Saiful Amri, Anak Transmigran yang Jadi Guru Negara

saiful amri
Saiful Amri, berkat ketekunan dan kerja keras, kini ia menjadi guru negara. Foto: Dok. Saiful.

Guru bukan cita-cita Saiful Amri. Dia tidak pernah bermimpi menjadi guru di dalam kelas. Kenekatannya merantau ke Banda Aceh, membawa dia kuliah di IAIN Ar-Raniry.

Saiful Amri lahir pada 12 Juni 1980. Dia merupakan anak ketiga dari enam bersaudara, buah cinta pasangan Muhammad Hasan-Fatimah. Mereka bermukim di Gampong Juli Keude Dua, Bireuen.

Sejak kecil Saiful Amri telah menunjukkan diri sebagai anak yang phui tuleung (rajin). Dia tidak sekalipun menolak bila diajak membantu kedua orangtuanya.

Sekolah pertamanya Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Juli Keude Dua. Saat duduk di bangku kelas empat, dia mulai membantu orangtuanya di kebun. Setiap pulang sekolah, Saiful Amri berangkat ke ladang. Di sana pria kurus tersebut membantu ayahnya menyiram cabai dan semangka. Cabai dan semangka merupakan komoditi yang dijadikan tulang punggung ekonomi keluarga.

Baca: Marzuki Juli, Pejuang yang Berpulang di Tengah Pengabdian

Setelah lulus pendidikan tingkat dasar, dia didaftarkan ke SMP Negeri Juli—lebih dikenal dengan sebuatn SMP Juli, yang beralamat di kilometer 5, jalan Bireuen-Takengon.

Karena dianggap sudah remaja tanggung, Fatimah memberikan tugas baru kepada putranya. Seusai Subuh, Saiful Amri ditugaskan mengantarkan pulut panggang ke warung-warung kopi.

Dengan mengayuh sepeda, Saiful mengantar pulut buatan ibunya ke warung kopi di Gampong Tambo Tanjong, Alue Unoe, Meulasah Seupeng, dan Meunasah Lampoh. Seluruh desa itu berada di seputar Keude Dua.

Setelah menyelesaikan tugasnya, dia pulang, mandi, sarapan, dan mengayuh sepeda menuju sekolah yang berjarak 1,5 kilometer dari rumahnya.

Ia menamatkan SMP dalam jangka tiga tahun. Kemudian melanjutkan ke SMA 3 Jeumpa, yang saat itu kampusnya berada di dekat Masjid Agung bireuen. Sebagian gedung SMA 3 Jeumpa tersebut merupakan bekas SPG Bireuen.

Baca: Sejarah Al Ichlas Djuli, Mati Suri Atau Telah Pergi?

Setelah pulang sekolah, pria bertubuh sedang tersebut, berjualan rokok eceran di kios kecil di samping rumah. kiosnya bersampiran dengan Warkop Bang Saifan. Sembari menjual rokok, ia juga membantu di warkop tersebut.

Beberapa tahun sebelumnya, Muhammad Hasan didaftarkan sebagai salah satu kepala keluarga di ditempatkan sebagai warga transmigrasi lokal di kilometer 19, Gampong Krueng Simpo.

Saiful juga sering berkunjung ke sana bila libur sekolah tiba. Dia sangat senang melihat sauna lokasi transmigrasi. Apalagi bisa berkenalan dengan warga transmigran yang didatangkan dari Pulau Jawa.

Setelah lulus SMA, pada tahun 1999 dia nekat merantau ke Banda Aceh. Saat itu dia belum memiliki tujuan. Hal yang paling penting pergi dulu, apa yang akan dilakukan, dicari kemudian.

Di Banda Aceh dia diberi tempat tinggal di kediaman H. Nurdin Ishak. Pria tersebut merupakan abang sepupunya Saiful.

Tatkala sedang berpikir akan melakukan apa di perantauan, H. Nurdin mendaftarkan Saiful ke Balai Latihan Kerja. Harapannya, bila lulus nanti bisa mendapatkan kesempatan bekerja ke Jepang.

