Komparatif.ID, Banda Aceh—Instalasi Pusat Pendidikan dan Pelatihan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (IPPP RSUDZA), Kamis (21/9/2023) menggelar pelatihan jurnalistik untuk pegawai di rumah sakit pemerintah tersebut.
Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan RSUDZA dr. Andrie Gunawan,Sp.PD, dalam sambutannya mengatakan pelatihan jurnalistik diperuntukkan untuk pegawai, sebagai upaya meningkatkan kemampuan menulis dan memahami dunia kewartawanan.
Andrie berharap setelah mengikuti pelatihan tersebut, peserta dapat memahami dengan baik dunia kewartawanan, sehingga tidak kaku lagi bila berhadapan dengan insan pers.
Baca: Herawati, Istri Wartawan Asal Aceh di Panggung Republik
Pada pelatihan kali ini, IPPP RSUDZA menghadirkan enam pemateri yang telah malang melintang dalam dunia kewartawanan. Yaitu Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh Nasir Nurdin, Pemred Halaman7.com Iranda Novandi, Kepala Sekolah Jurnalistik Indonesia (SJI) Provinsi Aceh Asnawi Kumar, Irma Hafni (Ihan Nurdin) penggiat Forum Aceh Menulis (FaMe), Sekda Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Aceh sekaligus Wakil Kepala SJI Aceh, dan Pemred Komparatif.Id Muhajir Juli, serta Bedu Saini, seorang wartawan senior bidang fotografi jurnalistik.
Karya Jurnalistik Diikat Etik
Muhajir Juli yang mengisi kelas pada sesi siang, menyampaikan materi tentang kode etik jurnalistik. Dia menjelaskan, dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya, selain diikat dengan berbagai pasal di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, wartawan juga diikat oleh etika profesi. Etika profesi tersebut berisi 11 pasal yang mengatur tindak tanduk wartawan dalam melaksanakan profesinya.
Satu persatu Muhajir Juli memberikan penjelasan pasal per pasal tentang kode etik wartawan. Termasuk memberikan contoh peristiwa yang pernah terjadi,dan pelanggaran yang kerap dilakukan oleh wartawan.
Pada kesempatan itu, Muhajir Juli juga menerangkan pers juga dapat dikritik. Bila seseorang merasa dirugikan oleh produk pers, maka dapat melakukan upaya klarifikasi, sengketa ke Dewan Pers, dan lain sebagainya.
Muhajir Juga menjelaskan tentang hoaks dan disinformasi yang kini telah menjadi “industri”, artinya pembuatan dan penyebarluasan kabar bohong dan disinformasi kini dilakukan dengan sangat profesional dan berbiaya mahal. Ditambah lagi dengan ketidakpahaman audiens dalam menyerapnya, sehingga membuat banyak orang kebingungan membedakan karya jurnalistik dengan kabar bohong yang dikemas serupa dengan produk pers.
Sesi akhir yang diisi oleh Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh Bedu Saini, menampilkan karya fotografi jurnalistik yang pernah dibuat oleh mantan fotografer Serambi Indonesia itu. Dia menampikan beberapa foto berkisah seperti bencana tsunami Aceh, dan kegembiraan orang dengan gangguan mental yang bertanding di Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh.
Bedu menjelaskan, keberadaan fotografer dalam sebuah perusahaan pers sangat penting. Karena dialah yang mengabadikan momen-momen yang melengkapi sebuah berita tulis. Selain itu, fotografer media juga dapat merekam momen-momen bebas yang bernilai berita.