninggal dunia. Ibu Ibrahim berharap ada keajaiban. Anak-anaknya akan menaruh perhatian lebih kepadanya. Namun, dari bulan ke bulan, tak ada perubahan. Mereka tak kunjung menjadikan dirinya sebagai prioritas dalam hidup.

Setahun lalu ia telah pun berpulang. Membawa segenap duka dan beribu ton rindu yang tak pernah sampai ke pelabuhan.

Kini Ibrahim hanya mengutuki diri. Mengapa selalu saja ada alasan ketika ia hendak pulang kampung. Kini, bilapun pulang untuk apa? Ibunya telah mati. Haruskah ia melihat pusara itu? Ah, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna.

Ibu, Ayah dan Kesempatan

Hus (46) bertahun-tahun tak pulang kampung, meskipun jaraknya hanya ratusan kilometer. Ia beralasan malu pulang karena tak punya uang. Ia malu bertemu saudara-saudaranya yang lain. Ia berkali-kali mengabaikan rasa ingin pulang bertemu ibu.

Suatu hari ibunya jatuh sakit. Sakitnya teramat berat. Saudara-saudaranya menyimpulkan bila nyawa sang ibu tak akan lama lagi.

Ia akhirnya pulang setelah ibunya masuk rumah sakit. Ketika sang ibu selesai operasi, nama pertama yang ditanya adalah Hus. Demikian juga hari-hari selanjutnya selama di rumah sakit. Bila Hus yang menjaga, sang ibu selalu bercerita banyak tentang masa lalu. Cerita ketika Hus masih kecil. Ia benar-benar meluahkan rindu kepada sang anak pertama.

Beberapa hari kemudian, kesehatannya kembali drop. Ia hilang kesadaran. Ia seperti ingin pamit pulang ke alam barzah, tapi ada yang dirindukan ingin bertemu. Ketika Hus datang menemuinya, langsung saja sang ibu mengembuskan nafas terakhir dengan teramat tenang.

Dua kisah itu—Ibrahim dan Hus—adalah cuplikan berbagai kisah yang pernah saya dengar dan lihat. Tentang bunda yang rindu dan anak-anak mereka yang merantau tapi kemudian “lupa” kepada kampung halaman karena berbagai alasan.

Saya teringat sebuah kata bijak yang sangat menarik. Saya lupa entah di mana saya menemukannya. “Satu-satunya yang dirindukan ibu adalah anak-anaknya. Ia tak peduli berapa uang yang dimiliki oleh anak. Pada hari baik dan bulan baik, yang ia rindukan adalah anak-anaknya ada di rumah. Menikmati masakannya, sembari bercerita tentang masa kecil mereka. Hanya itu yang ia rindukan.”

Saya menyaksikan betapa banyak tangisan berhulu ledak tinggi, pecah di depan jenazah. Atau pecah di depan pusara. Tangisan rindu dan kecewa karena tak sempat bertemu dengan orangtua kala mereka masih bernyawa.

“Berkali-kali panggilan hati kuabaikan. Selalu ada alasan menunda pulang. Akhirnya, aku pulang juga, tapi ibu sudah tak ada. Ia telah menyusul ayah ke alam barzah. Lalu, aku pulang untuk apa? Untuk bertemu dengan para pelayat?” sebut seorang lelaki yang kecewa mengapa pulang justru ketika ibunya pamit dari kehidupan dunia. Padahal ia punya semuanya. Uang, kesehatan. Ia hanya tak punya cukup waktu.

Keluh sang lelaki mengingatkan saya pada orang-orang yang pulang kampung jelang Lebaran. Di jalan, saya seringkali bertemu dengan orang yang mudik menggunakan becak. Ada yang bahkan menggunakan becak barang. Anak, istri, pakaian, ditaruh di atas becak. Wajah-wajah lelah itu tampak bahagia. Saya memahami kebahagiaan itu. Mereka akan bertemu dengan orang-orang tercinta di kampung halaman.

Saya yakin bila mereka tak punya uang banyak. Tak punya kendaraan layak. Tak juga waktu yang banyak. Semakin miskin, bertambah berharga waktu untuk mengumpulkan pundi rupiah. Tapi, mereka tahu, ada yang tak ada diulang. Kesempatan.

Pulang kampung—mudik—bukan tentang berapa banyak uang yang kita bawa. Tapi tentang betapa bermaknanya kampung halaman, karena orang-orang tercinta umumnya bermukim di sana. Tentang orangtua, abang, kakak, adik, makcik, miwa, sepupu, dan lain sebagainya. Lebaran setahun dua kali. Mudik setahun sekali. Pulanglah.

Artikel SebelumnyaCut Fitri Yanti, Srikandi Bireuen dari Balap Sepeda
Artikel SelanjutnyaWow! Umuslim Peringkat Ketiga Universitas Terbaik di Aceh
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here