
Komparatif.ID, Serang— Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Prof. Dr. M. Ishom El Saha, menegaskan hukum tidur di masjid pada dasarnya diperbolehkan dalam ajaran Islam.
Ia menyebutkan, masjid seharusnya menjadi tempat yang “ramah” bagi siapa pun, bukan sekadar bangunan megah yang hanya digunakan untuk salat dan zikir semata.
Menurutnya, sejak masa Rasulullah SAW, masjid berfungsi sebagai pusat kegiatan umat, terbuka bagi siapa saja tanpa pembatasan yang berlebihan. Ia mencontohkan Masjid Nabawi pada zaman Nabi SAW yang selalu terbuka untuk umum.
Bahkan, seorang sahabat bernama Thamamah bin Utsal yang kala itu belum memeluk Islam pernah tidur dan bermalam di dalam masjid yang dibangun oleh Rasulullah.
“Dari kisah itu, Imam Syafii berpendapat bahwa tidur di dalam masjid hukumnya mubah atau boleh. Jika seorang non-muslim saja diperbolehkan tidur di dalam masjid, tentu seorang muslim lebih layak untuk melakukannya,” kata Ishom, Rabu (5/11/2025).
Ia menegaskan, pengelolaan masjid sebaiknya diarahkan agar lebih inklusif dan tidak eksklusif terhadap jamaah.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya. Banyak masjid kini tampil megah dan mewah, tetapi tertutup bagi masyarakat di luar waktu salat. Menurut Ishom, hal ini terjadi karena sebagian pengelola masjid lebih menekankan sisi kesucian dan kesakralan bangunan dibandingkan fungsi sosialnya.
Baca juga: Arjuna Tamaraya Tewas Dianiaya, Bobby Sebut Akan Kaji Ulang Aturan Rumah Ibadah
“Banyak masjid dikunci setelah salat berjemaah. Ada yang menolak anak-anak belajar dan bermain di halaman masjid, bahkan orang yang beristirahat di dalamnya sering ditegur atau diusir,” ujarnya.
Padahal, lanjut Ishom, dalam Al-Qur’an dan hadits tidak ada keterangan yang membatasi fungsi masjid hanya untuk ibadah ritual. Rasulullah SAW sendiri pernah melakukan kegiatan sosial di dalam masjid.
Salah satunya, sebagaimana diriwayatkan Aisyah ra., Rasulullah pernah berlomba gulat dengan para sahabat di dalam masjid. Meskipun sempat tidak disukai oleh Umar bin Khattab, setelah mengetahui bahwa Rasulullah sendiri melakukannya, Umar akhirnya memaklumi hal tersebut.
“Ini menunjukkan bahwa masjid bukan semata tempat sakral, tapi juga tempat interaksi sosial. Rumah Allah seharusnya menjadi tempat bernaung bagi siapa pun yang membutuhkan ketenangan atau sekadar beristirahat,” tutur Ishom.
Ia menambahkan, mayoritas ulama dari berbagai mazhab Islam membolehkan tidur di dalam masjid, bahkan bagi mereka yang telah memiliki rumah. Sebagai contoh, Mazhab Maliki memang memandang makruh tidur di masjid bagi orang yang punya tempat tinggal, tetapi tetap tidak melarangnya secara hukum.
Dalil kebolehan ini juga diperkuat oleh kisah Ali bin Abu Thalib. Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW pernah mendapati menantunya itu tertidur di masjid dengan pakaian berdebu setelah berselisih dengan istrinya, Fatimah ra. Rasulullah lantas membangunkannya sambil bersabda, “Bangunlah, hai Abat-turab (Bapak yang berlumur debu)!” Kisah ini menunjukkan bahwa Rasulullah tidak melarang seseorang tidur di masjid.
Selain itu, disebutkan pula kebiasaan Abdullah bin Umar yang semasa kecil dan remajanya sering tidur di dalam masjid pada malam hari. Menurut Ishom, praktik-praktik seperti ini menunjukkan bahwa masjid pada dasarnya tempat yang terbuka dan ramah bagi umat.
“Selama tidak mengganggu kesucian dan ketertiban, tidur di masjid bukan pelanggaran, tetapi bagian dari fungsi sosial masjid yang sesungguhnya,” pungkasnya.











