Presiden Jokowi meminta dilakukannya reformasi hukum di Indonesia menyusul ditangkapnya Sudrajad Dimyati (Hakim Konstitusi) oleh KPK beberapa hari lalu. Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan bahwa akan segera mengumpulkan para pakar untuk membahas perintah Jokowi tersebut.
Hukum itu sesuatu yang sangat luas. Jika kita melihatnya sebagai sebuah sistem, maka di samping ada berbagai subsistem, hukum itu efektif bekerjanya tergantung pada substansi peraturan per-UU-an, penegakan aturan-aturan tersebut (oleh aparat penegak hukum), dan pada budaya hukum masyarakat (meminjam teori Michael F. Friedman).
Pertanyaannya kemudian, apanya yang harus diperbaiki, direformasi, diubah, atau dibentuk kembali?
Mari kita awali dengan perkembangan terakhir tentang hukum di Indonesia. Pada rapat paripurna DPR-RI, Kamis (29/9/2022) lalu, DPR mendadak mencopot hakim konstitusi bernama Aswanto. Aswanto adalah hakim konstitusi yang diusulkan oleh DPR.
Baca juga: Mengenang Martti Ahtisaari
Alasan DPR: Aswanto (yang belum habis masa jabatannya itu) tidak punya komimen karena menganulir produk UU yang disahkan DPR. “Nanti dasar-dasar hukumnya bisa dicari” kata Ketua Komisi terkait pemberhentian itu. Penggantinya adalah Guntur Hamzah (Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi).
Berikutnya, Gubernur Papua Lukas Enembe, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena terlibat kasus suap dan beberapa kasus lainnya. Lukas sudah dua kali dipanggil untuk datang ke Gedung KPK, tapi tak diindahkan. Jika panggilan ketiga tak dipenuhi, maka (menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana—KUHAP) Lukas akan dipanggil secara paksa.
Masyarakat di Jayapura, Papua, tak terima gubernur mereka ditetapkan sebagai tersangka. Mereka pun berdemo dan menjaga kediaman gubernur (dari kemungkinan penjemputan paksa). KPK kemudian mengatakan bahwa KPK akan mempertimbangkan penjemputan paksa itu jika situasi keamanan terganggu.
Sebelumnya lagi, Putri Chandrawati (istri Ferdy Sambo) ditetapkan sebagai salah satu tersangka pembunuhan Brigadir J. Putri tak ditahan walaupun dibidik Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Penahanan baru dilakukan pada Kamis lalu karena pada Senin depan, Polri akan menyerahkan berkas dan tersangka kepada Kejaksaan Agung.
Dalam kasus DPR memberhentikan Aswanto, jika dikaitkan dengan UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi memang diatur bahwa hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh MA, Presiden, dan DPR.
Namun, cara yang dilakukan DPR itu di luar prosedur UU karena jabatan Aswanto sebagai hakim baru berakhir 2029. DPR tak berwenang memberhentikan dan juga tak berwenang memilih hakim baru karena tak ada kekosongan.
Dalam kasus Lukas Enembe, dapat kiranya dimengerti jika KPK menjadi berhati-hati menjemput paksa Lukas karena khawatir akan terjadi chaos (misalnya perlawanan para pendukungnya) yang bisa berakibat jatuhnya korban jiwa.
Namun, jika kemudian betul-betul tak ada jemput paksa, maka dapatlah disebutkan bahwa KPK tak mengindahkan prinsip “equality before the law” (kesamaan kedudukan di depan hukum). Ini bisa jadi preseden buruk di masa mendatang. Rakyat dijadikan “tameng.” Tak ada lagi jargon “tegakkan hukum meskipun langit akan runtuh.”
Dalam kasus Putri, syarat objektif untuk menahannya sudah terpenuhi, tetapi polisi menggunakan alasan subjektif. Mereka percaya Putri tak akan kabur, tak merusak atau menghilangkan bukti, tak akan mengulangi tindak pidana yang dituduhkan kepadanya, dan alasan kemanusiaan (Putri memiliki anak kecil).
Reformasi Hukum Tidak Mudah
Dengan menilik beberapa kasus tersebut di atas, faktor manusia terlihat sangat dominan bagi lahirnya ketidakadilan, baik karena kewenangan yang diberi oleh UU maupun yang tidak diberikan.
Jika diurut lebih lanjut, faktor manusia itu melirik ketentuan hukum dan kemudian menafsirkannya atau mencari celah-celah yang terdapat dalam peraturan per-UU-an.
Di sini terlihat ada persoalan besar dalam wacana reformasi hukum. (Perilaku) manusia adalah yang pertama yang harus direformasi. Namun, mengubah perilaku itu harus melalui UU dan UU itu dibuat oleh manusia (eksekutif dan legislatif) dengan segala kepentingannya. Ada lingkaran setan dalam proses ini.
Mengubah UU juga bukan kerja mudah. Jika tergesa-gesa, akan jadi target judicial review ke MK. Jika tak transparan dan tak partisipatif, maka akan jadi sasaran demo dari berbagai kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan rancangan UU tersebut.
Model yang digunakan dalam menggolkan UU Cipta Kerja adalah sebuah model buruk yang tak perlu dicontoh jika reformasi hukum mau dilakukan. Alih-alih memberikan keadilan, UU itu malah dinyatakan melanggar konstitusi dan berlaku dengan syarat (jika tak direvisi, akan dinyatakan tak berlaku permanen oleh MK).
Reformasi hukum itu pekerjaan besar dan berat. Karena itu, untuk jangka pendek, di bawah pengawasan langsung Presiden, maka Kapolri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Menteri Kehakiman, Ketua MA dan MK, Ketua KPK dan para komisionernya, harus bekerja keras untuk memastikan anak buah masing-masing “do right things right”. Sikap korup, diskriminatif, dan manipulatif, akan mencederai keadilan dan menimbulkan penderitaan.
Untuk jangka menengah, momentum yang tepat adalah pilpres dan pemilu legislatif 2024. Peradaban hukum yang mulai lemah memerlukan sumber daya dan semangat baru untuk bisa “reform” bagi kepentingan bangsa dan negara ini.