Dengan semangat 45 dia berlatih dengan penuh kesungguhan. Enam bulan di BLK tidak terasa sudah terlampaui. Saat paling mendebarkan pun tiba. Dengan perasaan campur aduk ia menanti pengumuman.

Sayangnya, karena kekurangan berat badan, Saiful dinyatakan tidak lulus. Dia pulang dengan perasaan galau, tapi tidak kecewa. Dirinya menyadari bila berat badan merupakan masalah serius yang ia hadapi. Tubuhnya memang kurus. Mungkin sudah setelah pabrik.

Ke Jepang boleh gagal, tapi hidup bukan untuk gagal. dunia tidak ramah bagi yang malas. Dua tidak menjulurkan tangan memeluk, untuk siapa saja yang enggan bekerja keras.

Saiful tidak membiarkan jiwanya berlarut dalam kegalauan. Setelah gagal berangkat ke Jepang dia segera mencari jalan lain, supaya kehidupan ekonominya menjadi lebih baik.

Dia pun mencari cara bagaimana dapat menghasilkan uang. Akhirnya dia diterima bekerja sebagai pramuniaga di sebuah tempat penjualan baju anak-anak di Jalan Teungku Chiek Pante Kulu, belakang Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.

Tidak lama bekerja, dia pun memberanikan diri berdagang sendiri di kaki lima, di lokasi yang sama. Persaingan di sana cukup ketat. Apalagi ada Aceh Shopping Center yang sangat terkenal waktu itu.

Saiful menjual baju anak-anak. Dia mengambil barang pada grosis besar di Bireuen. dengan teknik bloe siploh pulboe sikureung, lam ruweung mita laba. Tiap baju yang ia jual, dia hanya mengambil untuk Rp500.

Harga murah, kualitas bersaing, pelayanan ramah, membuat Saiful jadi idola ibu-ibu kelas menengah ke bawah yang berbelanja pakaian anak-anak. Perputaran uangnya sangat lancar.

Dia mengikuti Sipenmaru IAIN Ar-Raniry, mengambil jurusan D-II Pendidikan Agama Islam. Saiful Amri mengambil jurusan diploma dua karena kuliah tersebut merupakan hasil kerja sama dengan Dinas Transmigrasi Aceh.

Sebagai anak transmigran lokal, ia diberikan kesempatan kuliah di jurusan tersebut, dengan perjanjian, bila lulus harus mengabdi di lokasi transmigrasi di tempat ia tercatat sebagai salah satu keluarga transmigran.

“Kuliah itu tahun 2002. Saya ingat betul itu. Ada perjanjian bahwa setelah lulus harus pulang mengajar di SD di lokasi transmigrasi,” kata Saiful Amri, Minggu (26/5/2024).

Ia lulus kuliah tanpa kendala. Tapi SD penempatan dirinya telah kosong, karena warga transmigran dari Jawa telah eksodus ke luar Aceh karena konflik bersenjata antara GAM dan Pemerintah semakin parah.

“Sekolah itu dirusak warga dan warga transmigran pulang ke Jawa,” kenang Saiful Amri.

Pun demikian, ia tetap pulang ke kampung halaman setelah tsunami. Dirinya mendaftarkan diri sebagai guru honorer di almamaternya MIN Juli Keude Dua. Pilihan dirinya pulang cukup tepat. Tahun 2007 dia lolos seleksi sebagai guru negeri. Dia pun berstatus PNS.

Kini Saiful Amri telah bermukim di Banda Aceh. Mengajar di MIN Lambhuk. Tahun 2015 melanjutkan kuliah di Universitas Muhammadiyah Aceh. Saiful Amri tetap mengambil jurusan yang sama. Kini di belakang nama anak tramsigran tersebut telah bertengger gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I).
Artikel SebelumnyaBusana Muslim Khas Aceh Dipamerkan di Jakarta
Artikel SelanjutnyaAnton Stolwijk, The Story of the Arrival & Expulsion of the Dutch in Aceh
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here