Waktu terasa berjalan sangat cepat. Sepertinya baru kemarin dunia sepakat meluncurkan Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2015, dan sekarang sudah sepuluh tahun berlalu. Tanpa disadari, kita hanya punya lima tahun lagi menuju 2030, batas waktu untuk mewujudkan pembangunan yang adil, inklusif, dan ramah lingkungan.
Pada awalnya, Penulis menganggap SDGs sebagai hal yang hanya berkaitan dengan pemerintah atau lembaga internasional. Namun, setelah mempelajarinya lebih dalam, Penulis mulai memahami bahwa tujuan-tujuan tersebut sesungguhnya memiliki keterkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari.
Kebiasaan sederhana seperti menghemat air, memilah sampah, atau mendukung kesetaraan dan pendidikan, semuanya adalah bagian dari 17 tujuan dunia yang ingin memastikan tidak ada yang tertinggal.
Setelah satu dekade berjalan, SDGs Indonesia menunjukkan capaian yang patut diapresiasi. Berdasarkan laporan Kementerian PANRB pada November 2024, Indonesia telah mencapai sekitar 62,5 persen target SDGs 2030, capaian tertinggi di Asia.
Angka itu menunjukkan bahwa berbagai kebijakan pembangunan, mulai dari penanggulangan kemiskinan hingga penguatan pelayanan kesehatan dan pendidikan, mulai menunjukkan hasil.
Namun demikian, tantangan masih besar. Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia Volume 8 (2024) mencatat masih banyak pekerjaan rumah di bidang lingkungan, energi bersih, dan kesetaraan gender (BPS, 2024).
Artinya, meski telah banyak kemajuan, perjalanan kita menuju pembangunan berkelanjutan masih panjang.
Selain itu, dampak perubahan iklim kini semakin terasa di sekitar kita. Cuaca yang tidak menentu, bencana alam yang lebih sering terjadi, hingga krisis air bersih di beberapa wilayah menunjukkan bahwa upaya menjaga keseimbangan bumi tidak bisa ditunda lagi.
Jika dulu isu lingkungan terasa jauh dari kehidupan sehari-hari, kini ia menjadi bagian dari realitas yang kita hadapi. Karena itu, penting untuk menumbuhkan kesadaran bahwa setiap tindakan kecil memiliki arti besar dalam menjaga masa depan.
Menariknya, pemerintah, melalui SDGs Action Awards 2025 yang digagas Bappenas mulai memberi ruang bagi kontribusi masyarakat dalam mempercepat pencapaian SDGs.
Langkah ini penting, karena keberlanjutan tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab negara. Semua pihak, termasuk kita sebagai warga, memiliki peran untuk turut terlibat.
Partisipasi masyarakat bisa datang dari mana saja. Mulai dari komunitas kampus yang mengadakan kegiatan daur ulang, kelompok muda yang mengedukasi tentang gaya hidup berkelanjutan, sampai usaha kecil yang memilih bahan baku lokal dan ramah lingkungan.
Bentuknya mungkin sederhana, tapi dampaknya nyata. Ketika semakin banyak orang terlibat, semangat kolektif itu bisa menciptakan perubahan sosial yang lebih luas.
Menjadi generasi yang peduli adalah kebanggaan tersendiri, karena dari rasa peduli itulah tumbuh semangat untuk ikut terlibat dan berbuat sesuatu bagi perubahan. Mungkin kita tidak bisa langsung mengubah kebijakan besar, tapi kita bisa berkontribusi melalui tindakan kecil yang konsisten.
Misalnya, memilih transportasi umum, mendukung produk lokal yang berkelanjutan, atau aktif dalam komunitas lingkungan. Hal-hal sederhana ini, jika dilakukan bersama, bisa membawa dampak besar untuk masa depan.
Selain memberi manfaat bagi bumi, gaya hidup berkelanjutan juga menciptakan rasa tenang karena kita tahu sedang melakukan sesuatu yang berarti. Ada kepuasan tersendiri saat sadar bahwa langkah kecil kita berkontribusi pada sesuatu yang lebih besar. Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, sikap peduli ini menjadi bentuk keberanian untuk tetap berpihak pada masa depan.
Lima tahun ke depan akan menjadi masa yang menentukan. Apakah Indonesia mampu mencapai tujuan SDGs atau justru tertinggal, sangat bergantung pada partisipasi kita hari ini. Bagi Penulis, berbicara tentang pembangunan berkelanjutan bukan lagi soal teori global, melainkan tentang upaya menciptakan kehidupan yang lebih layak bagi diri kita dan generasi berikutnya.
SDGs memang lahir di ruang konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun keberhasilannya juga bergantung pada tindakan nyata di dapur, di sekolah, dan di jalanan kota kita. Sebelum 2030 tiba, semoga kita semua—pemerintah, masyarakat, dan individu—dapat melangkah bersama menuju bumi yang adil, hijau, dan berkelanjutan.












