Revolusi dan Agitasi dari Kedai Kopi (1)

kedai kopi
Zulfadhli Kawom (kanan) bersama rekan-rekannya di salah satu warkop tradisional di Banda Aceh. Foto: HO for Komparatif.ID.

Di masa lampau, kedai kopi di pesisir Aceh hanya menyajikan satu jenis kopi; robusta. Baik kopi saring maupun tubruk. Tak ada arabica, konon lagi liberika. Robusta yang disajikan di kedai kopi di Aceh, umumnya telah dicampur dengan beras/jagung, kadang ditambahkan susu dan garam.

Jenis sajiannya pun terbatas, bila bukan kopi hitam pekat, ya kopi susu. Di beberapa daerah ada kopi stel, berupak kopi yang dicampur sedikit susu kental manis.

Mungkin bila ada mesin waktu seperti miliknya Doraemon, dan kita kembali ke masa lampau, orang-orang di masa itu, akan terkejut bila kita meminta kopi espresso, cappuccino, latte, arabica, dan lain-lain.

Baca: Bireuen, Tionghoa, dan Perkembangan Warung Kopi

Demikian juga teumon ie alias kue. Hanya ada timphan, pulot, bada, dughok, buleukat sile, buleukat u, eungkhui, rubek. 90 persen masih berbahan baku pangan lokal.

Dulu, kedai kopi di Aceh ada di kampung-kampung, di pusat pasar mukim, di kecamatan, dan di kota. Warkop besar di kota kabupaten dan kecamatan biasanya dikelola oleh etnik Tionghoa, dan pedagang dari Pidie. Di kedai kopi milik etnik Tionghoa, biasanya ditambah sajian roti sele bakar. Itu khas mereka.

Warkop di masa lampau masih berfungsi sebagai ajang interaksi sosial dan bisnis. Mulai dari para toke leumo, agen kacang kuning, agen pade, pedagang obat keliling, pedagang jam tangan keliling, toke bakong, pedagang minyak angin, penjual batu korek api, berkumpul di sana.

Pembahasannya seputar dunia pertanian, perdagangan, perdukunan, jambo silet. Para tokoh juga ngopi di warkop. Tapi biasanya mereka berkumpul di warkop tertentu, dan mereka sangat setia dengan warkop tersebut.

Baca: Tak Semua Cina Menjadi Toke

Meski secara umum penghormatan kepada yang lebih tua tetap dilakukan, tapi setiap penghuni warkop bisa berinteraksi secara egaliter. Sering diselip canda ala kampung. Mengkritik pemilik warkop merupakan perilaku keseharian. Misal saat mereka salah menyajikan kopi.

Lage baroesa kameukat. Kupi hana katuoh peugot. Kaweh kah bak gayong, nak kusareng keudroe kuh, repet pengunjung yang rasa kopinya tidak seperti biasa. Biasanya, pemilik warung hanya terkekeh. Segera mengganti kopi yang baru.

Tidak ada perempuan di warung kopi. Perempuan hanya singgah sebentar, membeli kopi bungkus/botol, kemudian pulang. Anak-anak tidak ada, kecuali yang dibawa oleh ayahnya. Remaja tidak ada, mereka berkumpul di jambo jaga, atau di tempat-tempat lain.

Jangan harap Anda bisa menemukan remaja merokok di warkop di masa itu. Bila ada pasti kena tempeleng. Meski orang tua mengisap rokok, mereka tetap peduli terhadap generasi muda. Ada istilah, bila belum mampu cari uang sendiri, dilarang merokok.

Bila ada yang kena tempeleng, tidak ada yang marah. Semua merasa bahwa anak-anak yang ada di lingkungan mereka, wajib dididik secara komunal.Hana istilah napsi-napsi lage jino.

Seiring waktu peran kedai kopi bertambah luas. Menjadi tempat bicara politik. Mungkin di beberapa tempat, fungsi tersebut telah lama berlangsung.

Kita tentu tidak asing dengan pernyataan Teuku Umar Djohan Pahlawan pada suatu ketika, Singoh beungoeh tajep kupi di Keude Meulaboh, atawa ulon ka syahid. Teuku Umar tak sempat lagi menyeruput kopi, karena pada peperangan terakhir, beliau gugur.

