Di banyak negara monumen perang didirikan. Bekas tempat kebiadaban pernah terjadi, diberi tanda. Dirawat dan kemudian dijadikan objek wisata. Bukan untuk mewarisi dendam. Monumen perang dibutuhkan sebagai tempat belajar dan merenung.
Beberapa tahun yang lalu, diundang untuk menjadi pemateri pada sebuah seminar di Hiroshima University, Jepang.
Setelah 3 hari acara, kami diajak untuk mengunjungi Genbaku Dome. Sebuah bangunan yang berkubah, bangunan sisa bom atom yang sangat dahsyat dijatuhkan ke atas Kota Hiroshima pada tahun 1945.
Baca: Situs Reumoh Geudong Tak Boleh Hilang
Bom yang dibawa oleh pesawat jenis B-29 ini, meluluh-lantakkan kota, menewaskan hampir 150.000 jiwa dalam beberapa bulan.
Setengah dari jumlah korban, meninggal hari itu juga, sisa-nya meninggal karena luka terbakar, penyakit, dan radiasi.
Bangunan, besi, botol, manusia, pohon, apa yang ada semua meleleh terbakar.
Oleh Pemerintah Jepang, kubah itu dipelihara, bersama dengan bangunan lain seperti museum dan tugu, dalam komplek yang sangat besar bernama Hiroshima Peace Memorial Park, ditetapkan sebagai UNESCO World Heritage Site.
Sewaktu saya berkunjung ke museum, banyak murid dari berbagai sekolah datang dari seluruh Jepang. Mengagumi semua artefak dan informasi yang dipamerkan.
Tidak ada wajah yang memendam dendam. Semua menyimak dengan tekun. Saya menyapa beberapa mereka, menanyakan kesan mereka atas benda-benda yang dilihat. Hampir kompak semua menyampaikan sangat senang bisa sampai ke museum itu. “Perang itu sangat kejam, jangan terjadi lagi. Di museum ini kami bisa membayangkan betapa mengerikan saling berbunuhan.”
Ke mana saja saya pergi, ke Phnom Penh di Cambodia, Berlin di Jerman, Gallipoli di Turkiye, Gettysburg dekat kami tinggal di Pennsylvania Amerika, pemerintah menjaga situs-situs sisa perang dan kekerasan.Jejak konflik dan perang dipelihara untuk menjadi pelajaran bagi semua generasi dalam bentuk monumen perang.
Bahkan waktu kuliah di Cairo, kami mengunjungi Panorama October, sebuah museum perang, sejarah pertikaian antara Mesir dan Israel.
Semua disimpan. Bukan untuk dendam. Monumen perang sama seperti monument lain; sebagai penanda dan pengingat.
Di Aceh, dari sekian banyak situs pembantaian, pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, dan kekerasan lainnya, salah satunya adalah Rumoh Geudong, sebagai Pos Satuan Taktis dan Strategis (pos sattis). Pos militer yang digunakan untuk berbagai jenis penyiksaan.
Setelah terbakar sebelumnya, ada tertinggal beberapa bagian kecil dari bangunan yang mestinya dipelihara sebagai bukti kekerasan, sehingga generasi mendatang mengetahui kisah kebiadaban dan tidak boleh diulang.
Tetapi ada orang budok, mengatakan bahwa sisa bangunan yang tinggal sedikit itu, dirobohkan untuk hilangkan dendam.
Orang budok itu, ingin menanam dalam-dalam dan menghapus jejak kekerasan yang telah dilakukan aparat negara di Aceh.
Kekerasan itu biadab, menutupi kekerasan, biadab murakkab, kuadrat dan berlipat-lipat.