Komparatif.ID, Banda Aceh—Revisi Qanun Jinayat yang sedang digodok, bertujuan memperkuat 5 hal yang menjadi prioritas. Demikian disampaikan Kepala Seksi Perundang-Undangan Syariat Islam, Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, Dr. Syukri bin Sulaiman, M.A.
Dalam Studium General “Arah Revisi Qanun Jinayat” yang digelar oleh Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, Kamis (29/9/2022) Fikri Sulaiman menyebutkan 5 prioritas dalam Islam yaitu memelihara agama, memelihara akal, memelihara harta, memelihara keturunan dan memelihara jiwa.
Ia menjelaskan, Provinsi Aceh telah melahirkan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, dan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat.
Kedua produk hukum setingkat perda tersebut berfungsi untuk menegakkan hukum yang berkaitan dengan pidana.
Dalam Qanun Jinayat, terdapat 10 jenis pidana yang diancam dengan hukuman hudud serta takzir, berdasarkan pasal 3 ayat 2, pelanggaran yang diatur dalam Qanun Jinayat, meliputi:
- Khamar (minum minuman yang memabukkan)
- Maisir (berjudi)
- Khalwat (berdua-duaan pria-wanita bukan muhrim di tempat sepi)
- Ikhtilath (bercumbu dengan pasangan bukan muhrim)
- Zina
- Pelecehan seksual
- Pemerkosaan
- Qadzaf (menuduh seseorang berzina tanpa dapat mengajukan empat saksi)
- Liwath (gay)
- Musahaqah (lesbian).
Mengapa Qanun Jinayat Perlu Revisi?
Menurut Fikri Sulaiman, revisi Qanun Jinayat diperlukan karena terjadinya perubahan sosial masyarakat Aceh, dan perkembangan teknologi. Perubahan tersebut melahirkan bentuk-bentuk kejahatan baru yang tidak terdapat dalam Qanun Jinayat Aceh.
“Dengan perubahan zaman, tentu terjadi perubahan kejahatan pidana. Sehingga parapihak merasa penting adanya revisi qanun tersebut, agar semangat penerapan hukum syariat di Aceh tetap terpelihara sesuai dengan tujuan awal,” sebut Fikri.
Pada draft revisi, ditambahkan beberapa jenis tindak pidana yang akan dapat dijerat pelakunya dengan qanun tersebut. Juga terjadi perubahan redaksi bahasa pada beberapa istilah dalam pidana, sehingga tidak menjadi kontroversi.
“Penjelasan terhadap beberapa istilah dan definisi dari bentuk tindak pidana yang ada sekarang perlu diubah redaksinya, agar tidak terjadi kontroversi. Seperti istilah asusila, cabul, pelecehan dan kejahatan seksual.”
Juga ada penambahan uqubah (hukuman) terhadap pelaku pemerkosaan dari bentuk hukum pilihan menjadi hukuman akumulatif terdiri dari penjara, cambuk serta pembayaran denda atau restitusi.
Tujuan dari revisi Qanun Jinayat untuk terpenuhinya nilai keadilan sosial dan hak asasi manusia dalam Islam, seperti memberikan efek jera kepada pelaku, kesempatan untuk bertaubat serta memperhatikan hak-hak korban sehingga tercipta masyarakat yang sejahtera, aman dan tentram.
Pun demikian, proses revisi Qanun Jinayat haruslah dilaksanakan secara hati-hati dan sangat serius, dengan melibatkan banyak pihak. Baik dari unsur ulama, akademisi serta praktisi yang ada di lapangan, sehingga qanun yang dihasilkan lebih berkualitas serta sesuai dengan harapan syariat.
Akademisi Harus Lebih Banyak Teliti Pelaksanaan Hukum Jinayat
Ketua Prodi Hukum Pidana Islam Dr. Faisal mengharapankan studium general yang digelar dapat menjadi energi bagi mahasiswa dan akademisi untuk melakukan banyak penelitian terkait pelaksanaan Qanun Jinayat.
“Bukan saja melakukan penelitian, tapi juga aktif melakukan sosialisasi hasil penelitian kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyusunan revisi Qanun Jinayat,” sebut Dr. Faishal.
Acara yang pandu oleh Yuni Roslaili pengajar mata kuliah Qanun Jinayat pada Prodi Hukum Pidana Islam, menutup acara dengan memberikan quiz kepada mahasiswa. Bagi mahasiswa yang dapat menjawab dengan benar, diberikan hadiah.