Di masa konflik, warung kopi diawasi oleh aparat negara. Tatkala Darurat Militer berlangsung, kedai kopi diperbolehkan buka. Dengan syarat, setiap pengunjung duduk terpisah-pisah.

Larangan tersebut dibuat karena aparat negara melihat gezah kedai kopi yang berubah menjadi tempat disosialisasikannya Gerakan Aceh Merdeka setelah Reformasi 1998. Para aktivis GAM baik dari kalangan sipil maupun militer, menjadikan warkop tempat ngumpul, bertemu masyarakat, dan menyampaikan tujuan perjuangan GAM.

Makanya di masa Darurat Militer I dan II berlanjut ke Darurat Sipil, warkop diperbolehkan buka, tapi pengunjung harus duduk terpisah. Tidak boleh ada kerumunan. Bila nekat, maka dipanggil ke pos.

Kedai kopi di Aceh mengalami diperubahan luar biasa setelah bencana gempabumi dan tsunami pada Minggu, 26 Desember 2004. Kopi saring sempat tidak lagi populer di tingkat kabupaten dan provinsi. Penikmat kopi beralih ke espresso dan americano. Secara berangsur-angsur, penikmat kopi di kota berpindah selera. Di tingkat gampong, kopi robusta tetap dinikmati generasi tua. Anak muda, selain kecanduan kopi sachet, juga ada yang belajar ngopi langsung pada robusta original dan arabica.

Sekarang, kedai kopi menjadi tempat populer bagi banyak orang untuk bertemu, berkumpul, atau bekerja sambil menikmati secangkir kopi. Kedai kopi pun sering menjadi tempat pertemuan bisnis ataupun lokasi untuk acara komunitas atau pertemuan kelompok. Pengunjung pun sudah sudah disediakan fasilitas wifi, toilet dan musalla.

Peran kedai kopi juga bertambah satu lagi, menjadi tempat kongkow keluarga. Makanya makanan pun hana meutateupu boh nan le. Dari kuliner Aceh, makanan ala Tiongkok, ala Turkiye, hingga ala Barat,dijual. Bu sie itek na, rendang padang na, dimsum na, kebab na, spaghetti pih kadang na.kalau mi goreng dan mi tumis, hampir semua warkop ada.

Hal yang masih kental di kalangan masyarakat Aceh, setiap gerakan politik, untuk awal mula selalu dimulai dari diskusi kecil di warkop. Setelah dianggap bulat, baru dibawa ke forum lebih formal di ruang-ruang tertutup.

Warkop juga menjadi sarana hiburan, tempat orang-orang menertawakan orang lain. Seperti saat Belanda masih bercokol di Aceh, kedai kopi di Serambi Mekkah dijadikan sebagai tempat revolusi. Sepanjang jalan dari Mulai Panton Labu sampai Geudong, pelanggan warkop menertawakan pasukan Marsose yang kalah perang melawan pasukan Teungku Ditunong dan Cut Meutia.

Dengan bermacam anekdot, mereka terpingkal-pingkal menertawakan kekalahan Marsose yang dikenal sebagai pasukan elit yang direkrut dari tentara KNIL pilihan.

Demikian juga sekarang, meski grup WA telah menjadi salah satu sarana komunikasi praktis, warkop masih tetap difungsikan sebagai sarana menertawakan kekalahan lawan politik.

Revolusi menuju kemerdekaan Aceh memang tak terwujud. Tapi warung kopi tetap masih berfungsi sebagai tempat merencanakan tahap awal sebuah aksi agitasi, baik dalam rangka caruh gaki rakan, maupun dalam rangka mencari ruang agar diakui dan diajak berteman oleh penguasa.

Oh iya, ada satu lagi. Perempuan telah berhasil mengokupasi kedai kopi. Mulai gadis hingga nenek-nenek sekarang mudah ditemukan di warkop. Mereka nongkrong lama-lama di sana. Semakin elit warkop, semakin maju warkop, semakin banyak perempuan yang mengokupasinya. Mereka umumnya tidak minum kopi.

Artikel SebelumnyaSelundupkan Kokain, Eks Pemain Bhayangkara Radja Nainggolan Ditangkap
Artikel SelanjutnyaMengapa Harga Obat di India Jauh lebih murah?
Zulfadli Kawom
Seniman, aktivis kebudayaan, Mekanik di Malaysia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here